Dalam beberapa waktu terakhir, revisi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi (UU MK) menjadi sorotan utama di ranah politik dan hukum Indonesia. Revisi ini dianggap oleh banyak pihak, termasuk pakar hukum tata negara Mahfud MD, sebagai langkah yang kontroversial dan berpotensi mengganggu independensi para hakim Mahkamah Konstitusi.
Sejarah revisi UU MK mencatat beberapa upaya yang dilakukan oleh pemerintah dan DPR untuk mengubah Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Pada 2020, usaha pertama untuk merevisi undang-undang ini diajukan namun mendapat penolakan dari Mahfud MD yang saat itu menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam). Menurut Mahfud, revisi tersebut tidak hanya mengandung ketentuan yang aneh tetapi juga berpotensi menakut-nakuti para hakim MK dengan ancaman pemberhentian.
Pada 2022, usulan revisi muncul kembali secara tiba-tiba tanpa adanya inklusi dalam Program Legislasi Nasional Prioritas (Prolegnas). Langkah ini memicu kecurigaan adanya agenda tersembunyi di balik revisi tersebut. Mahfud mencatat bahwa keputusan untuk mengusulkan revisi ini diambil secara diam-diam oleh DPR, menunjukkan kurangnya transparansi dalam proses legislasi.
Salah satu poin utama yang ditekankan oleh Mahfud adalah potensi ancaman terhadap independensi hakim MK. Revisi UU MK ini mencakup aturan peralihan yang memungkinkan pemberhentian hakim-hakim tertentu sebelum masa jabatan mereka berakhir. Mahfud berpendapat bahwa ketentuan ini bisa digunakan sebagai alat untuk menekan dan mengendalikan hakim MK, yang seharusnya bekerja secara independen dan tanpa pengaruh dari pihak manapun.
Dalam keterangannya, Mahfud menjelaskan bahwa ada upaya untuk mengkonfirmasi ulang masa jabatan hakim yang sudah lebih dari lima tahun tetapi belum mencapai sepuluh tahun. Hal ini, menurut Mahfud, merupakan praktik yang keliru dan bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar hukum, yang mengharuskan hakim tetap bekerja sesuai dengan masa jabatan yang telah ditetapkan tanpa intervensi mendadak.
Proses legislasi revisi UU MK juga tidak lepas dari kontroversi. Komisi III DPR dan pemerintah telah menyepakati pengambilan keputusan tingkat I terhadap revisi UU MK. Namun, anggota Komisi III dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Johan Budi Sapto Pribowo, mengaku tidak mendapatkan undangan untuk rapat tersebut. Ini menunjukkan adanya kekurangan transparansi dan komunikasi yang jelas dalam proses legislasi, yang seharusnya melibatkan seluruh anggota komisi terkait.
Ketidakjelasan proses ini juga tercermin dalam agenda DPR yang tidak mencantumkan pengambilan keputusan tingkat I terhadap revisi UU MK. Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Hadi Tjahjanto, mengonfirmasi bahwa pemerintah telah sepakat untuk meneruskan pembahasan dan pengambilan keputusan tingkat II di sidang paripurna DPR, menunjukkan bahwa proses ini bergerak maju meskipun ada berbagai keberatan dan pertanyaan yang belum terjawab.
Revisi UU MK merupakan isu yang kompleks dan sarat dengan kepentingan politik. Mahfud MD, sebagai salah satu tokoh yang pernah berada di garis depan dalam menolak revisi ini, memberikan pandangan kritis terhadap potensi ancaman terhadap independensi hakim dan proses legislasi yang kurang transparan. Meski revisi ini tampaknya akan segera disahkan, penting bagi masyarakat dan pemangku kepentingan untuk terus memantau perkembangan ini dan memastikan bahwa prinsip-prinsip hukum yang adil dan independen tetap dijaga.
Revisi UU MK, dalam bentuk apapun, haruslah dilakukan dengan penuh keterbukaan dan sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi serta supremasi hukum. Proses legislasi yang transparan dan partisipatif sangat diperlukan untuk menjaga kepercayaan publik terhadap institusi hukum di Indonesia. Pada akhirnya, menjaga independensi Mahkamah Konstitusi adalah kunci untuk mempertahankan keadilan dan kebebasan dalam sistem hukum nasional.
Aspek Hukum dan Politik
Revisi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi (UU MK) memunculkan berbagai penilaian dari aspek hukum dan politik yang perlu diperhatikan secara seksama.
Dari sudut pandang hukum, revisi UU MK menimbulkan kekhawatiran terkait independensi hakim. Mahfud MD menyoroti potensi ancaman terhadap hakim MK yang dikhawatirkan bisa diintervensi melalui ketentuan dalam revisi ini. Aturan peralihan yang memungkinkan pemberhentian hakim sebelum masa jabatannya berakhir dapat digunakan sebagai alat tekanan. Hal ini bertentangan dengan prinsip independensi peradilan yang merupakan pilar penting dalam sistem hukum yang adil. Setiap perubahan hukum yang berpotensi mengancam kemandirian hakim dapat merusak kepercayaan publik terhadap sistem peradilan.
Sedangkan dari perspektif politik, revisi ini tampak sarat dengan kepentingan tertentu yang mencurigakan. Proses revisi yang terkesan tergesa-gesa dan kurang transparan menimbulkan spekulasi adanya agenda tersembunyi. DPR yang mengambil keputusan secara mendadak tanpa inklusi dalam Prolegnas menimbulkan kecurigaan bahwa revisi ini dimaksudkan untuk memengaruhi komposisi hakim MK demi kepentingan politik tertentu, terutama menjelang kontestasi politik seperti pemilihan umum. Langkah ini dapat dilihat sebagai upaya politisasi lembaga peradilan yang seharusnya netral dan independen dari tekanan politik.
Secara keseluruhan, revisi UU MK menimbulkan kekhawatiran mendalam baik dari sisi hukum maupun politik. Aspek hukum mencerminkan ancaman terhadap prinsip independensi hakim, sementara aspek politik mengindikasikan potensi penyalahgunaan kekuasaan untuk mengontrol lembaga peradilan. Penilaian ini menunjukkan pentingnya pengawasan ketat dan partisipasi publik dalam proses legislasi untuk memastikan integritas dan keadilan sistem hukum di Indonesia (***)
Discussion about this post