Jakarta, Radarhukum.id – Dalam rangka memperingati Hari Kebangkitan Nasional ke-117, Fakultas Hukum Universitas Islam As-Syafi'iyah (UIA) menggelar Forum Group Discussion (FGD) bertajuk “Rekonstruksi Rancangan Undang-Undang KUHAP”. Kegiatan ini diselenggarakan bekerja sama dengan Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Sekolah Tinggi Hukum Militer (STHM), Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (MAHUPIKI), serta sejumlah perguruan tinggi lainnya.
FGD dibuka secara resmi oleh Rektor UIA, Prof. Dr. Masduki Ahmad, S.H., M.M. Dalam sambutannya, ia menekankan pentingnya penyusunan KUHAP yang adil dan berbasis hak asasi manusia (HAM), sejalan dengan semangat kebangkitan nasional.
“Keadilan adalah perintah suci yang harus ditegakkan. Pembaruan KUHAP mesti mengandung nilai keadilan dan HAM yang harus dikritisi dan dipertanggungjawabkan,” ujarnya.
Perwakilan Kejaksaan Agung RI, Dado Ahmad Ekroni, S.H., M.H., menyampaikan bahwa KUHAP baru harus mengacu pada konvensi internasional, seperti International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR).
“Kejaksaan mendukung pembaruan KUHAP yang lebih baik, dengan meminimalisasi kendala dan menjunjung tinggi prinsip hukum internasional,” katanya.
Ketua Bidang Kajian Hukum dan Perundang-undangan PERADI, Dr. Nikolas Simanjuntak, S.H., M.H., turut menyuarakan pandangan kritis terhadap KUHAP yang dinilainya masih bercorak kolonial.
“Hukum bukan untuk menghukum, sebab kejahatan sejatinya adalah ketiadaan kebaikan. DPR tidak bisa bekerja sendiri—harus ada partisipasi publik yang bermakna,” tegasnya.
Dosen FH UIA sekaligus Wakil Ketua Komnas HAM Bidang Eksternal, Dr. Abdul Haris Semendawai, S.H., LL.M., memaparkan bahwa banyak ketentuan KUHAP terbukti inkonstitusional. Ia mencontohkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 21/PUU-XII/2014 yang menambahkan kewenangan praperadilan.
“Terdapat 12 permohonan yang dikabulkan MK, menunjukkan bahwa KUHAP perlu disesuaikan dengan prinsip HAM dan konstitusi,” jelasnya.
Ketua Umum MAHUPIKI, Dr. Firman Wijaya, S.H., M.H., menggarisbawahi pentingnya keterpaduan antara norma hukum, proses, dan aktor penegak hukum.
“KUHAP tidak cukup hanya dilahirkan lewat wacana. Ia harus lahir dari pengalaman masa lalu dan menjamin masyarakat tidak menjadi korban sistem,” katanya.
Sementara itu, Dosen STHM Dr. Prastopo, S.H., M.H., mengingatkan agar KUHAP tidak disusun secara spekulatif. Ia menekankan pentingnya kejelasan batas kewenangan negara dan mengusulkan pembentukan badan penyidik nasional yang independen.
Diskusi yang berlangsung selama tiga jam ini ditutup oleh Dekan FH UIA, Dr. Efridani Lubis, S.H., M.H. FGD tersebut menghasilkan lima poin rekomendasi utama:
- Penyusunan RUU KUHAP tidak boleh tergesa-gesa, harus diberi waktu yang cukup untuk memenuhi aspek formil dan materil.
- Melibatkan partisipasi publik secara terbuka untuk menjamin KUHAP yang populis, modern, dan berbasis HAM.
- Rekonstruksi desain besar RUU KUHAP oleh para ahli dan penegak hukum guna menyusun sistem peradilan pidana yang relevan dan kontekstual.
- Membahas isu krusial seperti batas kewenangan aparat penegak hukum (APH), tujuan pemidanaan, perlindungan HAM, due process of law, peran advokat, kontrol hakim, sistem pembuktian, serta integrasi model inquisitorial dan adversarial.
- Pembentukan badan penyidik nasional yang independen sebagai upaya menjamin profesionalitas, akuntabilitas, dan independensi dalam proses penegakan hukum.
Seluruh rekomendasi ini akan disampaikan kepada Komisi III DPR RI dan pemangku kepentingan terkait sebagai kontribusi akademik dan praktis dalam proses legislasi KUHAP yang lebih adil dan menjamin hak-hak seluruh warga negara.
Discussion about this post