Oleh: Ifanko Putra
Menjelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024, berbagai isu mulai mengemuka, termasuk keterlibatan pengusaha besar atau cukong dalam mendanai calon kepala daerah. Redaksi telah menerima desas-desus mengenai kandidat tertentu yang didanai oleh perusahaan besar dengan kepentingan kuat di suatu daerah, dan ini perlu penelusuran lebih dalam. Terkait siapa kandidat dan pemodalnya kemungkinan akan dibahas dalam segmen tersendiri.
Bila kita kaji, gelontoran modal dari cukong kepada calon kepala daerah dengan kesepakatan tertentu, tidak hanya mengusik integritas demokrasi, tetapi juga menimbulkan kekhawatiran terkait independensi calon dalam menjalankan kebijakan setelah terpilih nanti. Di balik sokongan dana dari cukong itu, terdapat ancaman yang dapat merusak pembangunan daerah, lingkungan, bahkan ketentraman dan kesejahteraanmasyarakat.
Keterlibatan cukong dalam mendanai calon kepala daerah juga membuka peluang terbentuknya ketergantungan yang berbahaya. Ketika calon didukung oleh pengusaha, baik dari sektor tambang, kontraktor, atau bisnis besar lainnya, ada potensi bahwa kebijakan yang diambil ketika dia terpilih kelak, tidak lagi berorientasi pada kepentingan publik, melainkan kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Hal ini dapat membuka jalan bagi konflik kepentingan yang merusak tata kelola pemerintahan.
Di samping itu, dengan aliran dana yang besar, calon kepala daerah dapat menggelar kampanye politik masif. Namun, dampak dari kampanye besar-besaran ini tidak hanya meningkatkan popularitas calon, tetapi juga menciptakan ketidakseimbangan dalam persaingan politik. Calon yang memiliki sumber dana terbatas, meskipun berintegritas dan memiliki program pro-rakyat, sering kali tersingkir dari persaingan hanya karena ketidakmampuan bersaing dalam hal finansial.
Keterlibatan cukong dalam Pilkada berisiko mengubah kontestasi politik menjadi arena adu modal. Pilkada seharusnya menjadi ajang di mana rakyat memilih berdasarkan program, visi, dan misi yang jelas untuk kemajuan daerah. Namun, bila kekuatan uang mengambil alih, suara murni rakyat digoda oleh kekuatan uang yang mendikte hasil pemilu. Hal ini memperburuk kualitas demokrasi di Indonesia, di mana proses politik seharusnya berjalan dengan bersih, jujur, dan adil.
Dampak dari pendanaan oleh cukong, terutama yang bergerak pada sektor yang berkaitan dengan sumber daya alam, dapat menciptakan konsekuensi eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan. Kepala daerah yang merasa terikat utang budi pada cukong berpotensi memberikan izin usaha secara serampangan, tanpa memperhatikan dampak lingkungan atau sosial. Akibatnya, eksploitasi yang tidak terkendali dapat menyebabkan kerusakan lingkungan yang parah, konflik sosial, dan kerugian bagi masyarakat setempat.
Selain itu, kehadiran cukong dalam proses politik dapat melemahkan penegakan hukum di daerah. Kepala daerah yang bergantung pada sokongan dana pengusaha besar mungkin akan menutup mata terhadap pelanggaran hukum atau regulasi yang dilakukan oleh perusahaan mereka, seperti pelanggaran perizinan atau pengelolaan lingkungan. Hal ini berpotensi menciptakan budaya impunitas.
Hal ini juga menghambat upaya pembangunan yang berkelanjutan. Kepala daerah yang terpilih dengan dukungan pengusaha cenderung memprioritaskan proyek yang menguntungkan cukong, seperti eksploitasi alam atau infrastruktur pendukungnya, tanpa mempertimbangkan keberlanjutan lingkungan. Alih-alih memperkuat infrastruktur sosial yang bermutu, pembangunan daerah lebih berfokus pada keuntungan jangka pendek yang hanya menguntungkan segelintir orang.
Dari sisi moral, keterlibatan cukong dalam politik lokal mencerminkan lemahnya sistem demokrasi kita. Pemilihan umum yang dapat “dibeli” dengan uang besar menciptakan rasa ketidakadilan di masyarakat. Ketika suara orang yang benar-benar tulus tidak berarti di tengah dominasi kekuatan uang, partisipasi politik masyarakat pun menurun, menciptakan apatisme atau golongan putih (golput) yang merusak fondasi demokrasi yang sehat.
Fenomena ini juga berpotensi memicu konflik sosial di daerah. Masyarakat yang merasa dirugikan oleh kebijakan pro-cukong, seperti kerusakan lingkungan atau penggusuran lahan, mungkin akan melawan kebijakan pemerintah daerah yang tidak berpihak pada mereka. Konflik horizontal yang sulit diredakan dapat saja muncul, terutama jika tidak ada kebijakan adil untuk mengatasi permasalahan tersebut.
Keterlibatan cukong dalam Pilkada merupakan ancaman nyata bagi demokrasi, pembangunan daerah, dan kesejahteraan masyarakat. Tanpa pembenahan sistem pendanaan politik dan pengawasan yang lebih ketat, demokrasi kita akan terus tersandera oleh kekuatan modal besar yang memperkaya segelintir orang, sementara rakyat kecil terus terpinggirkan.
Discussion about this post