Oleh: H. Tirtayasa
Kader Seribu Ulama Doktor MUI-Baznas RI Pusat Angkatan 2021,
Imam Besar Masjid Agung Islamic Center Natuna,
Widyaiswara Ahli Muda (Junior Trainer) BKPSDM Kabupaten Natuna.
Pendahuluan
Pemilihan presiden yang adil dan demokratis merupakan salah satu pilar fundamental dalam membangun dan memelihara stabilitas politik serta sosial di sebuah negara, termasuk Indonesia. Pentingnya pemilihan presiden yang berlangsung secara adil dan demokratis tidak hanya terletak pada proses pemilihan itu sendiri, tetapi juga pada dampak jangka panjang yang ditimbulkannya terhadap kepercayaan publik terhadap sistem pemerintahan dan integritas institusi politik.
Pemilihan presiden yang adil memberikan legitimasi kepada pemerintahan yang terpilih. Proses pemilu yang bebas dan fair menjamin bahwa semua suara dihitung dengan benar, sehingga pemerintahan yang terbentuk merupakan cerminan dari kehendak rakyat. Legitimasi ini penting untuk kestabilan politik, karena tanpanya, pemerintahan dapat dihadapkan pada tantangan kekuasaan dan kurangnya dukungan publik. Menurut Arend Lijphart (1999), legitimasi yang didapatkan melalui pemilu yang adil adalah kunci untuk keberlanjutan demokrasi.
Pemilu yang demokratis menjamin kesetaraan di hadapan hukum dan kesempatan yang sama bagi semua warga negara untuk memilih atau dipilih. Hal ini esensial dalam mewujudkan prinsip-prinsip keadilan sosial dan kesetaraan yang menjadi dasar bagi demokrasi liberal. Robert Dahl (2000) menekankan bahwa pemilihan umum yang adil adalah salah satu kriteria utama dalam menilai demokrasi, memastikan bahwa setiap warga negara memiliki suara yang sama dalam menentukan masa depan politik mereka.
Pemilihan presiden yang dilakukan secara adil dan transparan dapat mengurangi potensi konflik dan ketegangan sosial. Ketika semua pihak merasa bahwa proses pemilu dijalankan secara adil, kemungkinan untuk menerima hasil pemilu tanpa melakukan tindakan yang dapat merugikan stabilitas sosial menjadi lebih tinggi. Hal ini dijelaskan oleh Pippa Norris (2014), yang menyatakan bahwa persepsi tentang integritas pemilu berpengaruh langsung terhadap kecenderungan masyarakat untuk mendukung atau menentang pemerintahan yang terpilih.
Keadilan dalam pemilu juga mendorong partisipasi publik yang lebih besar dalam proses politik. Ketika masyarakat percaya bahwa suara mereka memiliki dampak dan bahwa pemilu dijalankan secara adil, mereka lebih termotivasi untuk terlibat dalam proses politik, baik sebagai pemilih maupun sebagai calon. Ini, sebagaimana ditunjukkan oleh Susan Stokes (2001, meningkatkan kualitas demokrasi karena pemerintahan yang terpilih lebih representatif terhadap keinginan dan kebutuhan masyarakat luas.
Pemilihan presiden yang adil dan demokratis adalah prasyarat penting untuk memastikan stabilitas, legitimasi, kesetaraan, dan partisipasi dalam sistem demokrasi. Proses pemilu yang dijalankan dengan benar tidak hanya menghasilkan pemerintahan yang sah, tetapi juga memperkuat pondasi demokrasi dan mendorong kemajuan sosial.
Penyelesaian sengketa pemilihan presiden dalam perspektif maqashid syariah melibatkan pendekatan yang berfokus pada pemenuhan tujuan-tujuan dasar syariah untuk melindungi dan memajukan kepentingan umat. Maqashid syariah merujuk pada tujuan-tujuan hukum Islam, memprioritaskan perlindungan agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Pendekatan ini menekankan pada perlunya proses pemilu dan penyelesaiannya yang tidak hanya adil dan transparan, tetapi juga harus memperhatikan kesejahteraan umum dan keadilan sosial.
Penyelesaian sengketa pemilihan presiden dalam perspektif maqashid syariah menawarkan kerangka kerja yang komprehensif yang tidak hanya fokus pada proses hukum, tetapi juga pada dampak sosial, moral, dan spiritual dari pemilu. Ini adalah pendekatan yang berorientasi pada hasil yang mengutamakan kesejahteraan dan keadilan bagi semua anggota masyarakat.
Memahami pendekatan maqashid syariah dalam penyelesaian sengketa pemilihan presiden membawa beberapa tujuan dan manfaat penting, yang tidak hanya memperkaya kerangka hukum dan politik tetapi juga mempromosikan keadilan sosial dan integritas dalam proses demokrasi. Pendekatan ini berlandaskan pada prinsip-prinsip syariah yang bertujuan untuk melindungi kepentingan dasar manusia yang mencakup agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.
Tujuan utama dari penerapan maqashid syariah dalam penyelesaian sengketa pemilihan presiden adalah untuk memastikan bahwa keadilan dilaksanakan secara menyeluruh. Maqashid syariah menekankan pada pentingnya keadilan yang tidak hanya sebatas penerapan hukum tetapi juga mencakup pemenuhan kebutuhan dasar dan hak-hak asasi manusia. Jasser Auda (2008) menjelaskan bahwa tujuan syariah adalah untuk mewujudkan keadilan, yang merupakan esensi dari semua perintah dan larangan dalam Islam.
Penerapan prinsip maqashid syariah juga bertujuan untuk meningkatkan legitimasi proses pemilu. Dengan menjamin bahwa semua aspek pemilu, termasuk penyelesaian sengketanya, dilaksanakan dengan mempertimbangkan keadilan, kemaslahatan umum, dan prinsip-prinsip etis, maka pemilu akan lebih diterima oleh masyarakat. Hal ini diungkapkan oleh Tariq Ramadan (2012), yang menekankan pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan publik sesuai dengan prinsip syariah.
Manfaat lain dari penerapan maqashid syariah dalam penyelesaian sengketa pemilu adalah pencegahan dan pengurangan konflik sosial. Ketika proses penyelesaian sengketa dijalankan dengan cara yang adil dan transparan, kepercayaan masyarakat terhadap lembaga pemilu dan hasil pemilu akan meningkat, yang pada gilirannya akan mengurangi potensi konflik. Ibnu Asyur (2006) menyatakan bahwa salah satu tujuan hukum Islam adalah menciptakan harmoni dan menghindari fitnah dalam masyarakat.
Pendekatan maqashid syariah dalam penyelesaian sengketa pemilu membantu dalam pembangunan sistem demokrasi yang tidak hanya formal tapi juga substantif, di mana nilai-nilai keadilan dan kesejahteraan umum menjadi pusat. Menurut An-Na'im (2008, menerapkan maqashid syariah dalam konteks negara modern dapat membantu memastikan bahwa sistem politik tidak hanya mengakui hak-hak individu tapi juga bertindak demi kepentingan kolektif.
Dengan demikian, pendekatan maqashid syariah dalam penyelesaian sengketa pemilu menawarkan sebuah kerangka kerja yang komprehensif untuk melindungi kepentingan dasar manusia sambil memperkuat prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan harmoni sosial.
Konsep Maqashid Syariah
Maqashid syariah ada majemuk (tarkib idhafi) dari kata maqashid dan syariah. Maqashid merupakan bentuk plural (jamak) dari singular (mufrad) kata maqshad atau qashd (Asyur, 2006; Jalili, 2021; Junaidi, 2021; al-Fayum, 1987; al-Marbawi, t.th.; Mutakin, 2017), yang terbentuk dari huruf qaf, shad dan dal, yang berarti yang berarti tujuan yang dikehendaki, kesengajaan atau tujuan (Mutakin, 2017; Wehr, 1980). Istilah ini dapat disamakan dengan istilah “ends” dalam bahasa Inggris “telos” dalam bahasa Yunani, “finalite” dalam bahasa Perancis, atau “zweck” dalam bahasa Jerman (Jhering, 2001; Junaidi, 2021). Adapun dalam ilmu kesyariatan, maqashid dapat menunjukkan beberapa makna seperti hadaf (tujuan), gharadh (sasaran), mathlub (hal yang diinginkan), ataupun ghayah (tujuan akhir) dari hukum Islam (Asyur, 2006; Junaidi, 2021). Sumber lain menyebutkan, maqashid juga merupakan bentuk jamak dari maqshid atau qushud yang merupakan derivasi dari kata kerja qashada-yaqshudu dengan beragam makna, seperti menuju suatu arah, tujuan, tengah-tengah, adil, dan tidak melampaui batas, jalan lurus, tengah-tengah antara berlebih lebihan dan
Dalam perkembangan terakhir, kata syariat digunakan untuk merujuk makna pokok-pokok agama dan kadang-kadang merujuk pada aspek pokok agama dan hukum sekaligus. Al-Asy'ari, seorang teolog terkenal secara tegas memakai kata-kata syariah untuk menunjukkan aspek hukum dari agama Islam. Sedangkan al-Syathibi mengartikan syariat sebagai keseluruhan aturan agama yang mengatur tingkah laku, ucapan dan kepercayaan manusia (al-Syathibi, t.th). Pengertian ini menggambarkan syariat dalam arti luas yang meliputi aspek hukum dan doktrinal sekaligus. Dengan demikian syariah identik dengan agama Islam itu sendiri (Syufa'at, 2013).
Sementara kata syariah secara etimologis kata syariah, berasal dari kata syari'ah dan sinonimnya adalah kata syir'ah. Secara leksikal keduanya berarti jalan menuju mata air (Jalili, 2021; Manzhur, t.th.; Zaidan, 1976). Ungkapan jalan menuju mata air ini mengandung konotasi keselamatan. Dalam Al-Qur'an kedua kata tersebut dipakai untuk arti agama sebagai jalan lurus yang ditetapkan Allah untuk diikuti oleh manusia agar mendapatkan keselamatan (Syufaat, 2013).
Kata syari'ah juga disebutkan berasal dari kata syara'a yasyra'u syar'an yang berarti membuat syariat atau undang-undang, menerangkan serta menyatakan. Dikatakan syara'a lahum syar'an berarti dia telah menunjukkan jalan kepada meraka atau bermakna sanna yang berarti menunjukkan jalan atau peraturan (Mutakin, 2017; Umar, 2007). Dalam terminologi fikih, syariah berarti hukum-hukum yang disyariatkan oleh Allah untuk hamba-Nya, baik yang ditetapkan melalui Al-Qur'an maupun sunah Nabi Muhammad yang berupa perkataan, perbuatan dan ketetapan (Jalili, 2021; Zaidan, 1976).
Al-Raisuni memberikan definisi yang lebih umum, syariah bermakna sejumlah hukum amaliyah yang dibawa oleh agama Islam, baik yang berkaitan dengan konsepsi aqidah maupun legislasi hukumnya (Jalili, 2021; al-Raisuni, 1999). Menurut Asaf A.A. Fyzee, syariah adalah canon law of Islam, yaitu keseluruhan perintah Allah yang berupa nas-nas (Fyzee, 1981; Mutakin, 2017). Sedangkan Satria Effendi menjelaskan bahwa syariah adalah al-nushush al-muqaddasah, yaitu nash yang suci yang terdapat dalam Al-Qur'an dan hadis mutawatirr, yang belum tercampuri oleh pemahaman manusia (Effendi, 1990; Mutakin, 2017), sehingga cakupan syariah ini meliputi bidang i'tiqdiyah, ‘amaliyah, dan khuluqiyah (Bakri, 1999).
Menurut ulama-ulama mutaakhirin, telah terjadi penyempitan makna syariah. Mahmud Syalthuth memberikan pengertian syariah adalah hukum-hukum dan tata aturan yang disyariatkan oleh Allah untuk hamba-hamba-Nya agar dipedomani manusia dalam mengatur hubungan dengan Tuhan, dengan sesama antar manusia, alam dan seluruh kehidupan (Mutakin, 2017; Syalthuth, 1996); Hasan, 2002). Sedangkan Ali al-Sayis menjelaskan bahwa syariah adalah hukum-hukum yang diberikan oleh Tuhan untuk hamba-hamba-Nya agar mereka percaya dan mengamalkanya demi kepentingan mereka di dunia dan akhirat (Mutakin, 2017; al-Syais, 1970).
Secara terminologis, maqashid syariah adalah maksud atau tujuan-tujuan disyariatkannya hukum dalam Islam. Hal ini mengindikasikan bahwa maqashid syariah erat kaitannya dengan hikmah dan ‘illat (Mutakin, 2017; al-Raisuni, 1991). ‘Alal al-Fasi mendefinisikan maqashid syariah sebagi tujuan yang dikehendaki syara' dan rahasia-rahasia yang ditetapkan oleh Syari' (Allah) pada setiap hukum. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa yang dimaksud dengan maqashid syariah adalah tujuan Allah sebagai pembuat hukum yang menetapkan hukum terhadap hamba-Nya. Inti dari maqashid syariah adalah upaya mewujudkan kebaikan sekaligus menghindarkan keburukan atau untuk menarik manfaat dan menolak madarat (al-Fasi, 1993; Jalili, 2021; Muallim dan Yusdani, 1999).
Sementara apabila berbicara maqashid syariah sebagai salah satu disiplin ilmu tertentu yang independen, maka tidak akan dijumpai definisi yang konkret dan komprehensif yang diberikan oleh ulama-ulama klasik (Mutakin, 2017; al-Raisuni, 2005), sehingga akan didapati beragam versi definisi yang berbeda satu sama lain, meskipun kesemuanya berangkat dari titik tolak yang hampir sama. Oleh karena itulah, kebanyakan definisi maqashid syariah yang didapati sekarang ini, lebih banyak dikemukakan oleh ulama-ulama kontemporer, seperti Thahir bin Asyur yang membagi maqashid syariah menjadi dua bagian, yaitu maqashid syariah al-‘ammah dan maqashid syariah al-khashah. Bagian pertama dimaksudkan sebagai hikmah, dan rahasia serta tujuan diturunkannya syariah secara umum yang meliputi seluruh aspek syariat dengan tanpa mengkhususkan diri pada satu bidang tertentu Asyur, 2009; Mutakin, 2017). Sementara bagian kedua dimaksudkan sebagai seperangkat metode tertentu yang dikehendaki oleh Syari' dalam rangka merealisasikan kemaslahatan manusia dengan mengkhususkannya pada satu bidang dari bidang-bidang syariat yang ada (Asyur, 2009; Mutakin, 2017), seperti pada bidang ekonomi dan hukum keluarga.
Wahbah al-Zuhaili mengatakan bahwa maqashid syariah adalah nilai-nilai dan sasaran syarak yang tersirat dalam segenap atau bagian terbesar dari hukum-hukumnya. Nilai-nilai dan sasaran-sasaran itu dipandang sebagai tujuan dan rahasia syariah, yang ditetapkan oleh Syari' dalam setiap ketentuan hukum (Jalili, 2021; Mutakin, 2017; al-Zuhaili, 1986).
Abdullah Darraz dalam komentarnya terhadap pandangan al-Syathibi menyatakan bahwa tujuan utama Allah menetapkan hukum adalah untuk terealisasinya kemaslahatan hidup manusia di dunia dan di akhirat (Jalili, 2021; al-Syathibi, 2003). Oleh karena itu, tujuan penetapan hukum dalam Islam adalah untuk menciptakan kemaslahatan dalam rangka memelihara tujuan-tujuan syarak itu sendiri. Dari sinilah, maka taklif (pembebanan hukum) harus mengacu kepada terwujudnya tujuan hukum atau maqashid syariah tersebut (Jalili, 2021).
Sumber lain menyebutkan bahwa maqashid syariah adalah konsep fundamental dalam hukum Islam yang mengacu pada tujuan-tujuan utama atau prinsip-prinsip dasar yang terkandung dalam syariah. Konsep ini menegaskan bahwa hukum Islam tidak hanya memiliki sifat formalistik, melainkan juga memiliki tujuan-tujuan moral dan etis yang lebih luas yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia serta menjaga keadilan sosial. Dengan demikian, pengertian maqashid syariah adalah pemahaman terhadap tujuan-tujuan moral dan etis dalam hukum Islam yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia serta menjaga keadilan sosial dan kesejahteraan umum. Konsep ini menjadi kerangka kerja penting dalam memahami dan menerapkan hukum Islam secara komprehensif.
Jasser Auda (2008) menjelaskan maqashid syariah sebagai prinsip-prinsip dasar dan tujuan-tujuan moral yang mendalam dari hukum Islam, yang bertujuan untuk melindungi kepentingan dasar manusia dan mempromosikan kemaslahatan umum. Hal ini menunjukkan bahwa maqashid syariah bukan hanya sekadar aturan hukum, tetapi juga sebuah kerangka kerja yang mencakup nilai-nilai moral dan etis dalam pemahaman hukum Islam.
Menurut al-Syathibi, prinsip-prinsip maqashid syariah mencakup lima tujuan utama yang dikenal sebagai al-kulliyat al-khamsah (lima prinsip utama), yaitu (hifzh al-din; hifzh al-nafs; hifzh al-‘aql; hifzh al-nasl; dan hifzh al-mal) didasarkan atas dalil-dalil Al-Qur'an dan hadis. Al-Syathibi menyatakan bahwa beban-beban syariah kembali pada penjagaan tujuan-tujuanya pada makhluk. Tujuan-tujuan ini tidak lepas dari tiga tingkatan: dlaruriyyat, hajiyat, dan tahsiniyat. Syari' memiliki tujuan yang terkandung dalam setiap penentuan hukum untuk mewujudkan kemaslahatan manusia di dunia dan di akhirat (Jalili, 2021; Mutakin, 2017; al-Syathibi, 2003).
Pertama, perlindungan agama (hifzh al-din), yang menegaskan pentingnya memelihara ajaran-ajaran agama Islam. Al-Qardhawi (2000) menjelaskan bahwa tujuan utama dari hukum Islam adalah memelihara dan memperkuat agama, karena agama adalah pondasi dari semua nilai dan tata nilai dalam masyarakat. Dalam konteks pemeliharaan dan pemajuan agama, proses tersebut dapat diklasifikasikan ke dalam tiga kategori berdasarkan tingkat kepentingannya. Pertama, dharuriyat yang mencakup pemeliharaan dan implementasi kewajiban-kewajiban agama yang bersifat fundamental. Sebagai ilustrasi, kewajiban melaksanakan salat lima waktu merupakan contoh dharuriyat. Pengabaian terhadap kewajiban ini dapat mengancam eksistensi agama itu sendiri. Kedua, kategori hajiyat yang meliputi pelaksanaan ketentuan-ketentuan agama yang bertujuan untuk menghindari kesulitan dalam praktik. Contoh praktis dari hajiyat adalah salat jamak dan salat qashar yang diperuntukkan bagi mereka yang berada dalam perjalanan. Ketidakpatuhan terhadap ketentuan ini tidak mengancam eksistensi agama, tetapi hanya menimbulkan kesulitan bagi pelakunya. Ketiga, tahsiniyat yang berkaitan dengan pengamalan petunjuk agama untuk meningkatkan martabat manusia serta melengkapi ketaatan kepada Tuhan. Contoh yang relevan adalah praktik menutup aurat, yang meskipun tidak dilakukan, tidak akan mengancam eksistensi agama atau menyulitkan pelaku, namun sangat dianjurkan untuk menjaga nilai-nilai moral yang terpuji. Meskipun kegiatan yang termasuk dalam tahsiniyat ini tampak tidak esensial, namun keberadaannya sangat penting untuk mendukung hajiyat dan dharuriyat, mengingat bahwa tahsiniyat berperan dalam memperkuat dua kategori lainnya (Siswanto, 2018).
Kedua, perlindungan jiwa (hifzh al-nafs), yang mengacu pada pentingnya menjaga keselamatan, kesehatan, dan kehormatan hidup manusia. Tariq Ramadan (2012) menyoroti bahwa hukum Islam bertujuan untuk melindungi jiwa manusia dari bahaya dan ancaman yang dapat membahayakan kehidupan dan martabat manusia. Memelihara jiwa, berdasarkan tingkat kepentingannya dapat dibedakan menjadi tiga peringkat. Pertama, memelihara jiwa dalam peringkat dharuriyat. Contoh, memenuhi kebutuhan pokok berupa makanan untuk mempertahankan hidup. Kalau kebutuhan pokok ini diabaikan, maka akan berakibat terancamnya eksistensi jiwa manusia. Kedua, memelihara jiwa dalam peringkat hajiyat. Contoh, diperbolehkan berburu binatang untuk menikmati makanan yang lezat dan halal. Kalau kegiatan ini diabaikan, maka tidak akan mengancam eksistensi manusia,melainkan akan mempersulit hidupnya. Ketiga, memelihara jiwa dalam peringkat tahsiniyat. Contoh, diterapkannya tata cara makan dan minum. Kegiatan ini hanya berhubungan dengan kesopanan dan etika, sama sekali tidak akan mengancam eksistensi jiwa manusia, ataupun mempersulit kehidupan seseorang (Siswanto, 2018).
Ketiga, perlindungan akal (hifzh al-‘aql), yang menekankan pentingnya akal sehat dalam membuat keputusan dan tindakan yang benar. Ibnu Asyur (2006) menjelaskan bahwa hukum Islam memberikan nilai tinggi pada akal sebagai alat untuk memahami hukum Allah dan memahami kebenaran. Memelihara akal dilihat dari segi kepentingannya, dapat dibedakan menjadi tiga peringkat. Pertama, memelihara akal dalam peringkat dharuriyat. Contoh, diharamkan meminum minuman keras. Jika ketentuan ini tidak diindahkan, maka akan berakibat terancamnya eksistensi akal. Kedua, memelihara akal dalam peringkat hajiyat. Contoh, dianjurkannya menuntut ilmu pengetahuan. Sekiranya hal itu tidak dilakukan, maka tidak akan merusak akal, tetapi akan mempersulit diri seseorang, dalam kaitannya dengan pengembangan ilmu pengetahuan. Ketiga, memelihara akal dalam peringkat tahsiniyat. Contoh, menghindarkan diri dari mengkhayal atau mendengarkan sesuatu yang tidak berfaedah. Hal ini erat kaitannya dengan etika, tidak akan mengancam eksistensi akal secara langsung (Siswanto, 2018).
Keempat, perlindungan keturunan (hifzh al-nasl), yang mengacu pada pentingnya menjaga kelangsungan dan kehormatan keturunan serta membentuk keluarga yang harmonis. Menurut An-Na'im (2008), hukum Islam memberikan perlindungan dan perhatian khusus terhadap keluarga sebagai inti dari struktur sosial yang stabil. Memelihara keturunan, ditinjau dari segi kebutuhannya, dapat dibedakan menjadi tiga peringkat. Pertama, memelihara keturunan dalam peringkat dharuriyat. Contoh, disyariatkannya nikah dan dilarangnya berzina. Kalau haL ini diabaikan, maka eksistensi keturunan akan terancam. Kedua, memelihara keturunan dalam peringkat hajiyat. Contoh, ditetapkannya ketentuan menyebutkan mahar bagi suami pada waktu akad nikah dan diberikan hak talaK padanya. Jika mahar itu tidak disebutkan pada waktu akad, maka suami akan mengalami kesulitan, karena dia harus membayar mahar mitsl. Sedangkan dalam kasus talak, suami akan mengalami kesulitan, jika dia tidak menggunakan hak talaknya, padahal situasi rumah tangganya sudah tidak harmonis. Ketiga, memelihara keturunan dalam peringkat tahsiniyat. Contoh, disyariatkan khitbah dan walimah dalam perkawinan. Hal ini dilakukan dalam rangka melengkapi kegiatan perkawinan. Jika ini diabaikan, maka tidak akan mengancam eksistensi keturunan, dan tidak pula mempersulit orang yang melakukan perkawinan (Siswanto, 2018).
Kelima, perlindungan harta (hifzh al-mal), yang menekankan pentingnya menjaga harta benda dan kekayaan secara adil dan sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Tariq Ramadan (2009) menekankan bahwa hukum Islam melarang segala bentuk penipuan, penindasan, atau eksploitasi dalam urusan harta benda. Dilihat dari segi kepentingannya, memelihara harta dapat dibedakan menjadi tiga peringkat. Pertama, memelihara harta dalam peringkat dharuriyat. Contoh, syariat tentang tata cara pemilikan harta dan larangan mengambil harta orang lain dengan cara yang tidak sah. Apabila aturan itu dilanggar, maka berakibat terancamnya eksistensi harta. Kedua, memelihara harta dalam peringkat hajiyat. Contoh, syariat tentang jual beli dengan cara salam. Apabila cara ini tidak dipakai, maka tidak akan mengancam eksistensi harta, melainkan akan mempersulit orang yang memerlukan modal. Kedua, memelihara harta dalam peringkat tahsiniyat. Contoh, ketentuan tentang menghindarkan diri dari pengecohan atau penipuan. Hal ini erat kaitannya dengan etika bermuamalah atau etika bisnis. Hal ini juga akan berpengaruh kepada kepada sah tidaknya jual beli itu, sebab peringkat yang ketiga ini juga merupakan syarat adanya peringkat yang kedua dan pertama (Siswanto, 2018).
Dalam setiap peringkat seperti telah dijelaskan di atas, terdapat hal-hal atau kegiatan yang bersifat penyempurnaan terhadap pelaksanaan tujuan syariat Islam. Dalam peringkat dharuriyat, misalnya ditentukan batas minimal minuman yang memabukkan dalam rangka memelihara akal, atau ditetapkan adanya perimbangan (tamasul) dalam hukum qisas, untuk memelihara jiwa. Dalam peringkat hajiyat, misalnya ditetapkan khiyar dalam jual-beli untuk memelihara harta, atau ditetapkan kafaah dalam perkawinan, untuk memelihara keturanan. Sedangkan dalam peringkat tahsiniyat, misalnya ditetapkan tata cara taharah dalam rangka pelaksanaan salat, untuk memelihara agama (Siswanto, 2018).
Penyelesaian Sengketa Pemilu dengan Maqashid Syariah
Dalam konteks penyelesaian sengketa pemilu presiden, prinsip perlindungan agama (hifzh al-din) dari maqashid syariah dapat diterapkan dengan memastikan bahwa seluruh proses pemilihan umum berlangsung dalam cara yang tidak hanya adil dan transparan, tetapi juga sesuai dengan nilai-nilai etis yang dianut dalam Islam. Berikut adalah beberapa penerapan konkret dari prinsip ini.
Pertama, memelihara agama dalam peringkat dharuriyat. Dalam pemilihan presiden, prinsip dharuriyat dapat berarti memastikan bahwa pemilu dilaksanakan dengan integritas tinggi, menghindari kecurangan atau manipulasi, yang dapat dilihat sebagai pengabaian terhadap kewajiban-kewajiban dasar dalam demokrasi. Hal ini analog dengan kewajiban melaksanakan salat lima waktu dalam kehidupan sehari-hari; sama seperti pengabaian salat dapat mengancam eksistensi agama, pengabaian integritas dalam pemilu dapat mengancam eksistensi demokrasi yang adil.
Kedua, memelihara agama dalam peringkat hajiyat. Hajiyat dalam pemilihan presiden bisa berarti menyediakan mekanisme yang memudahkan pemilih untuk menggunakan hak suaranya, seperti menyediakan fasilitas pemungutan suara yang mudah diakses untuk semua, termasuk bagi mereka yang berada dalam kondisi khusus seperti dalam perjalanan atau yang memiliki keterbatasan fisik. Seperti halnya salat jamak dan qashar memudahkan umat Islam dalam menjalankan ibadahnya, fasilitas-fasilitas ini memudahkan warga negara dalam menjalankan hak konstitusionalnya.
Ketiga, memelihara agama dalam peringkat tahsiniyat. Dalam konteks pemilihan presiden, tahsiniyat bisa melibatkan aspek pengamalan nilai-nilai yang meningkatkan martabat manusia dan integritas proses. Ini dapat termasuk upaya untuk meningkatkan kesadaran dan pemahaman pemilih tentang pentingnya pemilu, edukasi pemilih tentang cara pemungutan suara, serta kampanye yang berfokus pada isu-isu substansial daripada serangan pribadi. Pengamalan ini, meskipun tidak esensial untuk validitas pemilu, sangat penting untuk memastikan bahwa proses pemilu tidak hanya adil tetapi juga memperkuat nilai-nilai demokrasi dan partisipasi warga.
Melalui implementasi prinsip hifzh al-din dalam penyelesaian sengketa pemilu, tidak hanya akan terjaga nilai-nilai agama dan etika, tetapi juga akan meningkatkan kepercayaan publik terhadap proses pemilu itu sendiri. Dengan demikian, pemilu tidak hanya sekedar memenuhi kriteria teknis, tetapi juga mewujudkan aspirasi dan nilai-nilai yang lebih tinggi dari masyarakat yang bersangkutan. Ini mencerminkan penghormatan terhadap prinsip-prinsip Islam dalam menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban, serta antara kebutuhan individu dan masyarakat luas.
Penerapan prinsip perlindungan jiwa (hifzh al-nafs) dalam penyelesaian sengketa pemilihan presiden dapat diwujudkan melalui berbagai langkah yang mengutamakan keselamatan, kesehatan, dan kehormatan manusia. Dalam konteks pemilu, prinsip ini tidak hanya berfokus pada perlindungan fisik tetapi juga mencakup perlindungan terhadap integritas psikologis dan sosial individu. Berikut adalah aplikasi konkret dari prinsip ini dalam tiga peringkat kepentingan yang telah dijelaskan.
Pertama, memelihara jiwa dalam peringkat dharuriyat. Dalam konteks pemilu, memelihara jiwa pada tingkat ini bisa berarti memastikan bahwa semua peserta pemilihan presiden, baik itu pemilih maupun kandidat, terlindungi dari segala bentuk kekerasan dan intimidasi. Menjamin keselamatan fisik di tempat pemungutan suara, serta selama kampanye, adalah esensial. Keamanan pemilu harus diperkuat untuk menghindari segala potensi konflik yang bisa berdampak pada jiwa manusia, seperti kerusuhan atau tindak kekerasan yang dapat mengancam kehidupan.
Kedua, memelihara jiwa dalam peringkat hajiyat. Di peringkat hajiyat, fokusnya adalah pada penciptaan kondisi yang memudahkan masyarakat untuk berpartisipasi dalam pemilu tanpa kesulitan yang tidak perlu. Ini bisa mencakup menyediakan aksesibilitas yang baik untuk penyandang disabilitas di tempat pemungutan suara, atau menyediakan informasi yang jelas dan mudah diakses mengenai proses pemilu. Hal ini juga meliputi perlindungan terhadap kehormatan dan reputasi individu, menghindari fitnah dan serangan personal yang tidak hanya dapat mempersulit kehidupan kandidat dan pemilih, tetapi juga merusak integritas proses demokrasi.
Ketiga, memelihara jiwa dalam peringkat tahsiniyat. Pada tingkat tahsiniyat, penerapan prinsip ini melibatkan upaya-upaya yang memperbaiki kualitas kehidupan sosial dan psikologis terkait dengan pemilu. Ini bisa berarti mengadakan kampanye yang mengedepankan adab dan etika dalam berkomunikasi. Menghindari ujaran kebencian dan menyebarkan pesan-pesan yang menghormati keberagaman dan perbedaan pendapat dalam masyarakat. Kegiatan ini, meskipun tidak esensial untuk kelangsungan hidup jiwa manusia, sangat penting untuk menciptakan suasana pemilu yang sehat dan kondusif, di mana setiap individu merasa dihargai dan dihormati.
Melalui penerapan prinsip pemeliharaan jiwa (hifzh al-nafs) dalam penyelesaian sengketa pemilihan presiden, proses pemilu tidak hanya akan menjaga keamanan dan kesehatan fisik, tetapi juga integritas dan martabat setiap individu yang terlibat. Pendekatan ini mendukung penciptaan lingkungan pemilu yang aman, sehat, dan hormat, yang esensial untuk demokrasi yang efektif dan inklusif.
Penerapan prinsip perlindungan akal (hifzh al-‘aql) dalam penyelesaian sengketa pemilihan presiden berfokus pada pentingnya menjaga kejernihan pikiran, logika berpikir, dan proses pengambilan keputusan yang rasional. Hal ini sangat relevan dalam konteks pemilu di mana keputusan-keputusan penting dan seringkali kompleks perlu diambil. Berikut ini adalah aplikasi dari prinsip ini dalam tiga peringkat kepentingan yang dijelaskan.
Pertama, pemeliharaan akal dalam peringkat dharuriyat. Di tingkat dharuriyat, memelihara akal bisa diartikan sebagai upaya mencegah segala pengaruh yang dapat secara serius merusak kapasitas kognitif individu dalam membuat keputusan yang rasional. Dalam konteks pemilu, ini bisa mencakup pencegahan terhadap penyebaran informasi palsu atau propaganda yang bertujuan untuk memanipulasi opini publik. Misalnya, mengimplementasikan regulasi yang ketat terhadap berita bohong dan kampanye disinformasi. Langkah-langkah ini penting karena informasi yang salah dapat mengaburkan pemahaman publik dan mengancam integritas proses pemilihan.
Kedua, pemeliharaan akal dalam peringkat hajiyat. Pada tingkat hajiyat, memelihara akal mencakup inisiatif yang mendukung peningkatan pendidikan dan kesadaran publik mengenai pentingnya partisipasi dalam proses demokrasi. Ini termasuk menyediakan akses ke pendidikan politik, seperti pelatihan tentang cara-cara berpikir kritis dan evaluasi informasi. Walaupun kurangnya inisiatif seperti ini tidak langsung merusak akal, kekurangan pengetahuan dapat membuat pengambilan keputusan menjadi lebih sulit dan kurang informasi bagi warga negara.
Ketiga, pemeliharaan akal dalam peringkat tahsiniyat. Pada tingkat tahsiniyat, memelihara akal terkait dengan memperkuat etika dalam berkomunikasi dan berinteraksi selama pemilu. Contohnya adalah mendorong debat yang berbobot dan menghindari retorika yang mengandalkan emosi semata atau serangan pribadi yang tidak produktif. Hal ini membantu menciptakan lingkungan yang lebih kondusif untuk diskusi yang rasional dan bermakna, yang pada gilirannya meningkatkan kualitas dialog publik.
Melalui penerapan prinsip memelihara akal (hifzh al-‘aql), penyelesaian sengketa pemilu tidak hanya berfokus pada hasil, tetapi juga pada proses bagaimana keputusan itu diambil. Ini menekankan pentingnya transparansi, keadilan, dan rasionalitas dalam mengelola dan menyelesaikan sengketa, yang tidak hanya memastikan keadilan tetapi juga memelihara integritas dan legitimasi proses pemilihan presiden.
Penerapan prinsip perlindungan keturunan (hifzh al-nasl) dalam penyelesaian sengketa pemilihan presiden bisa dikaitkan dengan pentingnya menjaga integritas dan kelangsungan generasi mendatang dalam konteks kebijakan publik dan tata kelola negara. Dalam konteks pemilu, prinsip ini terutama berkaitan dengan menciptakan sistem pemerintahan yang stabil dan adil yang akan mempengaruhi kesejahteraan keluarga dan keharmonisan sosial di masa depan. Berikut adalah aplikasi dari prinsip ini dalam tiga peringkat kepentingan yang telah dijelaskan.
Pertama, pemeliharaan keturunan dalam peringkat dharuriyat. Di tingkat dharuriyat, pemeliharaan keturunan dalam konteks pemilihan presiden bisa diartikan sebagai memastikan bahwa sistem pemilihan presiden mempromosikan kebijakan yang mendukung kelangsungan dan kestabilan keluarga. Contoh nyata adalah memastikan bahwa kebijakan yang dibuat oleh pemimpin terpilih mendukung pernikahan, pendidikan anak, dan kebijakan sosial yang melindungi hak-hak keluarga. Jika aspek ini diabaikan, maka dapat mengancam kestabilan keluarga dan generasi mendatang.
Kedua, pemelihara keturunan dalam peringkat hajiyat. Pada tingkat hajiyat, penerapan prinsip ini berkaitan dengan penyediaan fasilitas dan layanan yang meningkatkan kualitas hidup keluarga, seperti perumahan yang layak dan terjangkau, akses ke layanan kesehatan yang baik, dan kebijakan yang mendukung keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan keluarga. Meskipun tidak langsung mengancam eksistensi keturunan, kebijakan ini penting untuk mengurangi kesulitan yang dihadapi keluarga dalam kehidupan sehari-hari.
Ketiga, memelihara keturunan dalam peringkat tahsiniyat. Di tingkat tahsiniyat, penerapan prinsip ini bisa meliputi kegiatan yang meningkatkan keharmonisan dan kebahagiaan keluarga, seperti kebijakan yang mendukung kegiatan budaya dan sosial yang memperkuat ikatan keluarga dan komunitas. Ini mungkin termasuk dukungan untuk upacara pernikahan, perayaan kelahiran, dan festival budaya yang memperkuat jati diri komunal dan keluarga. Meskipun kegiatan ini tidak secara langsung esensial untuk kelangsungan hidup keturunan, mereka berperan dalam memperkaya kehidupan sosial dan meningkatkan kualitas hidup.
Melalui penerapan prinsip pemeliharan keturunan (hifzh al-nasl), penyelesaian sengketa pemilihan presiden tidak hanya fokus pada hasil pemilu tetapi juga bagaimana hasil tersebut mempengaruhi keharmonisan dan kelangsungan hidup keluarga dan generasi mendatang. Ini menekankan bahwa kebijakan yang diambil oleh para pemimpin harus mempertimbangkan dampak jangka panjang terhadap struktur sosial dan stabilitas keluarga.
Dalam konteks penyelesaian sengketa pemilihan presiden, prinsip perlindungan harta (hifzh al-mal) yang berlandaskan Maqashid Syariah bisa diterapkan untuk memastikan bahwa segala proses yang berkaitan dengan pemilihan presiden dijalankan dengan adil, transparan, dan sesuai dengan hukum. Penerapan prinsip ini dalam sengketa pemilihan presiden bisa dijelaskan melalui tiga peringkat penting dalam perlindungan harta menurut syariat Islam.
Pertama, perlindungan harta dalam peringkat dharuriyat. Dalam pemilihan presiden, aspek dharuriyat bisa diartikan sebagai keharusan menjaga agar proses pemilihan tidak melibatkan kecurangan atau manipulasi yang bisa mengancam keabsahan dan legitimasi hasil pemilihan. Ini termasuk memastikan bahwa tidak ada pihak yang menggunakan kekuasaannya untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan cara yang tidak sah, misalnya melalui penggunaan dana kampanye ilegal atau penyelewengan harta negara. Penerapan prinsip ini penting untuk menjaga kepercayaan publik terhadap integritas pemilihan presiden.
Kedua, perlindungan harta dalam peringkat hajiyat. Aspek hajiyat berkaitan dengan memfasilitasi prosedur yang mempermudah akses keuangan dan sumber daya dalam proses pemilihan presiden, seperti pendanaan kampanye atau penggunaan media. Syariat mengatur tentang proses-proses ini, misalnya melalui regulasi yang jelas tentang sumbangan kampanye dan pengeluaran yang sah. Ketika aturan ini diikuti, hal ini membantu mencegah kesulitan ekonomi bagi peserta pemilihan dan menjaga kompetisi yang sehat antara kandidat.
Ketiga, perlindungan harta dalam peringkat tahsiniyat. Dalam peringkat tahsiniyat, fokusnya adalah pada peningkatan etika dan transparansi dalam pemilihan presiden. Ini termasuk menghindari penipuan, pengecohan, dan memastikan bahwa semua pihak bersikap adil dalam kampanye dan pendistribusian informasi. Etika ini tidak hanya penting untuk sahnya transaksi dan proses dalam pemilihan presiden tetapi juga untuk meningkatkan kualitas demokrasi dan memperkuat kepercayaan publik.
Dengan menerapkan prinsip pemeliharaan harta (hifzh al-mal) dalam penyelesaian sengketa pemilihan presiden, dapat diharapkan bahwa seluruh aspek pemilihan diatur sedemikian rupa sehingga keadilan, kejujuran, dan keabsahan proses terjaga. Hal ini melindungi harta benda negara dan masyarakat dari kemungkinan penyalahgunaan dan penipuan, memastikan bahwa pemilihan presiden mencerminkan kehendak rakyat sejati, dan membantu membangun fondasi yang kuat untuk tata kelola pemerintahan yang bersih dan efektif.
Tantangan dalam Penerapan Prinsip Maqashid Syariah
Penerapan maqashid syariah dalam penyelesaian sengketa pemilu dihadapkan pada sejumlah tantangan yang perlu diatasi untuk mencapai keadilan dan rekonsiliasi yang sesuai dengan nilai-nilai hukum Islam. Beberapa tantangan tersebut termasuk kompleksitas kasus sengketa, kekurangan sumber daya, persepsi subjektif, dan keberagaman interpretasi terhadap prinsip-prinsip maqashid syariah.
Pertama, kompleksitas kasus sengketa. Salah satu tantangan utama dalam penerapan maqashid syariah dalam penyelesaian sengketa pemilu adalah kompleksnya kasus-kasus yang dihadapi. Kasus sengketa pemilu sering kali melibatkan banyak pihak dengan kepentingan yang beragam, serta bukti dan argumen yang rumit. Menurut Jasser Auda (2008), menyelesaikan sengketa pemilu memerlukan analisis yang mendalam terhadap fakta dan hukum yang terlibat, yang dapat menjadi tantangan tersendiri bagi para penyelesa sengketa.
Kedua, kekurangan sumber daya. Tantangan lain yang dihadapi dalam penerapan maqashid syariah adalah kekurangan sumber daya yang dibutuhkan untuk melakukan penyelesaian sengketa dengan baik. Hal ini mencakup kekurangan dana, tenaga ahli yang terampil dalam hukum Islam, serta infrastruktur dan teknologi yang diperlukan untuk mendukung proses penyelesaian. Yusuf al-Qardhawi (2000) menyoroti bahwa sumber daya yang cukup diperlukan untuk memastikan penyelesaian sengketa pemilu dapat dilakukan secara efektif dan efisien.
Kedua, persepsi subjektif. Persepsi subjektif dari pihak-pihak yang terlibat dalam sengketa juga dapat menjadi tantangan dalam penerapan maqashid syariah. Terkadang, pihak-pihak tersebut memiliki pandangan yang berbeda terhadap prinsip-prinsip hukum Islam dan bagaimana prinsip-prinsip tersebut seharusnya diterapkan dalam penyelesaian sengketa. Hal ini dapat menghambat proses rekonsiliasi dan kesepakatan. Tariq Ramadan (2012) menekankan bahwa persepsi subjektif dari pihak-pihak yang terlibat dapat mempengaruhi cara pandang mereka terhadap proses penyelesaian sengketa.
Ketiga, keberagaman interpretasi terhadap maqashid syariah. Keberagaman interpretasi terhadap prinsip-prinsip maqashid syariah juga merupakan tantangan yang perlu dihadapi. Para ulama dan ahli hukum Islam mungkin memiliki pandangan yang berbeda dalam menerapkan prinsip-prinsip tersebut dalam konteks penyelesaian sengketa pemilu. Ini dapat menyebabkan perbedaan pendapat dan interpretasi yang dapat memperumit proses penyelesaian. Ibnu Asyur (2006) menyoroti bahwa keberagaman interpretasi terhadap maqashid syariah dapat menjadi tantangan dalam mencapai konsensus dan kesepakatan dalam penyelesaian sengketa.
Dengan mengenali dan mengatasi tantangan-tantangan tersebut, penerapan maqashid syariah dalam penyelesaian sengketa pemilu dapat dilakukan dengan lebih efektif dan sesuai dengan nilai-nilai keadilan yang diamanatkan oleh hukum Islam. Upaya kolaboratif antara para ahli hukum Islam, pemerintah, dan pihak terkait lainnya diperlukan untuk memastikan bahwa penyelesaian sengketa pemilu dilakukan dengan integritas, keadilan, dan rekonsiliasi yang memadai.
Penutup
Pendekatan maqashid syariah memberikan kerangka kerja yang kokoh dan bermakna dalam menangani sengketa pemilihan presiden (Pilres). Dalam konteks maqashid syariah, penyelesaian sengketa Pilres harus dilakukan dengan memperhatikan prinsip-prinsip keadilan, kemaslahatan umum, perlindungan hak-hak individu, dan pemenuhan tujuan-tujuan moral yang diamanatkan oleh hukum Islam.
Penyelesaian sengketa Pilres dengan perspektif maqashid syariah menekankan pentingnya transparansi, keterbukaan, dan independensi dalam proses penyelesaian. Hal ini dilakukan untuk memastikan bahwa keputusan yang diambil didasarkan pada fakta yang jelas, tanpa adanya diskriminasi atau penyalahgunaan kekuasaan.
Selain itu, maqashid syariah juga menggarisbawahi pentingnya musyawarah, mediasi, dan kesepakatan sebagai sarana untuk mencapai rekonsiliasi yang harmonis antara pihak-pihak yang bersengketa. Pendekatan ini memberikan ruang bagi dialog dan penyelesaian yang lebih humanis, meminimalkan konflik, dan mendorong partisipasi aktif dari semua pihak yang terlibat.
Meskipun demikian, terdapat tantangan dalam penerapan maqashid syariah dalam penyelesaian sengketa Pilres, seperti kompleksitas kasus, kekurangan sumber daya, persepsi subjektif, dan keberagaman interpretasi terhadap prinsip-prinsip hukum Islam. Untuk mengatasi tantangan tersebut, diperlukan upaya kolaboratif, profesionalisme, dan komitmen untuk menjaga integritas dan keadilan dalam proses penyelesaian.
Dengan demikian, penerapan maqashid syariah dalam penyelesaian sengketa Pilres bukan hanya mengedepankan aspek hukum semata, tetapi juga nilai-nilai moral, etis, dan keadilan yang mendasar. Hal ini dapat membantu memperkuat integritas demokrasi, melestarikan kestabilan politik, dan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap proses pemilihan presiden di masa depan.***
Discussion about this post