Oleh: Ifanko Putra
Menulis adalah kerja intelektual yang kompleks. Untuk menulis, diperlukan pemikiran kritis, analisis mendalam, dan kreativitas tinggi. Menulis bukan sekadar merangkai kata-kata. Lebih dari itu, menulis adalah upaya menggali ide orisinal, membangun argumen yang logis, serta mempertimbangkan sudut pandang pembaca agar tulisan berkualitas dan tepat sasaran. Seorang penulis profesional akan menghadirkan gagasan yang bermakna, bukan hanya deretan kata yang kosong dari nilai.
Dalam menulis, tidak ada jalan pintas. Kemampuan menulis harus diasah melalui pengalaman, riset, dan banyak membaca. Dengan banyak membaca, seseorang mampu memperluas cakrawala berpikir dan menambah perbendaharaan kata yang berguna dalam menyampaikan ide secara efektif.
Namun, akhir-akhir ini muncul fenomena yang meresahkan. Banyak muncul penulis “karbitan” yang terlalu bergantung pada teknologi kecerdasan buatan (AI) untuk menghasilkan tulisan. Alih-alih digunakan sebagai alat bantu, hasil tulisan AI diambil begitu saja tanpa proses penyaringan atau pengolahan, kemudian diakui sebagai karya sendiri. Penulis karbitan ini ingin terlihat produktif dan cerdas, tetapi sebenarnya hanya mengandalkan teknologi tanpa kontribusi dari hasil pikirannya.
Teknologi AI memang menawarkan kemudahan dan kecepatan. Namun, AI, seberapa canggih pun, memiliki keterbatasan. Misalnya, AI sering kali gagal menangkap konteks atau nuansa yang diperlukan untuk menulis dengan kedalaman. Kemudian, AI cenderung melakukan generalisasi berlebihan dan sulit memahami kerumitan argumen manusia yang membutuhkan sensitivitas terhadap isu-isu tertentu. Dalam membangun argumen, AI kerap menghasilkan pernyataan yang melenceng atau kurang relevan. Kesenjangan pemahaman antara AI dan nalar manusia ini sering tidak disadari oleh mereka yang langsung menerima output AI tanpa analisis lebih lanjut.
Ketergantungan yang berlebihan pada AI mengikis keterampilan berpikir kritis dan kreativitas penulis, serta merendahkan kualitas intelektual. Publik bisa menilai apakah sebuah tulisan mencerminkan kecerdasan dan orisinalitas, atau hanya sekadar hasil dari mesin otomatis. Mengklaim karya AI sebagai tulisan pribadi, terutama oleh akademisi atau penulis profesional, sama saja dengan mempertontonkan kedangkalan intelektual.
Ambisi untuk terlihat produktif dan mahir dalam menulis bisa berujung pada kehancuran kredibilitas bila terlampau berpatokan pada AI. Menulis bukan soal kuantitas atau kecepatan sehingga sampai menggunakan cara instan, melainkan kualitas dan kedalaman pemikiran. Meminjam istilah yang sering diucapkan Rocky Gerung, orang semacam ini pantas disebut “penulis dungu.” Menulis adalah tentang kejujuran intelektual, tentang keberanian menyampaikan ide yang lahir dari pemikiran mendalam, bukan sekadar ajang untuk tampil “cerdas” dengan mengandalkan teknologi tanpa substansi.
Kita harus memahami, teknologi AI hanyalah alat bantu. Penulis sejati bertanggung jawab atas setiap kata yang dituangkan dan dipublikasikan, memastikan bahwa karya yang dihasilkan benar-benar mencerminkan keaslian pemikiran dan kualitas intelektual yang sesungguhnya.
Jadikan menulis sebagai sarana untuk menggali potensi diri dan memperkaya pemikiran, bukan sekadar untuk mengejar popularitas instan tanpa fondasi yang kokoh. Menulis adalah cermin dari kemampuan dan wawasan penulisnya. Jangan sampai obsesi akan kecepatan dan kemudahan malah menjadi bumerang yang menunjukkan kelemahan bernalar di hadapan publik.
Discussion about this post