Oleh: H. Tirtayasa
Kader Seribu Ulama Doktor MUI-Baznas RI Pusat Angkatan 2021,
Imam Besar Masjid Agung Islamic Center Natuna,
Widyaiswara Ahli Muda (Junior Trainer) BKPSDM Kabupaten Natuna.
Pendahuluan
Budaya filantropi telah ada sebelum Islam bersamaan dengan berkembangnya diskursus tentang keadilan sosial (Rahardjo, 2003; Saripudin, 2016). Praktik filantropi bukan budaya yang baru dikenal pada zaman modern namun sudah ada sebelum Islam karena gotong royong dan kepedulian terhadap sesama manusia juga ditemukan di zaman kuno (Saripudin, 2016). Filantropi juga ditekankan agama Kristen kepada penganutnya. Dalam kepercayaan Majusi, filantropi menjadi salah satu hal yang penting dalam kehidupan mereka. Filantropi bukan hanya tumbuh dalam tradisi keagamaan Timur Tengah, melainkan juga di wilayah lain, seperti Hindu dan Budha di India, agama-agama di Cina dan Jepang, agama asli Afrika dan Amerika, serta berbagai bentuk keyakinan lain di seluruh dunia (Muslikhah dan Kurniawan, 2023; Saripudin, 2016; Sholikhah et al., 2023).
Aktivisme filantropi di berbagai belahan dunia semakin mengembirakan. Hal ini didasarkan pada semakin masif dan berkembangnya isu mengenai pentingnya kesejahteraan, kemandirian, dan kemanusiaan. Ketiga isu tersebut biasanya dilakukan secara sukarela oleh berbagai lembaga charity, organisasi atau kelompok masyarakat. Beberapa konglomerat bahkan mendirikan lembaga filantropi tersendiri, misalnya, Bill Gates dengan nama Bill & Miranda Gate Foundation pada tahun 2000 yang mampu mengorganisir kegiatan filantropi kepada badan amal maupun institusi pendidikan. Sementara di Indonesia sendiri ada beberapa lembaga filantropi yang didirikan oleh konglomerat seperti Putra Sampoerna Foundation, Eka Tjibta Foundation, Yayasan Tahija, Chairul Tanjung Foundation, dan Ciputra Foundation (Makhrus, 2018).
Islam sebagai agama yang syamil (komprehensif) dan kamil (sempurna) serta rahmatan lil'alamin (menjadi rahmat bagi seluruh alam) menampilkan dirinya sebagai agama yang berwajah dermawan (Ahyani et al., 2021). Banyak bentuk filantropi Islam yang diambil dari doktrin agama seperti yang terdapat dalam Al-Qur'an dan hadis. Filantropi dalam Islam di antaranya dikenal dengan zakat, infak, sedekah, dan wakaf (Ahyani et al. 2022; Bamualim dan Bakar, 2005; Fauzia, 2016; Farma dan Umuri, 2021; Huda et al., 2023; Mubin dan Siddiq, 2022; Zainudin, 2024). Tujuannya adalah agar kekayaan tidak hanya beredar di kalangan orang kaya saja. Filantropi bertujuan untuk meningkatkan kualitas kesejahteraan manusia melalui sikap dan perilaku welas asih untuk meringankan beban orang lain (Latief, 2013). Oleh karena itu, filantropi Islam juga dapat diartikan sebagai pemberian sedekah yang didasarkan pada pemajuan keadilan sosial bagi masyarakat umum (Huda et al., 2023). Konsep utama dalam filantropi Islam adalah konsep kewajiban keagamaan, etika agama, dan konsep terakhir yang merupakan inti dari tujuan bersedekah dan agama itu sendiri, yaitu keseimbangan sosial (Saripudin, 2016).
Filantropi merupakan unsur penting dalam Islam dan mempunyai kedudukan utama dalam kehidupan pengikutnya (Huda et al., 2023; Iskandar et al., 2021). Dalam Islam, filantropi telah menjadi inti pengembangan masyarakat (Huda et al., 2023; Ismail et al., 2022). Islam sangat memperhatikan filantropi (Huda, 2023; Meidina dan Mokan, 2023). Hal ini terlihat dengan baik dalam Al-Qur'an seperti pada surat al-Taubah: 103, al-Baqarah: 215, al-Baqarah: 43, al-Baqarah: 195, al-Baqarah: 215, al-Baqarah: 261, Ali Imran: 92, al-Nisa': 114, al-Nahl: 71, al-Ma'un: 1-3, dan al-Kautsar: 2 (Meidina et al., 2023; Huda et al., 2023).
Umat Islam selama ini secara proaktif telah berbuat sesuatu dalam merespons kebutuhan penguatan peran filantropi Islam dalam bingkai dan koridor hukum-hukum syariat dan kemaslahatan umat sesuai maqashid syariah (tujuan-tujuan syariat). Semangat filantropi umat Islam Indonesia, menurut sebuah survei, tergolong tinggi. Sejauh ini filantropi telah banyak menjadi studi, kajian, penelitian, dan mewarnai partisipasi masyarakat (civil society) dalam pembangunan kesejahteraan sosial. Filantropi seperti diketahui mengalami perkembangan pesat di berbagai negara muslim dalam beberapa dekade terakhir, baik dari segi potensi, konsep pemberdayaan, pemanfaatan, dan berbagai masalah yang melingkupinya (Hafidhuddin, 2018).
Dalam pandangan secara umum, praktik filantropi dengan segala dimensi, varian, dan kreativitasnya memberi isyarat menggembirakan tentang gambaran peradaban Islam masa depan. Islam seperti diketahui mengajarkan dasar-dasar keadilan sosial dan kesejahteraan yang paripurna. Islam mengajarkan umatnya agar memperhatikan nasib fakir miskin dan kaum dhuafa yang terpinggirkan dalam sistem ekonomi liberal dan kapitalis. Islam tidak sebatas menganjurkan menolong yang kaum lemah, bahkan mewajibkan orang-orang yang memiliki harta untuk mengeluarkan zakat karena dalam harta itu terdapat hak kaum miskin (Hafidhuddin, 2018).
Di kalangan Muslim Indonesia, kegiatan filantropi semakin marak dalam dua dekade ini, terutama pasca krisis moneter di akhir tahun 1990-an (Latief, 2016; Triatmo et al., 2020). Perkembangan tradisi filantropi terjadi dalam tiga bidang: wacana, institusi, dan regulasi. Dalam ranah wacana, filantropi yang pada awalnya dipahami sebagai ibadah keagamaan, telah menjelma menjadi konsep sosial yang lebih luas. Awalnya, filantropi dipandang sebagai instrumen untuk kepentingan masyarakat terutama keadilan sosial-ekonomi. Perkembangan di ranah institusi ditandai dengan lahirnya berbagai filantropi organisasi, baik yang dikelola oleh masyarakat sipil maupun oleh negara (Triatmo et al., 2020). Dalam ranah regulasi, pemerintah mempunyai kewenangan tunggal dalam mengelola zakat (salah satu bentuk filantropi Islam) di Indonesia. Namun, bukan berarti dengan demikian masyarakat sipil akan kehilangan haknya untuk mengelola zakat. Masyarakat sipil masih diberikan berhak ikut mengelola zakat namun fungsinya hanya sekedar membantu tugas pemerintah (Fauzia, 2016; Triatmo et al., 2020).
Filantropi, sebagai ungkapan nyata kepedulian terhadap sesama, juga menyebar di berbagai sektor masyarakat. Dalam lingkungan Aparatur Sipil Negara (ASN), fenomena ini tidak hanya mencerminkan tanggung jawab sosial, tetapi juga diwarnai oleh nilai-nilai keagamaan yang khas. Dalam kerangka ini, filantropi ASN menjelma menjadi sebuah realitas yang kaya makna, menggali kedalaman keislaman untuk memberikan landasan moral yang kuat.
Islam, sebagai pandangan hidup komprehensif, mengajarkan konsep-konsep kepedulian sosial dan solidaritas yang bersifat mendalam. Filantropi ASN dalam perspektif Islam membawa dimensi spiritual yang tidak hanya memotivasi tindakan amal, tetapi juga membentuk nilai-nilai moral yang menjadi pilar keberlanjutan masyarakat. Pemahaman terhadap ajaran-ajaran Islam mengenai zakat, sedekah, dan amal saleh menjadi landasan untuk menggali potensi filantropi yang lebih besar dari ASN.
Selanjutnya tulisan ini akan membahas lebih jauh tentang Filantropi ASN dalam Perspektif Islam (Analisis Tindakan Sosial Max Weber terhadap Program ASN Natuna Berbagi).
Konsep Dasar Filantropi
Filantropi merupakan istilah baru dalam Islam. Namun demikian, belakangan ini, sejumlah istilah Arab digunakan sebagai padanannya. Filantropi kadang-kadang disamakan dengan al-‘atha' al-ijtima'i yang berarti pemberian sosial, al-takaful al-insani yang berarti solidaritas kemanusiaan, al-‘atha' al-khayri yang berarti pemberian untuk kebaikan, birr (perbuatan baik), shadaqah yang berarti sedekah (Ibrahim, 2008; Saripudin, 2016; Widyati, 2011).
Filantropi tergolong kata serapan dan belum begitu popular di Indonesia. Istilah ini sampai sekarang belum mendapatkan perpadanan kata yang pas dan disepakati sebagai kata baku. Sebagian masyarakat mengartikannya sebagai “kedermawanan”, “cinta kasih”, “kasih sayang”, “kesetiakawanan”, dan sebagainya, yang merupakan terjemahan bebas dari philanthropy. Kata philanthropy sendiri berasal dari bahasa Yunani phillen yang berarti mencintai (to love) dan anthropos yang berarti manusia (human kind). Kata philanthropy dimaknai sebagai “ungkapan cinta kasih kepada sesama manusia” (Abidin, 2016; Jusuf, 2007; Latief, 2010; Prihatna, 2005; Rohayati, 2023).
Filantropi lebih dekat maknanya dengan charity, sebuah kata yang berasal dari bahasa Latin caritas yang berarti cinta tak bersyarat (unconditioned love). Namun, sebenarnya terdapat perbedaan antara kedua istilah tersebut. Charity cenderung mengacu pada pemberian jangka pendek, sedangkan filantropi lebih bersifat jangka panjang (Anheier dan List, 2005; Anderson, 2007; Saripudin, 2016). Filantropi secara etimologis berarti, kemurahan hati (Emzaed et al., 2021), donasi sosial, dan segala sesuatu yang menunjukkan rasa cinta terhadap sesama manusia makhluk (Bamualim dan Bakar, 2005).
Makna filantropi di atas telah melahirkan beragam definisi. Filantropi diartikan sebagai tindakan sukarela personal yang didorong kecenderungan untuk menegakkan kemaslahatan umum (Friedman dan McGarvie, 2003; Saripudin, 2016), atau perbuatan sukarela untuk kemaslahatan umum (Payton dan Moody, 2008; Saripudin, 2016). Filantropi juga diartikan sebagai sumbangan baik materi maupun non materi untuk mendukung sebuah kegiatan yang bersifat sosial tanpa balas jasa bagi pemberinya (Anheier dan List, 2005; Saripudin, 2016). Definisi di atas menunjukkan bahwa tujuan umum yang mendasari setiap definisi filantropi adalah cinta yang diwujudkan dalam bentuk solidaritas kepada sesama manusia (Saripudin, 2016; Sulek, 2010).
Secara harfiah, filantropi adalah konseptualisasi dari praktik memberi (giving), pelayanan servis (services), dan asosiasi secara sukarela untuk membantu pihak lain yang membutuhkan sebagai ekspresi rasa cinta. Sebagai bentuk rasa cinta, individu atau kelompok, filantropi diwujudkan dengan menyisihkan sebagian dari waktu, bantuan (pertolongan) atau uang untuk menolong demi kebaikan masyarakat (Bawaqi, 2019; Rohayati, 2023; Tamim, 2016).
Filantropi adalah kedermawanan sosial yang terprogram dan ditujukan untuk pengentasan masalah sosial (seperti kemiskinan) dalam jangka waktu panjang. Filantropi juga diartikan sebagai tindakan sukarela personal atau lembaga yang didorong untuk menegakkan kemaslahatan umum atau perbuatan sukarela untuk kemaslahatan umum (Muslikhah dan Kurniawan, 2023; Zanil et al., 2020).
Pengertian filantropi secara lebih luas adalah kesadaran untuk memberi dan menolong yang bertujuan untuk mengatasi kesulitan dan meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat dalam jangka panjang (Rohayati et al., 2023). Secara terminologis, filantropi adalah tindakan seseorang yang ditujukan kepada orang lain yang dilandasi perasaan cinta kepada sesama manusia serta nilai kemanusiaan dengan maksud untuk menolongnya, baik dalam bentuk material maupun immaterial (Tamim, 2016). Filantropi adalah keikhlasan hati untuk menolong atau memberikan sebagian harta, tenaga, maupun pikiran, secara sukarela untuk kepentingan orang lain (Farma dan Umuri, 2021; Thaha, 2003). Filantropi juga bisa diartikan sebagai ide atau pemahaman tentang tindakan sukarela dalam memberikan bantuan, menyediakan layanan, dan berpartisipasi dalam kelompok sukarela sebagai wujud kasih sayang kepada mereka yang memerlukan (Amar, 2020; Izniyah et al. 2024). Dalam pengertian yang lebih umum, filantropi juga mencakup kegiatan altruistik yang dimaksudkan untuk mempromosikan nilai-nilai kebaikan atau meningkatkan taraf hidup masyarakat (Murodi, 2021; Syaifullah et al., 2024).
Filantropi merupakan salah satu modal sosial yang hampir dimiliki oleh semua kalangan masyarakat manapun. Filantropi sebagai sebuah tradisi telah menyatu dalam kultur komunal yang telah mengakar sejak lama khususnya di masyarakat pedesaan. Fakta kultural menunjukkan bahwa tradisi filantropi dilestarikan melalui pemberian derma kepada teman, keluarga, dan tetangga yang kurang beruntung. Ciri lainnya ditunjukkan dengan tuntutan masyarakat untuk memprioritaskan tujuan meringankan beban orang miskin yang jumlahnya naik hingga 48 persen selama krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak tahun 1997 (Pirac, 2002; Tamim, 2016).
Ditinjau dari sisi tata kelola, filantropi dibagi menjadi dua bentuk, yaitu pertama, citizen philanthropy (filantropi warga) dan organized philanthropy (filantropi terorganisir). Citizen philanthropy merupakan aktivitas memberi yang umumnya dilakukan oleh individu perorangan atau sekelompok orang atau warga masyarakat. Citizen philanthropy bisa dikategorikan ke dalam filantropi karitas atau kegiatan amal. Filantropi jenis ini mempunyai sifat azas manfaat jangka pendek. Organized philanthropy adalah bentuk filantropi yang terorganisir dan terlembagakan (Schearer, 1995; Tamim, 2016). Filantropi ini berbentuk sebuah lembaga yang mempunyai struktur organisasi, visi, dan program kerja yang mengatur kinerja agar dana filantropi didistribusikan kepada para penerima. Demikian juga dengan filantropis atau pelaku filantropi bukan hanya dari golongan perorangan, namun juga dari kelompok dunia usaha (pebisnis) (Peter, 2006; Tamim, 2016).
Ditinjau dari sifatnya, ada dua jenis filantropi, yaitu filantropi tradisional dan filantropi modern. Filantropi tradisional diartikan sebagai sikap kedermawanan karitas (belas kasihan) yang pada umumnya pemberiannya berbentuk pelayanan sosial seperti pemberian kebutuhan berupa makanan, pakaian, dan tempat tinggal. Dengan demikian, filantropi tradisional lebih bersifat individual yang justru didorong oleh maksud tertentu seperti menaikkan status dan prestise di mata publik. Model karitas seperti ini justru mempertebal relasi kuasa orang kaya terhadap orang miskin. Dalam konteks makro, filantropi tradisional hanya mampu mengobati penyakit kemiskinan sebagai akibat dari ketidakadilan struktural (Jusuf, 2007; Rohayati et al., 2023).
Berbeda dengan filantropi tradisonal, filantropi modern yang lazim disebut filantropi untuk pembangunan dan keadilan sosial diartikan sebagai suatu sikap kedermawanan sosial untuk melakukan perubahan dan keadilan sosial secara struktural berkaitan dengan masalah kemiskinan, pendidikan, kesehatan, hak asasi manusia, gender, lingkungan hidup, dan sosial-budaya. Hal ini bertujuan untuk menjembatani antara jurang orang kaya dan orang miskin dengan upaya mobilisasi alokasi sumber daya untuk mendukung kegiatan yang menggugat ketidakadilan struktural yang menjadi penyebab kemiskinan dan ketidakadilan. Jika dilihat dari orientasinya, maka filantropi modern lebih institusional dan sistematik. Dalam konsep filantropi modern ini, sumber daya dikumpulkan lalu diarahkan pada kegiatan perubahan sosial dengan menggunakan metode pengorganisasian masyarakat, advokasi, dan pendidikan publik yang pada umumnya direpresentasikan oleh organisasi masyarakat sipil (Jusuf, 2007; Rohayati et al., 2023).
Dalam konsep filantropi modern yang diusahakan melalui pembangunan sosial diyakini bahwa kemiskinan lebih disebabkan oleh ketidakadilan dalam alokasi sumber daya dan akses kekuasaan dalam masyarakat. Oleh karena itu, filantropi modern diharapkan dapat mendorong perubahan struktur dan kebijakan agar memihak kepada mereka yang lemah dan minoritas (bahkan untuk kasus di Indonesia yang lemah dan mayoritas) (Jusuf, 2007; Rohayati et al., 2023).
Barry Knight mengatakan bahwa ada lima faktor yang bisa dikategorikan sebagai filantropi untuk keadilan sosial. Pertama, pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat, misalnya, makanan, pakaian, perumahan, lingkungan hidup, kesehatan, dan sebagainya. Kedua, bederma untuk hal-hal yang berhubungan dengan kesetaraan, seperti kesetaraan gender, anti-diskriminasi, hak asasi manusia. Ketiga, kedermawanan untuk program yang berhubungan dengan pembagian kekuasaan, misalnya penegakan demokrasi. Keempat, dukungan pendanaan untuk meningkatkan kapasitas masyarakat. Kelima, partisipasi publik di dalam pengambilan keputusan. Keenam, program ini bisa dianggap sebagai filantropi untuk keadilan sosial (Abidin, 2016; Ibrahim, 2005).
Islam tampil bukan dalam ruang sejarah hampa, melainkan berhadapan dengan berbagai tradisi sebelumnya, demikian pula dengan tradisi filantropi dari agama sebelumnya (Lapidus, 1995, Saripudi, 2016). Haffening (1987) berpendapat bahwa tradisi filantropi dalam Islam mmerupakan warisan dari agama Yahudi dan Kristen (Saripudin, 2016). Sedangkan Perikhanian (1986) mengemukakan bahwa filantropi Islam banyak dipengaruhi oleh model filantropi Zoroastrian. Keduanya memiliki kesamaan terutama dalam penekanan terhadap masalah wakaf (Saripudin, 2016).
Filantropi dalam Islam dipahami sebagai kewajiban moral umat Islam untuk berbuat baik terhadap Tuhan (McChesney, 1995; Siddiqui, 2022). Bagi umat Islam, kewajiban ini telah ditentukan oleh sumber hukum Islam (Fauzia, 2013; Siddiqui, 2023). Ada dua sumber utama hukum Islam, yaitu Al-Qur'an dan sunah. Dalam Al-Qur'an, beberapa istilah yang menyimpulkan filantropi antara lain zakat, sedekah, birr (kebajikan), amal al-salihat (perbuatan baik), khair (kebaikan) dan ihsan (berbudi luhur) (Fauzia, 2013; Siddiqui, 2023).
Semangat filantropi dalam Islam dapat ditemukan dalam sejumlah ayat Al-Qur'an dan hadis Nabi yang menganjurkan umatnya agar bederma (Kaleem dan Ahmed, 2010; Saripudin, 2016). Di antara ayat Al-Qur'an yang menganjurkan umatnya untuk bederma adalah firman Allah,
“Mereka akan bertanya kepadamu (Muhammad) tentang apa yang harus mereka infakkan. Katakanlah: “Apapun kebaikan yang kamu infakkan kepada orang tua dan keluarga, anak yatim, orang miskin, dan orang asing, dan kebaikan apapun yang kamu lakukan, Allah pasti mengetahuinya” (Q.S. al-Baqarah: 215).
Di antara hadis yang menganjurkan umat untuk bederma adalah sabda Rasulullah,
“Perbuatan baik itu menjadi penghalang bagi jalannya keburukan. Sedekah sembunyi-sembunyi dapat memadamkan amarah Tuhan. Silaturahim dapat memperpanjang umur. Setiap kebaikan adalah sedekah. Pemilik kebaikan di dunia adalah pemilik kebaikan di akhirat. Pemilik keburukan di dunia adalah pemilik keburukan di akhirat. Orang pertama yang masuk surga adalah pemilik kebaikan” (H.R. Thabrani).
Kedua dalil di atas menunjukkan bahwa prinsip umum filantropi Islam adalah “setiap kebaikan merupakan sedekah” (Sabiq, 1982). Semangat filantropi dalam Islam dapat dibuktikan dalam wujud pelaksanaan zakat, infak, sedekah, wakaf, dan sebagainya (Makhrus, 2018; Saripudin, 2016). Dalam surat al-Taubah ayat 60 dan 103; surat al-Baqarah ayat 177 dan 261; surat Ali Imran ayat 92, ayat 133 dan 134; surat Fathir ayat 29 dan 30; serta sejumlah ayat lain dalam Al-Qur'an; dijelaskan kedudukan dan peran filantropi khususnya zakat, infak, dan sedekah sebagai bukti keimanan dan kecintaan seseorang muslim terhadap perbuatan baik yang membawa keberuntungan dunia dan akhirat (Hafidhuddin, 2018).
Islam mengenal dua dimensi utama hubungan, yaitu hubungan manusia dengan Allah, dan hubungan manusia dengan manusia (Alhasbi dan Ghazali, 1994; Saripudin, 2016). Tujuan dari kedua hubungan ini adalah keselarasan dan kemantapan hubungan dengan Allah, dan sesama manusia termasuk dirinya sendiri dan lingkungan. Inilah akidah atau keyakinan dan wasilah (jalan) untuk mencapai kesejahteraan baik di dunia maupun di akhirat (Sakti, 1988; Saripudin, 2016). Kesejahteraan tersebut, tidak hanya diperoleh melalui hubungan dengan Tuhan semata seperti kewajiban salat, puasa, dan haji, melainkan juga harus dibarengi dengan hubungan yang berdimensi sosial seperti kewajiban mengeluarkan zakat. Zakat termasuk infak dan sedekah berfungsi untuk menjembatani dan mempererat hubungan sesama manusia terutama hubungan antara kelompok yang kuat dengan yang lemah (Bremer, 2004; Saripudin, 2016).
Zakat merupakan komponen utama kebijakan fiskal dalam ekonomi Islam. Dana zakat merupakan sumber pertama dan terpenting dari penerimaan negara pada awal pemerintahan Islam (Saripudin, 2016). Konsep zakat secara mendasar tidak mengalami perubahan yang signifikan dari waktu ke waktu. Hal yang membedakan hanyalah masalah operasional penghimpunan dan pemberdayaan dana zakat, karena konsep fikih zakat menyebutkan bahwa sistem zakat berusaha untuk mempertemukan pihak surplus muslim dengan pihak defisit muslim, dengan harapan terjadi proyeksi pemerataan pendapatan antara surplus dan defisit muslim atau bahkan menjadikan kelompok yang defisit (mustahik) menjadi surplus (muzakki) (Nasution dan Wibisono, 2005; Saripudin, 2016).
Zakat adalah bagian dari harta dengan persyaratan tertentu, yang Allah wajibkan kepada pemiliknya, untuk diserahkan kepada yang berhak menerimanya, dan dengan persyaratan tertentu pula. Dengan pemahaman ini, zakat dapat dikategorikan sebagai ibadah maliyah ijtimai'yah, yang merupakan ibadah di bidang harta yang memiliki kedudukan yang sangat penting dalam pembangunan masyarakat (Syafei, 2015; Saripudin, 2016).
Zakat adalah ibadah dalam bidang harta yang mengandung hikmah dan manfaat yang demikian besar dan mulia, baik yang berkaitan dengan orang yang berzakat (muzakki), penerimanya (mustahik), harta yang dikeluarkan zakatnya, maupun bagi masyarakat keseluruhan (Qadir, 1998; Saripudin, 2016).
Secara bahasa, kata infak berarti hal menafkahkan, membelanjakan, dan berarti pula mengeluarkan sesuatu (harta) untuk kepentingan sesuatu. Sedangkan menurut terminologi syariat, infak berarti mengeluarkan sebagian harta untuk suatu kebaikan yang diperintahkan Allah (Djuanda et al., 2006; Saripudin, 2016), atau pengeluaran suka rela yang dilakukan seseorang, setiap kali dia memperoleh rezeki, sebanyak yang dia kehendakinya sendiri. Infak berarti memberikan harta dengan tanpa kompensasi apapun (Bremer, 2004; Saripudin, 2016). Al-Qur'an menetapkan infak berupa sebagian dari rezeki Allah. Maksudnya adalah bahwa yang dinafkahkan itu hanya sebagian, sedangkan sebagian lagi ditabungkan dan dikembangkan untuk kegiatan produktif (Faizal et al. 2013; Saripudin, 2016). Islam mengajarkan manusia untuk suka memberi berdasarkan kebajikan, kebaktian, dan keikhlasan, serta melalui cara-cara yang baik. Infak merupakan amalan yang mulia. Jika dilakukan dengan ikhlas semata-mata karena Allah, maka orang yang berinfak akan mendapatkan pahala yang baik di akhirat kelak (Saripudin, 2016).
Kata sedekah berasal dari bahasa Arab shadaqa, yang berarti benar. Sedekah juga diartikan sebagai pemberian seseorang secara ikhlas kepada yang berhak menerimanya yang diiringi oleh pemberian pahala oleh Allah (Makhrus dan Utami, 2015; Saripudin, 2016). Menurut terminologi syariah, pengertian sedekah sama dengan pengertian infak, termasuk juga hukum dan ketentuannya. Penekanan infak berkaitan dengan materi, sedangkan sedekah memiliki arti lebih luas. Selain berkaitan dengan materi, sedekah juga menyangkut hal yang bersifat non-materi (Kato, 2014; Saripudin, 2016), seperti memberi nasihat, melaksanakan amar makruf nahyi mungkar, mendamaikan yang berseteru, membaca tasbih, tahmid, tahlil, dan sebagainya (Retsikas, 2014; Saripudin, 2016). Sedekah tidak ditentukan jumlah dan sasaran penggunaannya. Sedekah meliputi semua kebaikan yang diperintahkan oleh Allah (Makhrus dan Utami, 2015; Saripudin, 2016).
Bentuk lain dalam filantropi Islam adalah wakaf (waqf). Waqf adalah masdar dari kata kerja waqafa-yaqifu yang berarti “melindungi atau menahan”. Sinonim wakaf meliputi tahbis, tasbil atau tahrim. Ketiga istilah yang terakhir ini kalah populer dibandingkan dengan istilah wakaf. Dalam era kontemporer wakaf berkembang secara lebih elegan. Wakaf tidak hanya berwujud tanah, masjid, sekolah, dan benda lainnya yang ditahan pokok barangnya yang berpola klasik. Wakaf berkembang menjadi “wakaf produktif” ataupun “wakaf tunai” yang berdampak besar dalam perubahan sosial dan kesejahteraan (Makhrus, 2018).
Secara umum, filantropi dalam Islam sesungguhnya adalah bagian dari ibadah maliyah ijtima'iyah, yaitu ibadah di bidang harta yang memiliki posisi sosial yang sangat penting dan menentukan. Filantropi dalam Islam seyogyanya dijadikan sebagai kebutuhan dan life style (gaya hidup) seorang Muslim. Kekuatan dan kelemahan keimanan dan keislaman seseorang antara lain ditentukan oleh sikap kedermawanan dan kepedulian sosialnya. Oleh karena itu diperlukan langkah-langkah yang strategis dan kontinyu untuk menguatkan sikap ini, antara lain melalui upaya-upaya sebagai berikut.
Pertama, terus menerus dilakukan edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat tentang urgensi sikap filantropi dalam meraih kebahagiaan hidup dunia akhirat. Sarana filantropi dalam Islam, seperti kesadaran berzakat, berinfak, bersedekah, dan berwakaf memerlukan penguatan dan penataan dalam pengelolaannya agar mencapai hasil yang diharapkan, yaitu berdampak terhadap kehidupan masyarakat luas.
Kedua, menguatkan peran dan manfaat badan atau lembaga yang bergerak di bidang filantropi, seperti Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS), Lembaga Amil Zakat (LAZ), dan yang lainnya agar semakin dipercaya oleh masyarakat dan mudah dijangkau oleh kalangan dhuafa. Ketika lembaga-lembaga tersebut (BAZNAS dan LAZ) dikelola dengan standar profesionalitas yang tinggi bukan berarti berubah menjadi “lembaga elite” yang serba birokratis dan memiliki jarak dengan kaum mustadh'afin. Kualitas Sumber Daya Manusia (SDM), sistem Information Technology (IT) yang canggih adalah justru untuk memudahkan pelayanan, baik bagi masyarakat pemberi maupun masyarakat penerima dana Zakat Infak Sedekah dan Wakaf (ZISWAF).
Ketiga, memperluas pemanfaatan dana filantropi di samping untuk hal-hal yang bersifat konsumtif dan sesaat, juga hal-hal yang bersifat jangka panjang dalam rangka memotong mata rantai kemiskinan, seperti biaya untuk pendidikan, kesehatan, perbaikan ekonomi, penyediaan tempat tinggal yang layak, dan lain-lain.
Keempat, kerja sama dengan berbagai pihak agar gerakan filantropi ini menjadi gerakan bersama yang bersifat masif. Dalam Al-Qur'an ditegaskan, ”Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang makruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan salat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (Q.S. al-Taubah: 71) Hafidhuddin, 2018).
Teori Tindakan Sosial Max Weber
Maximilian Karl Weber (Max Weber) adalah salah satu tokoh sosiologi klasik yang paling berpengaruh dalam sejarah ilmu sosial. Dia dikenal sebagai pencipta konsep-konsep dan teori-teori sosiologi yang revolusioner, seperti tipe ideal, rasionalisasi, dominasi, otoritas, birokrasi, etika protestan, dan semangat kapitalisme. Karya-karya Weber tidak hanya membahas tentang sosiologi, tetapi juga meliputi bidang ekonomi, politik, agama, hukum, dan filsafat. Weber juga merupakan seorang intelektual yang berani mengkritik kondisi sosial dan politik di Jerman pada masanya. Dia juga terlibat dalam gerakan reformasi dan demokratisasi di negaranya (Lampung, 2023).
Karya-karya Weber memiliki dampak dan pengaruh yang sangat besar terhadap perkembangan ilmu pengetahuan sosial dan humaniora di dunia. Banyak konsep dan teori yang dikembangkan oleh Weber menjadi acuan dan inspirasi bagi para ilmuwan sosial lainnya, seperti Talcott Parsons, Robert K. Merton, C. Wright Mills, Jurgen Habermas, Pierre Bourdieu, Anthony Giddens, dan lain-lain. Weber juga dianggap sebagai salah satu bapak dari sosiologi modern bersama dengan Émile Durkheim dan Karl Marx (Lampung, 2023).
Salah satu pemikiran Max Weber adalah bahwa kenyataan sosial lahir tidak terlepas dari pemahaman tentang motivasi seseorang dan tindakan sosial. Metode yang dimaksud dalam pemikiran ini dinamakan Vertehen, yang berupaya menemukan pemahaman yang benar dan jelas mengenai maksud dari tindakan sosial. Tindakan sosial yang dimaksud oleh Max Weber ialah tindakan yang dilakukan seorang individu yang memiliki sebuah makna dan tujuan bagi dirinya (yang melakukan) dan diarahkan kepada tindakan bagi orang lain (Putra dan Suryadinata, 2020; Ritzer, 2011). Teori tindakan sosial Max Weber menjadi pemahaman dalam keterlibatan beberapa aspek dalam mencari motif-motif di balik makna tindakan aktor berdasarkan tipe-tipe tindakan sosial yang merepresentasikan perubahan sosial-politik (Prahesti, 2021).
Menurut Weber, penelaah konsep-konsep sosiologi sangat penting untuk mengulas ide terkait tindakan sosial bukan dalam konsep empirik. Konsep tersebut tidak menekankan pada seseorang terkait apa yang harus dilakukan tetapi mengatakan apa yang dapat dilakukan di bawah keadaan-keadaan tertentu. Weber memiliki minat yang besar terhadap teori tindakan sosial terkait masalah motivasi, niat (intend), dan perilaku (behaviour). Weber juga memasukkan permasalahan sosiologisnya yang ditekankan pada tipe sosiologis yang menjadi ciri khas rasional dan positivisnya tentang pemahaman (Prahesti, 2021).
Teori tindakan sosial Max Weber berorientasi pada motif dan tujuan pelaku. Masing-masing individu maupun kelompok memiliki motif untuk melakukan tindakan tertentu dan dengan alasan tertentu. Menurut Weber, ini adalah cara terbaik untuk memahami berbagai alasan mengapa orang dapat bertindak. Dengan menggunakan teori ini dapat dipahami perilaku setiap individu maupun kelompok bahwa masing-masing memiliki motif dan tujuan yang berbeda terhadap sebuah tindakan yang dilakukan. Teori ini bisa digunakan untuk memahami tipe-tipe perilaku tindakan setiap individu maupun kelompok. Dengan memahami perilaku setiap individu maupun kelompok, sama halnya dengan penghargaan dan pemahaman atas alasan-alasan individu maupun kelompok dalam melakukan suatu tindakan. Sebagaimana diungkapkan oleh Weber, cara terbaik untuk memahami berbagai kelompok adalah menghargai bentuk-bentuk tipikal tindakan yang menjadi ciri khasnya, sehingga dapat dipahami alasan-alasan warga masyarakat tersebut bertindak (Muhlis dan Norkholis, 2016).
Tindakan sosial dibedakan menjadi empat jenis berdasarkan motif para pelakunya. Keempat jenis tindakan tersebut selanjutnya akan penulis gunakan untuk menganalisis fenomena filantropi ASN dengan fokus pada kegiatan ASN Natuna Berbagi. Empat tindakan tersebut adalah sebagai berikut.
Pertama, tindakan tradisional, yaitu tindakan yang dilakukan karena kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat tanpa menyadari alasannya. Tindakan ini merupakan tindakan yang tidak rasional. Seseorang melakukan tindakan hanya karena kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat tanpa menyadari alasannya atau membuat perencanaan terlebih dahulu mengenai tujuan dan cara yang akan digunakan. Dalam tindakan ini, seseorang memperlihatkan perilaku tertentu karena kebiasaan yang diperoleh dari diri sendiri maupun orang lain, tanpa refleksi yang sadar atau perencanaan yang matang. Suatu tindakan digolongkan dalam jenis tindakan tradisional ketika pelakunya melakukan tindakan tertentu atas dasar kebiasaan, tanpa perencanaan, dan tanpa refleks yang sadar (Fasawwa, 2023; Muhlis dan Norkholis, 2016; Pancari dan Renggani, 2021; Prahesti, 2021; Putra dan Suryadinata, 2020; Ritzer dan Goodman, 2011; Turner, 2012).
Kedua, tindakan afektif, yaitu tindakan yang ditentukan pada kondisi dan orientasi emosional. Tindakan ini umumnya muncul sebagai ungkapan atau respons pada keadaan tertentu, sehingga terjadi luapan emosi baik dalam bentuk amarah, kesedihan, atau kegembiraan. Tindakan afektif bersifat tidak rasional lantaran tidak dilakukan atas pertimbangan logis, ideologi, atau kriteria rasionalitas lainnya. Tipe afektual merupakan sumbangan penting dalam memahami jenis dan kompleksitas empati manusia yang dirasakan sulit, jika lebih tanggap terhadap reaksi emosional seperti sifat kepedulian, marah, ambisi, dan iri. Tindakan ini dipengaruhi oleh emosi. Tindakan afektif sifatnya spontan, kurang rasional, dan merupakan ekspresi emosional dari individu. Tipe tindakan ini ditandai oleh dominasi perasaan atau emosi manusia tanpa refleksi intelektual atau perencanaan yang sadar. Seseorang yang sedang mengalami perasaan meluap-luap seperti cinta, ketakutan, kemarahan, atau kegembiraan secara spontan mengungkapkan perasaan itu tanpa refleksi, berarti sedang memperlihatkan tindakan afektif (Fasawwa, 2023; Muhlis dan Norkholis, 2016; Pancari dan Renggani, 2021; Prahesti, 2021; Putra dan Suryadinata, 2020; Ritzer dan Goodman, 2011; Turner, 2012).
Ketiga, tindakan rasionalitas instrumental, yaitu tindakan yang ditujukan pada pencapaian tujuan-tujuan secara rasional diperhitungkan oleh faktor yang bersangkutan. Tindakan rasionalitas instrumental merupakan suatu tindakan sosial yang dilakukan seseorang didasarkan atas pertimbangan dan pilihan sadar yang berhubungan dengan tujuan tindakan itu dan ketersediaan alat yang dipergunakan untuk mencapainya. Tindakan rasional instrumental ini merupakan tingkat yang tertinggi, sebab pada tindakan ini setiap individu dinilai memiliki macam-macam tujuan yang mungkin diinginkan, serta dapat mempertimbangkan dengan baik dan mampu memilih dengan sadar tujuan serta alat yang digunakan untuk mencapainya. Tindakan ini dilakukan dengan memperhitungkan kesesuaian antara cara yang akan digunakan dan tujuan yang akan dicapai secara rasional. Tindakan ini ditentukan secara matang melalui penghimpunan informasi, menandai kemungkinan-kemungkinan maupun hambatan-hambatan yang ada, serta memperhitungkan konsekuensi yang mungkin muncul dari pilihan tindakan yang satu dengan yang lainnya (Fasawwa, 2023; Muhlis dan Norkholis, 2016; Pancari dan Renggani, 2021; Prahesti, 2021; Putra dan Suryadinata, 2020; Ritzer dan Goodman, 2011; Turner, 2012).
Keempat, tindakan rasionalitas nilai, yaitu tindakan rasional berdasarkan nilai untuk alasan dan tujuan yang berkaitan dengan nilai yang diyakini secara personal tanpa memperhitungkan prospek yang berkaitan dengan berhasil dan gagalnya tindakan tersebut. Dalam tipe ini aktor memiliki kendali lebih dalam menanggulangi tujuan akhir dan nilai-nilai yang merupakan tujuan yang satu-satunya harus dicapai. Tindakan ini berorientasi pada tujuan yang mutlak dan sudah ada, serta tidak dapat dipilih seperti nilai keagamaan. Hal ini menunjukkan bahwa tindakan rasionalitas nilai merupakan tindakan yang menitikberatkan kepada nilai kepercayaan/kerohanian yang murni serta mutlak kebenarannya dengan tujuan yang sudah diyakini kejelasannya oleh setiap personal. Dalam tindakan ini, seorang individu tidak tergantung pada tujuan bersifat pribadi, melainkan lebih mengutamakan penilaian masyarakat berdasarkan ukuran baik atau buruk sesuai nilai dan norma yang berlaku. Maka itu, tipe tindakan rasional berorientasi nilai tidak mengedepankan cara maupun hasil terbaik, melainkan kesesuaiannya dengan nilai sosial (Fasawwa, 2023; Muhlis dan Norkholis, 2016; Pancari dan Renggani, 2021; Prahesti, 2021; Putra dan Suryadinata, 2020; Ritzer dan Goodman, 2011; Turner, 2012).
Progam ASN Natuna Berbagi
Program ASN Natuna Berbagi didasarkan pada surat yang ditandatangani oleh Kepala Bagian Kesejahteraan Rakyat Sekretariat Daerah Kabupaten Natuna, tertanggal 20 Oktober 2022, dengan Nomor 400/KESRA/228/2022, dan dengan Perihal Sekretariat Program Penggalangan/Pengumpulan Beras. Surat tersebut ditujukan kepada Kepala Organisasi Perangkat Daerah (OPD), Asisten, Staf Ahli, Kabag di Sekretariat Daerah Kabupaten Natuna, dan Direktur Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Natuna.
Adapun isi surat tersebut adalah tindak lanjut Program Bupati Natuna agar seluruh Aparatur Sipil Negara (ASN) pada seluruh Organisasi Perangkat Daerah (OPD) se-Kabupaten Natuna dan seluruh Bagian di Sekretariat Daerah dan RSUD Natuna, memberikan satu kilogram beras setiap bulan untuk didistribusikan kepada masyarakat yang membutuhkan. Beras yang sudah terkumpulkan diserahkan kepada Bagian Kesra Sekretariat Daerah Kabupaten Natuna dan diantar langsung ke Asrama Haji Natuna (Komplek Islamic Center Natuna Gerbang Utaraku) pada setiap jam kerja. Adapun tembusan surat tersebut disampaikan kepada Bupati Natuna, Wakil Bupati Natuna, Sekretaris Daerah Kabupaten Natuna, dan pertinggal.
Menurut informasi yang diberikan oleh salah seorang sumber, Program ASN Natuna Berbagi ini berawal dari keprihatinan Pemerintah Kabupaten Natuna terhadap kondisi masyarakat yang mengalami kesulitan ekonomi pasca dilanda Covid-19, khususnya masyarakat yang kurang mampu. Program ASN Natuna Berbagi ini adalah salah satu upaya untuk membantu masyarakat yang membutuhkan tersebut dan sebagai wujud kepedulian ASN di Lingkungan Pemerintah Kabupaten Natuna terhadap lingkungan sosialnya. Masyarakat sangat terbantu oleh adanya Program ASN Natuna Berbagi. Selain itu, menurut sumber yang lain, program ini juga bisa mengembangkan jiwa empati dan jiwa sosial di kalangan ASN.
Sumber lain menyebutkan secara lebih rinci manfaat Program ASN Natuna Berbagi. Pertama, pemberdayaan ekonomi masyarakat. Proram ini membantu mendorong perekonomian masyarakat dengan memberikan bantuan beras kepada masyarakat yang kurang mampu. Hal ini dapat membantu meringankan beban ekonomi mereka. Kedua, peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dengan adanya bantuan beras melalui program ASN Natuna Berbagi, masyarakat yang kurang mampu dapat merasakan peningkatan kesejahteraan mereka. Ketiga, pengentasan kemiskinan. Program ini dapat menjadi salah satu langkah dalam upaya pengentasan kemiskinan dengan memberikan bantuan langsung kepada masyarakat yang membutuhkan, sehingga mereka dapat memenuhi kebutuhan pokok mereka dengan lebih baik. Keempat, meningkatkan kepuasan dan kepedulian publik. Program bantuan seperti ASN Berbagi beras dapat meningkatkan kepuasan dan kepedulian publik terhadap pemerintah karena program tersebut merupakan wujud nyata dari perhatian dan kepedulian pemerintah terhadap kesejahteraan masyarakat. Kelima, mendorong solidaritas sosial. Program ini juga dapat memperkuat rasa solidaritas sosial di antara masyarakat, karena para ASN yang berpartisipasi dalam program ini turut berperan aktif dalam membantu sesama yang membutuhkan
Sumber yang sama juga menyebutkan, ada beberapa faktor yang motivasi lahirnya Program ASN Natuna Berbagi. Pertama, kepedulian sosial. Motivasi utama lahirnya program ini adalah kepedulian sosial dari para ASN terhadap masyarakat yang kurang mampu. ASN merasa bertanggung jawab untuk membantu sesama yang membutuhkan terutama dalam hal kebutuhan pokok seperti beras. Kedua, pengentasan kemiskinan. Salah satu tujuan utama pemerintah adalah mengentaskan kemiskinan. Program ASN Natuna Berbagi bisa menjadi salah satu langkah konkret dalam upaya ini, dengan memberikan bantuan beras kepada masyarakat yang membutuhkan. Ketiga, meningkatkan kepuasan dan kepedulian publik. Pemerintah mungkin memiliki motivasi untuk meningkatkan kepuasan dan kepedulian publik terhadap pemerintahannya dengan meluncurkan program bantuan seperti berbagi beras. Hal ini bisa menjadi bagian dari upaya membangun citra positif di mata masyarakat. Keempat, membangun solidaritas dan keharmonisan. Program semacam ini juga dapat berfungsi untuk membangun solidaritas dan keharmonisan di antara ASN, ASN dengan masyarakat, dan pemerintah dengan masyarakat. Kelima, meningkatkan efisiensi dan produktivitas. Program seperti ini juga dapat dimotivasi oleh keinginan untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas para ASN, memberikan kesempatan bagi mereka untuk berpartisipasi dalam kegiatan sosial. Selain itu, sumber lain menyebutkan bahwa keikutsertaan ASN dalam Program ASN Natuna Berbagi karena ajakan pimpinan dan motivasi untuk melatih keikhlasan.
Menurut sumber yang sama, Program ASN Natuna Berbagi ini didukung oleh beberapa faktor. Pertama, adanya komitmen Pemerintah Kabupaten Natuna terhadap berjalannya Program ASN Natuna Berbagi. Kedua, adanya partisipasi aktif ASN di Lingkungan Pemerintah Kabupaten Natuna dalam menyukseskan Program ASN Natuna Berbagi. Ketiga, adanya keterlibatan masyarakat sebagai penerima bantuan dari Program ASN Natuna Berbagi. Keempat, adanya transparansi dan akuntabilitas dalam pelaksanaan Program ASN Natuna Berbagi. Kelima, adanya evaluasi dan peningkatan berkelanjutan dalam implementasi Program ASN Natuna Berbagi.
Namun demikian, Program ASN Natuna Berbagi, masih menurut sumber yang sama, masih menghadapi beberapa faktor pengambat. Pertama, kurangnya kesadaran sebagian ASN di Lingkungan Pemerintah Kabupaten Natuna untuk berbagi. Kedua, tidak lancarnya pencairan tunjangan ASN di Lingkungan Pemerintah Kabupaten Natuna. Ketiga, adanya ketidakstabilan politik atau administratif dalam pelaksanaan Program ASN Natuna Berbagi. Keempat, kurangnya kesadaran atau keterlibatan sebagian masyarakat dalam pelaksanaan Program ASN Natuna Berbagi. Kelima, adanya perbedaan persepsi dan prioritas. Sebagian ASN memandang bahwa program ASN Natuna Berbagi yang sudah berlangsung lebih dari satu tahun dalam bentuk berbagi beras tersebut bersifat konsumtif dan kurang mendidik bagi masyarakat, yang oleh karena itu dinilai tidak termasuk program yang diprioritaskan.
Senada dengan penjelasan di atas, sumber lain menyebutkan bahwa Program ASN Natuna Berbagi ini mengandung beberapa manfaat. Pertama, memberikan dukungan moral karena dengan adanya ASN berbagi menunjukkan bahwa ada orang lain yang peduli dan ingin membantu mereka dalam mengatasi kesulitan yang mereka hadapi. Kedua, memperkuat solidaritas sosial, karena melalui program tersebut, solidaritas sosial dapat diperkuat. Saling membantu satu sama lain mampu memperkuat ikatan dalam masyarakat.
Menurut sumber yang sama, Program ASN Berbagi ini dimotivasi oleh beberapa hal. Pertama, agama Islam mengajarkan pentingnya berbagi rezeki kepada yang membutuhkan sebagai bagian dari ibadah. Kedua, adanya rasa empati terhadap mereka yang kurang beruntung dan merasa terpanggil untuk memberikan bantuan kepada mereka. Ketiga, bentuk solidaritas sosial bahwa ASN peduli akan lingkungan sekitarnya. Keempat, untuk kepuasan pribadi dan merasa lebih baik secara emosional karena kontribusi positif yang mereka berikan kepada masyarakat.
Masih menurut sumber yang sama, Program ASN Natuna Berbagi ini didukung oleh beberapa faktor, yaitu kesadaran agama dan moral, dukungan komitmen pimpinan atau pemerintah daerah, edukasi dan kesadaran ASN untuk berbagi. Adapun faktor pemghambatnya adalah keterbatasan sumber daya, kurangnya kesadaran dan motivasi, serta keragu-raguan.
Pernyataan bahwa adanya komitmen Pemerintah Kabupaten Natuna terhadap berjalannya Program ASN Natuna Berbagi sebagai salah satu faktor pendukung Porgram ASN Natuna Berbagi, diperkuat oleh sumber lain yang menyebutkan bahwa program tersebut didukung penuh oleh Bupati, Wakil Bupati, dan seluruh jajaran Pemerintah Kabupaten Natuna. Jumlah ASN di Lingkungan Pemerintah Kabupaten Natuna yang cukup besar dan sejalan dengan program pengentasan kemiskinan adalah faktor lain yang mendukung suksesnya Pogram ASN Natuna Berbagi.
Program ASN Natuna Berbagi ini mendapat respons yang positif dari ASN di Lingkungan Pemerintah Kabupaten Natuna. Hal ini dibuktikan dengan terkumpulnya beras dari ASN dengan jumlah yang signifikan. Berdasarkan data dari Bagian Kesejahteraan Rakyat Sekretariat Daerah Kabupaten Natuna, pada tahun 2022 terhitung dari bulan Oktober hingga Desember beras yang terkumpul dari ASN di lingkungan Pemerintah Kabupaten Natuna adalah sebanyak 3.660 kilogram. Beras tersebut dibagikan kepada warga Kelurahan Ranai sebanyak 1.000 kilogram, warga Desa Sepempang sebanyak 500 kilogram (17 Nopember 2022), Jamaah Tablig sebanyak 35 kilogram, mahasiswa STAI Natuna sebanyak 20 kilogram, masyarakat Natuna sebanyak 20 kilogram (18 Nopember 2022), Jamaah Tablig sebanyak 10 kilogram (2 Desember 2022), warga Kelurahan Ranai sebanyak 500 kilogram, warga Kelurahan Ranai Darat sebanyak 200 kilogram, warga Kelurahan Batu Hitam sebanyak 350 kilogram, warga Kelurahan Bandarsyah sebanyak 350 kilogram (15 Desember 2022), mahasiswa STAI Natuna sebanyak 20 kilogram, masyarakat Natuna sebanyak 20 kilogram (26 Desember 2022). Jumlah beras yang tersalurkan kepada warga yang berhak menerimanya pada tahun 2022 adalah 3.025 kilogram dan sisa yang belum disalurkan sebanyak 635 kilogram.
Jumlah beras yang terkumpul dari ASN Kabupaten Natuna pada tahun 2023 adalah sebanyak 10.897 kilogram setelah ditambahkan dengan sisa beras yang belum didistribusikan pada tahun 2022 sebanyak 635 kilogram. Adapun distribusinya adalah sebagai berikut: Jamaah Tablig sebanyak 50 kilogram (06 Januari 2023), Jamaah Tablig sebanyak 50 kilogram (11 Januari 2023), warga Kecamatan Bunguran Timur sebanyak 500 kilogram (12 Januari 2023), warga Desa Batu Gajah sebanyak 500 kilogram (19 Januari 2023), masyarakat Natuna sebanyak 20 kilogram (31 Januari 2023), warga Kelurahan Bandarsyah sebanyak 300 kilogram (02 Februari 2023), Jamaah Tablig sebanyak 100 kilogram (07 Februari 2023), warga Kelurahan Batu Hitam sebanyak 300 kilogram (16 Februari 2023), warga Kelurahan Ranai Darat sebanyak 300 kilogram (23 Februari 2023), warga Batu Hitam sebanyak 300 kilogram (02 Februari 2023), warga Kecamatan Serasan sebanyak 500 kilogram (06 Maret 2023), Jamaah Tablig sebanyak 50 kilogram (26 Maret 2023), Jamaah Tablig sebanyak 50 kilogram (26 April 2023), warga Desa Batu Gajah sebanyak 300 kilogram (11 Mei 2023, Jamaah Tablig sebanyak 300 kilogram (17 Mei 2023), warga Desa Sungai Ulu sebanyak 300 kilogram (18 Mei 2023), warga Kelurahan Ranai sebanyak 300 kilogram, warga kelurahan Ranai Darat sebanyak 300 kilogram, warga Kelurahan Batu Hitam sebanyak 300 kilogram, warga Kelurahan Bandarsyah sebanyak 300 kilogram, warga Desa Sepempang sebanyak 300 kilogram, warga Desa Batu Gajah sebanyak 300 kilogram, dan warga Desa Sungai Ulu sebanyak 300 kilogram (22 Juni 2023), Jamaah Tablig sebanyak 50 kilogram (22 Juli 2023), masyarakat Natuna sebanyak 20 kilogram (31 Juli 2023), Jamaah Tablig sebanyak 50 kilogram (19 Agustus 2023), masyarakat Natuna sebanyak 50 kilogram (29 Agustus 2023), Jamaah Tablig sebanyak 50 kilogram, masyarakat Natuna sebanyak 30 kilogram (06 September 2023), masyarakat Natuna sebanyak 50 kilogram (03 Oktober 2023), masyarakat Kecamatan Bunguran Timur sebanyak 2.200 kilogram (05 Oktober 2023), masyarakat Natuna sebanyak 30 kilogram (10 Oktober 2023), Jamaah Tablig sebanyak 50 kilogram (11 Oktober 2023, Jamaah Tablig sebanyak 100 kilogram (06 Nopmber 2023), masyarakat Natuna sebanyak 30 kilogram (28 Nopember 2023), Jamaah Tablig sebanyak 100 kilogram, masyarakat Natuna sebanyak 10 kilogram (07 Desember 2023), warga Kelurahan Ranai sebanyak 350 kilogram, warga Kelurahan Ranai Darat sebanyak 250 kilogram, warga Kelurahan Bandarsyah sebanyak 250 kilogram, warga Kelurahan Batu Hitam sebanyak 250 kilogram, warga Desa Sepempang sebanyak 250 kilogram, warga Desa Sungai Ulu sebanyak 250 kilogram, warga Desa Batu Gajah sebanyak 250 kilogram, Jamaah Tablig sebanyak 100 kilogram, masyarakat Natuna sebanyak 50 kilogram (31 Desember 2023). Jumlah beras bantuan ASN Natuna Berbagi tahun 2023 yang tersalurkan kepada warga yang membutuhkan sebanyak 10.840 kilogram. Sisa yang belum dibagikan sebanyak 57 kilogram.
Pada tahun 2024 beras yang terkumpul dari infak ASN Natuna Berbagi hingga bulan Maret sebanyak 2.100 kilogram setelah ditambahkan dengan sisa beras tahun 2023 sebanyak 57 kilogram. Adapun distribusinya adalah sebagai berikut: Jamaah Tablig sebanyak 100 kilogram (03 Februari 2024), Pondok Pesantren Fastabiqul Khairat Kecamatan Bunguran Timur Laut sebanyak 100 kilogram, Pondok Pesantren Nurul Jannah Kecamatan Bunguran Timur sebanyak 100 kilogram, Pondok Pesantren Madinatun Najah Kecamatan Bunguran Barat sebanyak 100 kilogram, warga Kelurahan Ranai sebanyak 350 kilogram, warga Kelurahan Ranai Darat sebanyak 250 kilogram, warga Kelurahan Bandarsyah sebanyak 250 kilogram, warga Kelurahan Batu Hitam sebanyak 250 kilogram, warga Desa Sepempang sebanyak 200 kilogram, warga Desa Sungai Ulu sebanyak 200 kilogram, dan warga Desa Batu Gajah sebanyak 200 kilogram (07 Maret 2024).
Total beras yang terkumpul melalui Program ASN Natuna dari bulan Oktober 2022 sampai dengan Maret 2024 sejumlah 15.965 kilogram (15,965 ton). Berdasarkan data distribusi beras dari Program ASN Natuna Berbagi di atas maka didapat proporsi distribusi beras tersebut sebagai berikut: warga Kelurahan Ranai sebanyak 2.750 kilogram (17,23 persen), warga Kelurahan Ranai Darat sebanyak 1,050 kilogram (6,58 persen), warga Desa Sepempang sebanyak 750 kilogram (4,7 persen), Jamaah Tablig sebanyak 1.075 kilogram (6,7 persen), mahasiswa STAI Natuna sebanyak 40 kilogram (0,25 persen), masyarakat Natuna sebanyak 330 kilogram (2,07 persen), warga Kelurahan Batu Hitam sebanyak 1.750 kilogram (10,96 persen), warga Kelurahan Bandarsyah sebanyak 1.550 kilogram (9,70 persen), masyarakat Kecamatan Bunguran Timur sebanyak 2.700 kilogram (16,91 persen), warga Desa Batu Gajah sebanyak 1.550 kilogram (9,70 persen), masyarakat Kecamatan Serasan sebanyak 500 kilogram (3,13 persen), warga Desa Sungai Ulu sebanyak 1.050 kilogram (6,58 persen), Pondok Pesantren Fastabiqul Khairat Kecamatan Bunguran Timur Laut sebanyak 100 kilogram (0,63 persen), Pondok Pesantren Nurul Jannah Kecamatan Bunguran Timur sebanyak 100 kilogram (0,63 persen0, dan Pondok Pesantren Madinatun Najah Kecamatan Bunguran Barat sebanyak 100 kilogram (0,63 persen).
Berdasarkan proporsi distribusi beras dari Program ASN Natuna Berbagi di atas maka dapat diambil ranking lima besar penerima bantuan beras terbanyak sebagai berikut: pertama, Kelurahan Ranai sebanyak 2.750 kilogram (17,23 persen); kedua, masyarakat Kecamatan Bunguran Timur sebanyak 2.700 kilogram (16,91 persen); ketiga, warga Kelurahan Batu Hitam sebanyak 1.750 kilogram (10,96 persen), keempat, warga Kelurahan Bandarsyah sebanyak 1.550 kilogram (9,70 persen) dan warga Desa Batu Gajah sebanyak 1.550 kilogram (9,70 persen); dan kelima, Jamaah Tablig sebanyak 1.075 kilogram (6,7 persen).
ASN Natuna Berbagi dalam Perspektif Tindakan Sosial
Pada bagian ini penulis akan menganalisis motif dan tujuan dari para pelaku Program ASN Natuna Berbagi. Yang penulis maksud para pelaku pada tulisan ini adalah para ASN Natuna yang melakukan gerakan filantropi dalam bentuk Program ASN Natuna Berbagi tersebut. Analisis dalam tulisan ini menggunakan teori tindakan sosial Max Weber.
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, ada empat jenis tindakan sosial yang dikemukakan oleh Max Weber, yakni tindakan tradisional, tindakan afektif, tindakan rasionalitas instrumental, dan tindakan rasionalitas nilai. Pertama, tindakan tradisional, yaitu tindakan yang ditentukan oleh kebiasaan yang sudah dilakukan secara turun temurun dan tetap dilestarikan dari satu generasi ke generasi setelahnya. Menurut salah satu sumber, bagi ASN, berbagi dalam kehidupan sosial adalah tradisi yang sudah dilaksanakan secara turun temurun dan sudah menjadi tradisi dari sejak dahulu. Jika biasanya berbagi dalam bentuk materi seperti uang, beras dan lain-lain dilakukan secara personal, maka melalui Program ASN Berbagi ini, keinginan untuk berbagi dapat dilakukan secara kolektif dan terorganisir dengan baik. Dengan kata lain, filantropi ASN yang sebelumnya masih bertata kelola citizen philantropy (filantropi warga) dan bersifat tradisional kini telah berubah menjadi filantropi yang bertata kelola organized philanthropy (filantropi terorganisir) dan bersifat modern.
Dalam ajaran Islam melaksanakan tradisi yang baik sangat dianjurkan. Hal ini dikarenakan bahwa Islam adalah agama yang bersifat universal dan ajarannya dapat diterima secara normatif dan teoretik. Islam bukanlah kebudayaan maupun tradisi, namun ajaran Islam tidak anti terhadap budaya dan tradisi. Bahkan bisa jadi ketika suatu budaya dan tradisi masyarakat yang telah berjalan akan menjadi bagian dari syariat Islam dengan sendirinya karena ajaran Islam tak akan mengubah budaya ataupun tradisi yang telah melekat dan mendarah daging pada suatu masyarakat kecuali apabila telah jelas tradisi tersebut melenceng dan tak sesuai dengan tuntunan syariat Islam (Nahdiyah dan Saiffuddin, 2021; Tirtayasa et al., 2024).
Hal ini telah dijelaskan dalam Al-Qur'an,
“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma‘ruf (tradisi yang baik), serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh” (Q.S. al-A'raf: 199) (Departemen Agama RI, 1989).
Dalam ayat di atas Allah memerintahkan Nabi Muhammad agar menyuruh umatnya mengerjakan yang makruf. Sebagaimana ditafsirkan oleh Wahbah al-Zuhaili, maksud dari ma‘ruf atau ‘urf dalam ayat tersebut adalah tradisi yang baik (Nahdiyah dan Saiffuddin, 2021; Tirtayasa et al., 2024).
Kedua, tindakan afektif, yaitu tindakan yang dilakukan karena adanya dorongan emosi (perasaan). Menurut teori ini, berlangsungnya suatu tindakan atau aktivitas melibatkan kondisi-kondisi dan orientasi emosional pelaku, seperti rasa kasihan dan empati. Di sini sikap emosional pelaku sangat berperan penting dalam melakukan suatu tindakan. Menurut informasi beberapa sumber, dilakukannya gerakan filantropi berupa Program ASN Natuna Berbagi dalam bentuk pembagian beras ini dimotivasi oleh keinginan untuk turut serta membantu meringankan beban orang lain yang sedang membutuhkan bantuan. Jadi aspek emosional dari ASN Natuna dalam melaksanakan Program ASN Natuna Berbagi di sini adalah perasaan kasihan dan empati terhadap masyarakat yang tidak mampu dan membutuhkan bantuan.
Selain itu, keinginan untuk berbagi melalui Program ASN Natuna Berbagi ini didorong oleh rasa cinta terhadap sesama. Rasa cinta membuat seseorang tidak akan tega membiarkan orang yang dicintai mengalami kesusahan, termasuk kesusahan dalam memenuhi kebutuhan dasar kehidupan. Dalam ajaran Islam, rasa cinta terhadap orang lain memiliki dasar teologis yang kuat bahkan dijadikan sebagai indikator kesempurnaan iman seseorang. Dalam sebuah hadis, Rasulullah bersabda, “Salah satu dari kalian tidak (disebut) beriman (secara sempurna), hingga mencintai saudaranya seperti dia mencintai dirinya sendiri” (H.R. Bukhari dan Muslim).
Ketiga, tindakan rasionalitas instrumental, yaitu tindakan yang dalam upaya mencapai tujuan-tujuan dilakukan secara rasional dan diperhitungkan dengan baik oleh aktor yang melakukannya. Berdasarkan jenis tindakan ini, diketahui bahwa Program ASN Natuna Berbagi dapat dilakukan oleh ASN tidak lepas dari pemikiran secara sadar bahwa mereka memiliki kemampuan untuk melakukannya. Artinya, untuk melaksanakan Program ASN Natuna Berbagi tersebut, ASN sudah memikirkannya secara matang baik dari segi sumber daya manusia yang dibutuhkan maupun aspek lain yang memiliki peran penting yang menjadi dasar pemikiran bahwa kegiatan tersebut dapat berjalan dan berkembang dengan baik sampai sekarang.
Berdasarkan aspek sumber daya manusia yang dimiliki, secara rasional Program ASN Natuna Berbagi dapat dilakukan dan diupayakan keberlangsungannya. Pelaku Program ASN Natuna Berbagi adalah para ASN yang ada di lingkungan Pemerintah Kabupaten Natuna yang memiliki gaji dan tunjangan tetap yang dibayarkan setiap bulan oleh pemerintah. Seperti diketahui bahwa beras yang dikumpulkan dari masing-masing ASN hanya sejumlah satu kilogram untuk setiap bulan, sebuah jumlah yang terhitung sedikit dibandingkan dengan jumlah gaji dan tunjangan yang diterima ASN dalam setiap bulan. Oleh karena itu, dengan kondisi tersebut ASN Natuna akan tetap mampu melaksanakan Program ASN Natuna Berbagi ini karena secara rasional mereka memiliki kemampuan untuk melaksanakannya.
Selain itu, sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa Program ASN Natuna Berbagi ini didukung oleh beberapa faktor. Pertama, adanya komitmen Pemerintah Kabupaten Natuna terhadap berjalannya Program ASN Natuna Berbagi. Kedua, adanya partisipasi aktif ASN di Lingkungan Pemerintah Kabupaten Natuna dalam menyukseskan Program ASN Natuna Berbagi. Ketiga, adanya keterlibatan masyarakat sebagai penerima bantuan dari Program ASN Natuna Berbagi. Keempat, adanya transparansi dan akuntabilitas dalam pelaksanaan Program ASN Natuna Berbagi. Kelima, adanya evaluasi dan peningkatan berkelanjutan dalam implementasi Program ASN Natuna Berbagi. Kelima faktor pendukung ini turut menjadikan Program ASN Natuna Berbagi ini sebagai tindakan yang rasional jika dilihat dari sisi instrumental.
Keempat, tindakan rasionalitas nilai, yaitu tindakan rasional yang berdasarkan nilai, dilakukan dengan tujuan yang memiliki kaitan dengan nilai-nilai yang diyakini secara sendiri tanpa memperhitungkan prospek-prospek yang ada kaitannya dengan berhasil atau gagalnya sebuah tindakan yang dilakukan tersebut. Menurut teori ini, tindakan yang bisa diambil oleh para pelaku dilakukan berdasarkan pada nilai. Tindakan dilakukan karena dianggap sebagai nilai yang benar atau penting. Dalam konteks ini, program ASN Natuna Berbagi memiliki nilai yang sangat penting, yaitu nilai kepedulian terhadap sesama dan nilai ibadah. Program ini dianggap mampu menumbuhkan jiwa kemanusiaan serta penanaman nilai kepedulian dan nilai ibadah.
Kepedulian dalam Islam mendapatkan posisi yang penting dan strategis. Dalam sebuah hadis bahkan dijelaskan bahwa seseorang dimasukkan ke surga dikarenakan kepeduliannya dalam menyingkirkan duri dari jalan. Rasulullah bersabda, “Ada seseorang laki-laki yang melewati ranting berduri berada di tengah jalan. Dia mengatakan, ‘Demi Allah, aku akan menyingkirkan duri ini dari kaum muslimin sehingga mereka tidak akan terganggu dengannya.' Maka Allah pun memasukkannya ke dalam surga” (H.R. Muslim).
Ada beberapa manfaat kepedulian dalam perspektif Islam. Pertama, pengembangan akhlak (moralitas). Kepedulian terhadap orang lain adalah bagian dari ajaran akhlak Islam yang tinggi. Islam mengajarkan umatnya untuk menjadi pribadi yang penuh kasih sayang, suka menolong, dan memperhatikan kesejahteraan orang lain. Dengan adanya kepedulian, seseorang dapat mengembangkan akhlak yang baik dan menyelaraskan perilaku dengan nilai-nilai moral Islam. Kedua, pertumbuhan empati dan keadilan Sosial. Islam mendorong umatnya untuk memahami dan merasakan penderitaan orang lain. Kepedulian terhadap orang lain membantu tumbuhnya empati, yang pada gilirannya dapat mengarah pada keadilan sosial. Islam menekankan pentingnya berbagi rezeki dan kekayaan dengan mereka yang membutuhkan untuk menciptakan masyarakat yang adil. Ketiga, peningkatan solidaritas dan persatuan umat. Kepedulian terhadap sesama merupakan pondasi untuk membangun solidaritas dan persatuan umat Islam. Dalam kehidupan sehari-hari, Islam mendorong umatnya untuk saling membantu, mendukung, dan berkolaborasi dalam hal-hal yang baik demi kepentingan bersama. Dalam sebuah hadis disebutkan bahwa pertolongan diberikan Allah selama seseorang mau menolong saudaranya. Keempat, pelaksanaan ajaran sosial ekonomi Islam. Islam memiliki prinsip-prinsip ekonomi sosial yang menekankan distribusi kekayaan yang adil. Kepedulian terhadap orang lain merupakan implementasi dari prinsip-prinsip ini, termasuk zakat (sumbangan wajib), sedekah, dan bantuan sosial untuk membantu mereka yang kurang beruntung. Kelima, purifikasi jiwa dan peningkatan kualitas hidup. Dalam perspektif Islam, kepedulian terhadap orang lain dianggap sebagai bentuk ibadah dan amal kebajikan. Melalui tindakan-tindakan baik ini, seseorang dapat membersihkan dan memurnikan jiwanya, menciptakan rasa kebahagiaan dan kedamaian dalam hidupnya sendiri, serta meningkatkan kualitas hidup orang lain.
Ibadah memiliki makna yang sangat penting bagi umat Islam. Secara umum, ibadah dalam Islam mencakup segala bentuk aktivitas atau tindakan yang dilakukan oleh seorang muslim sebagai bentuk penghambaan dan ketaatan kepada Allah. Ibadah bukan hanya terbatas pada ritual-ritual formal, tetapi mencakup seluruh aspek kehidupan sehari-hari. Berikut adalah beberapa makna ibadah bagi umat Islam.
Pertama, penghambaan kepada Allah. Ibadah adalah bentuk ekspresi penghambaan dan ketaatan penuh kepada Allah. Umat Islam meyakini bahwa Allah adalah Tuhan yang Maha Esa, dan ibadah merupakan cara untuk mengekspresikan kepatuhan dan cinta kepada-Nya. Kedua, penegakan keadilan dan moralitas. Ibadah tidak hanya terfokus pada hubungan vertikal antara manusia dan Allah, tetapi juga mencakup dimensi horizontal yang melibatkan hubungan antar manusia. Islam mengajarkan agar ibadah juga mencerminkan keadilan, kasih sayang, dan moralitas dalam interaksi sehari-hari. Ketiga, pembentukan karakter dan peningkatan diri. Ibadah membantu umat Islam untuk memperbaiki karakter dan perilaku mereka. Puasa, salat, zakat, infak, sedekah, dan ibadah-ibadah lainnya dirancang untuk membentuk kepribadian yang baik, seperti meningkatkan kesabaran, ketabahan, dan kejujuran. Keempat, penguatan spiritual dan koneksi dengan Allah. Ibadah membantu memperkuat dimensi spiritual seseorang dan memperdalam hubungannya dengan Allah. Salat lima waktu, membaca Al-Qur'an, zakat, infak, sedekah, dan ibadah-ibadah lainnya bertujuan untuk memperdalam pemahaman dan koneksi spiritual dengan Sang Pencipta. Kelima, menjaga keseimbangan hidup. Islam mengajarkan bahwa ibadah tidak hanya terbatas pada aktivitas-aktivitas ritual, tetapi juga mencakup aspek-aspek seperti bekerja, berkeluarga, dan berinteraksi dengan masyarakat. Dengan menjalankan ibadah secara seimbang, seorang muslim diharapkan dapat mencapai harmoni dalam kehidupannya.
Secara keseluruhan, ibadah bagi umat Islam bukan hanya sekadar rutinitas formal, melainkan suatu cara hidup yang mencakup aspek spiritual, moral, sosial, dan pribadi. Ibadah dianggap sebagai jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah dan mencapai tujuan hidup yang sesuai dengan ajaran Islam.
Penutup
Dalam mengkaji program filantropi yang dilakukan oleh ASN di Natuna melalui Pogram ASN Natuna Berbagi, sangat relevan untuk merangkai pandangan ini dalam perspektif Islam yang kaya nilai-nilai kemanusiaan dan kepedulian sosial. Filantropi ASN tidak sekadar sebuah inisiatif, melainkan sebuah bentuk tanggung jawab sosial yang terinspirasi oleh ajaran-ajaran Islam tentang tolong-menolong dan kepedulian terhadap sesama.
Dalam konteks ini, analisis tindakan sosial Max Weber terhadap Program ASN Natuna Berbagi memberikan pemahaman lebih mendalam mengenai motivasi dan tujuan di balik tindakan filantropis ini. Menurut Weber, tindakan sosial dapat dipahami melalui pemahaman atas maksud dan makna yang terkandung di dalamnya. Program ASN Natuna Berbagi tidak hanya merupakan langkah konkret untuk memperbaiki kondisi sosial, tetapi juga mencerminkan semangat kebersamaan dan rasa tanggung jawab ASN terhadap masyarakat.
Dari perspektif Islam, filantropi bukanlah sekadar aksi kebaikan, tetapi merupakan amal yang didasari oleh keimanan dan niat tulus untuk mencari rida Allah. Dalam surat al-Baqarah ayat 267 disebutkan, “Wahai orang-orang yang beriman, belanjakanlah (sebagian) dari rezeki yang Kami berikan kepadamu sebelum datang hari yang pada waktu itu tidak ada lagi jual beli dan tidak ada lagi syafaat.” Filantropi ASN Natuna menjadi wujud implementasi dari ajaran ini, di mana ASN tidak hanya menjadi penerima gaji negara, tetapi juga menjadi agen perubahan yang berkontribusi pada kesejahteraan masyarakat.
Sementara itu, konsep Weber tentang rasionalisasi dan pembentukan institusi sebagai bentuk tindakan sosial, dapat dilihat dalam struktur dan pengelolaan Program ASN Natuna Berbagi. Program ini bukan sekadar kebijakan sosial sementara, tetapi menjadi bagian integral dari sistem birokrasi yang menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan dan kebersamaan. Dengan demikian, filantropi ASN tidak hanya menjadi inisiatif individu, melainkan sebuah upaya kolektif yang terorganisir secara rasional.
Dalam mengakhiri pembahasan ini, perlu disampaikan bahwa filantropi ASN dalam perspektif Islam, yang dianalisis melalui lensa tindakan sosial Max Weber, memberikan gambaran komprehensif tentang makna dan dampak dari upaya kemanusiaan ini. Program ASN Natuna Berbagi tidak hanya mengubah kondisi sosial di tingkat lokal, tetapi juga menjadi model inspiratif bagi institusi dan individu lain dalam menjalankan peran sosialnya. Sebagai langkah kecil namun berarti, filantropi ASN ini diharapkan dapat menjadi dorongan bagi pemahaman yang lebih mendalam tentang peran birokrasi dalam menciptakan keadilan sosial dan kesejahteraan bersama.***
Discussion about this post