Oleh: Zaidan Fakhir Heryani
Indonesia menjadi “laboratorium hidup” bagi uji klinis vaksin TBC internasional. Di balik narasi mulia tentang kemajuan ilmu pengetahuan dan penanggulangan penyakit, tersembunyi realitas pahit dimana masyarakat Indonesia dijadikan subjek eksperimen tanpa jaminan keadilan yang memadai. Kondisi ini seharusnya menjadi momentum refleksi mendalam tentang bagaimana membangun motivasi hidup di tengah ketidakberdayaan sistemik.
Prof. Dr. Cissy Kartasasmita, pakar pulmonologi dari Universitas Padjadjaran, mengungkapkan keprihatinannya bahwa Indonesia dengan prevalensi TBC tertinggi kedua dunia justru menjadi sasaran empuk bagi peneliti asing yang memanfaatkan “kemiskinan data” dan kerentanan ekonomi masyarakat untuk kepentingan riset mereka. Ironisnya, hasil penelitian tersebut kemudian dikomersialisasi dengan harga yang tidak terjangkau bagi rakyat Indonesia yang telah menjadi “tikus percobaan” gratisan.
Pemerintah: Fasilitator atau Makelar Manusia?
Yang paling mengecewakan adalah sikap pemerintah yang lebih berperan sebagai makelar daripada pelindung rakyatnya. Dengan dalih kerjasama internasional dan transfer teknologi, pemerintah dengan mudah memberikan izin uji klinis tanpa negosiasi yang menguntungkan Indonesia. Dr. Erlina Burhan dari Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) secara tegas mengkritik lemahnya bargaining power pemerintah dalam negosiasi dengan perusahaan farmasi multinasional.
Sementara negara-negara maju melindungi warganya dengan regulasi ketat dan kompensasi yang memadai, Indonesia justru “menjual murah” akses terhadap tubuh rakyatnya. Data dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menunjukkan bahwa sebagian besar uji klinis yang berlangsung di Indonesia memberikan kompensasi yang sangat minim kepada partisipan, bahkan tidak sebanding dengan risiko yang harus ditanggung.
Prof. Dr. Tjandra Yoga Aditama, mantan Direktur WHO South-East Asia Region, dalam analisisnya yang tajam menyatakan bahwa uji klinis vaksin TBC di Indonesia lebih menyerupai eksploitasi berlabel ilmiah daripada kerjasama yang setara. Ketika kelompok kontrol mendapat plasebo sementara kelompok eksperimen mendapat vaksin yang belum teruji keamanannya, siapa yang benar-benar diuntungkan dalam skema ini?
Yang lebih ironis, masyarakat Indonesia yang menjadi subjek uji klinis seringkali tidak memahami sepenuhnya risiko yang mereka hadapi. Informed consent yang diberikan penuh dengan jargon medis yang sulit dipahami, dan proses edukasi kepada partisipan sangat minim. Dr. Purnamawati Tjandrawati, mantan Kepala Balitbangkes Kementerian Kesehatan, mengungkapkan bahwa banyak partisipan uji klinis yang terlibat karena faktor ekonomi, bukan karena pemahaman yang matang tentang prosedur medis yang akan mereka jalani.
Kondisi yang menyakitkan ini seharusnya tidak membuat kita putus asa, tetapi justru menjadi fuel untuk membangun motivasi kolektif menuju kemandirian riset kesehatan. Prof. Dr. Amin Soebandrio dari Eijkman Institute menekankan bahwa kemarahan terhadap ketidakadilan sistemik dapat diubah menjadi energi positif untuk membangun kapasitas penelitian domestik yang tidak lagi bergantung pada “belas kasihan” negara maju.
Indonesia memiliki semua elemen yang dibutuhkan: prevalensi TBC yang tinggi memberikan data epidemiologi yang kaya, sumber daya manusia berkualitas, dan yang terpenting, populasi yang besar sebagai basis penelitian. Yang hilang hanyalah political will dari pemerintah untuk berinvestasi serius dalam riset kesehatan domestik, bukan sekadar menjadi “penyedia bahan baku” bagi penelitian asing.
Dr. Herawati Sudoyo dari Eijkman Institute dalam visinya tentang masa depan penelitian Indonesia menegaskan bahwa kemandirian riset vaksin TBC bukanlah mimpi yang mustahil. Korea Selatan yang dulu juga menjadi subjek uji klinis negara maju, kini telah menjadi powerhouse industri farmasi global. Transformasi ini dimungkinkan karena ada komitmen politik yang kuat untuk membangun ekosistem riset yang mandiri.
Yang dibutuhkan adalah perubahan paradigma fundamental: dari mindset “penerima bantuan” menjadi “partner setara”. Pemerintah harus berani menolak uji klinis yang eksploitatif dan mulai berinvestasi serius dalam pengembangan vaksin TBC indigenous. Prof. Dr. Riris Andono Ahmad dari UGM mengingatkan bahwa investasi dalam riset bukan pengeluaran, tetapi investasi jangka panjang yang akan memberikan kedaulatan kesehatan bagi bangsa.
Motivasi terbesar untuk berubah harusnya datang dari kesadaran akan martabat bangsa yang terus diinjak-injak melalui praktik uji klinis yang eksploitatif. Setiap kali kita membiarkan rakyat Indonesia menjadi “tikus percobaan” tanpa jaminan keadilan, kita sebenarnya sedang menggadaikan masa depan generasi mendatang.
Saatnya membangun gerakan perlawanan akademik yang menolak kolonialisme riset dalam bentuk apapun. Komunitas ilmiah Indonesia harus bersatu membangun pressure untuk transformasi sistemik, dari regulasi yang lebih ketat hingga investasi masif dalam riset domestik. Hanya dengan cara inilah Indonesia dapat keluar dari lingkaran setan sebagai objek eksploitasi menuju subjek yang berdaulat dalam percaturan riset kesehatan global.
Vaksin TBC buatan Indonesia bukan sekadar cita-cita, tetapi keharusan moral untuk mengembalikan martabat bangsa yang terlalu lama tergadaikan atas nama kemajuan ilmu pengetahuan. Motivasi untuk mewujudkannya harus datang dari rasa malu dan marah yang konstruktif, bukan dari harapan kosong akan belas kasihan negara lain.
(Penulis adalah Mahasiswa Politeknik Negeri Jakarta)
Referensi
Ahmad, R. A. (2021). Epidemiologi dan Kebijakan Kesehatan Masyarakat di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Burhan, E. (2020). Tuberkulosis: Tantangan dan Peluang di Era Modern. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.
Kartasasmita, C. B. (2019). Pulmonologi Anak: Perspektif Indonesia. Bandung: Universitas Padjadjaran Press.
Soebandrio, A. (2022). Biomolekular dan Masa Depan Penelitian Indonesia. Jakarta: Eijkman Institute Press.
Sudoyo, H. (2021). Membangun Ekosistem Penelitian yang Berkelanjutan. Jakarta: Indonesian Academy of Sciences.
Discussion about this post