Takalar, Radarhukum.id – Seorang Pendamping Lokal Desa (PLD) berinisial HR di Desa Banggae, Kecamatan Mangarabombang, Kabupaten Takalar, merangkap jabatan sebagai Ketua Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Padahal, larangan rangkap jabatan ini sudah jelas diatur dalam Keputusan Menteri Desa PDTT Nomor 40 Tahun 2021, tepatnya pada Bab III halaman 74 poin ke-18. Aturan itu melarang PLD menduduki jabatan pada lembaga yang anggarannya bersumber dari APBN, APBD, maupun APBDesa.
Praktik yang disebut-sebut telah berlangsung bertahun-tahun itu menuai kritik tajam dari publik. Mereka menilai, tidak ada itikad tegas dari pemerintah daerah untuk menindak pelanggaran. Hingga baru-baru ini, HR akhirnya mundur dari jabatan Ketua BPD. Pengunduran diri itu dikonfirmasi langsung oleh Kepala Desa Banggae saat dikonfirmasi wartawan.
.Sejumlah warga narasumber media ini yang minta namanya tidak dipublikasikan mempertanyakan, bagaimana mungkin pelanggaran ini bisa luput dari pengawasan selama ini. Tidak sedikit pula yang menduga HR mendapat perlindungan dari pihak tertentu.
Dugaan pembiaran ini mengundang kekecewaan dari sejumlah pihak, termasuk lembaga masyarakat. Laporan sudah diajukan oleh Lembaga Analisis HAM Indonesia dan Aliansi Pemantau Kinerja Aparatur Negara (APKAN) ke berbagai instansi. Namun, hingga kini belum ada tindak lanjut yang jelas.
Masyarakat menyoroti kinerja sejumlah institusi, mulai dari camat, Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DISPMD), hingga Inspektorat. Laporan yang dilayangkan justru berujung pada aksi saling lempar tanggung jawab antar-lembaga.
Pihak Kejaksaan Negeri Takalar melalui Kepala Seksi Intelijen, Muh. Musdar, SH, mengatakan pihaknya telah menelaah laporan dan meneruskannya ke Inspektorat.
Sementara itu, Hj. Hasiah, SE, MM, selaku Kepala Irban Wilayah I Inspektorat Takalar, menolak mengambil alih kasus tersebut. Ia menegaskan bahwa Inspektorat hanya berwenang melakukan audit dan pengawasan kinerja, bukan menindak pendamping desa. Ia menyarankan agar pelapor langsung berkoordinasi dengan DISPMD atau Kementerian Desa.
Plt. Inspektur, Nur Ilham Malik, juga tidak memberikan jawaban yang pasti. Ia hanya menyarankan agar wartawan menanyakan langsung ke Sekda atau Bupati.
Hal serupa juga disampaikan Kepala Bidang DISPMD Takalar, Supriadi Siantang. Ia menegaskan bahwa urusan pendamping desa bukan menjadi kewenangan pihaknya. “Itu ranahnya Kementerian Desa, bukan DISPMD,” katanya singkat.
Ketua Umum Lembaga Analisis HAM Indonesia, Ambo Doddin, angkat bicara. Ia menyayangkan sikap lembaga-lembaga terkait yang terkesan menghindar. Menurutnya, kasus seperti ini tidak boleh dibiarkan. Pendamping desa yang terbukti melanggar aturan, kata dia, harus diberi sanksi tegas dan diminta mengembalikan anggaran yang sudah diterima selama menjabat rangkap.
“Kalau aturan sudah dilanggar, harus ada tindakan. Jangan dibiarkan berlarut-larut, karena ini menyangkut integritas penggunaan dana negara,” ujarnya lewat pesan suara.
Ambo menambahkan, pembiaran hanya akan memperburuk citra pemerintahan dan memperkuat ketidakpercayaan masyarakat terhadap institusi yang semestinya menegakkan aturan.
Hingga berita ini diturunkan, belum ada langkah konkret dari pihak Pemkab Takalar maupun instansi terkait lainnya.
Discussion about this post