Oleh: Ifanko Putra
Ada salah satu penggalan falsafah Minangkabau yang lafalnya, tungkek mambaok rabah (tongkat membawa rebah). Makna dari falsafah ini lebih kurang: Seseorang yang diberi amanah, yang diberi wewenang, yang dipercaya, malah menjadi perusak amanah, wewenang, dan kepercayaan itu sendiri.
Kejadian yang banyak menyita perhatian publik belakangan ini, yang mempertontonkan berbagai penyelewengan penegak hukum, pemimpin, pejabat publik, dan lainnya tidak ubahnya ibarat tongkat membawa rebah.
Masih hangat lagi kasus penembakan Brigadir Joshua oleh atasannya sendiri Jenderal Polisi berbintang dua, Ferdy Sambo yang kasusnya saat ini masih bergulir di pengadilan.
Selain polisi, ada pula kasus Hakim Agung Sudrajat Dimyati. Hakim agung yang mestinya menjadi ujung tombak keadilan, malah menerima suap bersama-sama beberapa pegawai Mahkamah Agung (MA) lainnya untuk pengurusan perkara.
Yang terbaru adalah kasus Kapolda Sumatera Barat Tedy Minahasa yang juga jenderal bintang dua. Tedy ditangkap karena diduga menjual barang bukti sabu-sabu, beberapa nama polisi lainnya juga ikut terseret.
Sebagai pemimpin polisi tingkat provinsi, sepatutnya Ia menjadi garda terdepan dalam memberantas peredaran dan penyalahgunaan Narkoba, bukan malah turut andil meraup keuntungan dari penjualan barang haram tersebut.
Saat menjabat Kapolda, Tedy pun sempat disematkan gelar datuak, gelar yang bukan sembarang gelar bagi masyarakat Minang. Tedy disematkan gelar ‘Datuak Bandaharo Alam Sati.‘
Biasanya sebelum disematkan gelar datuak, kandidat datuak tersebut terlebih dahulu harus disumpah. Agaknya karena datuak “honoris causa” Tedy tidak disumpah.
Ada kesakralan dalam proses pengangkatan datuak ini di ranah Minang, sumpahnya bukan main. Bila tidak benar dalam menjalankan amanah sebagai datuak, maka dalam sumpahnya:
“Kaateh indak bapucuak, ka bawah indak baurek, di tangah-tangah digiriak kumbang.”
(Keatas tidak berpucuk, ke bawah tidak berurat, di tengah-tengah dilubangi kumbang).
Sumpah ini melekat dan menjadi semacam ‘warning‘ bagi seorang yang bergelar datuak dalam menjalankan tugasnya sebagai pemimpin.
Singkatnya, makna sumpah itu adalah yang bersangkutan bersedia dikutuk dan hidupnya hancur bila berperilaku menyeleweng dan melanggar norma yang ada (seperti norma agama, norma hukum, norma adat dll), selama ia menyandang gelar datuak.
Sebagai tamu yang dihormati karena bertugas di Sumbar, penghormatan dan elu-eluan tokoh adat dan masyarakat yang telah memberinya gelar datuak, dibalasnya dengan mencemari gelar itu sendiri.**
Meski yang mengemuka beberapa nama di atas, sesungguhnya ini bukanlah soal Sambo, soal Sudrajat, dan soal Tedy belaka. Tetapi gambaran betapa bobroknya perilaku sebagian pejabat dan penegak hukum kita. Betapa tongkat yang menjadi tempat bersandar masyarakat, ternyata malah yang membawa rebah, yang turut menjerumuskan.
Bolehlah kita bertanya, perilaku sewenang-wenang, merekayasa kasus, menerima suap, memperjual belikan barang bukti untuk kepentingan pribadi- menistai hukum dan sebagainya oleh aparat penegak hukum, apakah ini hal baru? Yang bisa menjawab adalah instansi penegak hukum yang bersangkutan.
Ada yang bilang, masih banyak penegak hukum yang baik dan lurus.
Jika masih banyak penegak hukum yang baik dan lurus, sudah seharusnya jangan diam melihat penyelewengan yang dilakukan oleh rekan sejawat, meski jika penyelewengan itu sudah terstruktur. Jika tidak mampu, lebih baik berpikir ulang tentang keberadaan Anda di institusi tersebut, karena Anda digaji untuk menegakkan hukum, kebenaran, dan keadilan. Jangan sampai terjadi lagi, tongkat membawa rebah.
Batam, 17 Oktober 2022.
Discussion about this post