Oleh: H. Tirtayasa
Kader Seribu Ulama Doktor MUI-Baznas RI Angkatan 2021,
Widyaiswara Ahli Muda (Junior Trainer) BKPSDM Kabupaten Natuna.
Pendahuluan
Pemikiran politik Islam memiliki sejarah yang panjang dan signifikan dalam perkembangan dunia Islam. Sejak era klasik hingga kontemporer, politik Islam telah memainkan peran sentral dalam membentuk struktur sosial, ekonomi, dan pemerintahan negara-negara Muslim. Dua tokoh penting dalam pemikiran politik Islam yang memiliki pengaruh besar adalah Jamaluddin Al-Afghani dan Recep Tayyip Erdoğan. Keduanya menawarkan perspektif yang berbeda namun relevan dalam memahami dinamika politik di dunia Islam, terutama dalam konteks modern (Zubaida, 2019).
Jamaluddin Al-Afghani adalah salah satu tokoh paling berpengaruh dalam pemikiran politik Islam abad ke-19. Ia dikenal sebagai pelopor Pan-Islamisme, gerakan yang bertujuan untuk menyatukan dunia Muslim melawan kolonialisme Barat. Al-Afghani berpendapat bahwa dunia Islam harus bangkit dari ketertinggalannya melalui persatuan politik dan reformasi intelektual. Menurutnya, kolonialisme bukan hanya ancaman militer, tetapi juga merupakan ancaman terhadap identitas dan nilai-nilai Islam. Oleh karena itu, ia mendorong kebangkitan intelektual yang dipadukan dengan perlawanan politik. Sebagai seorang reformis, Al-Afghani menekankan pentingnya pendidikan dan ilmu pengetahuan sebagai kunci untuk memperkuat umat Islam. Pemikirannya tercermin dalam berbagai karyanya, salah satunya adalah Risalat al-Tawhid, di mana ia menekankan pentingnya persatuan umat Muslim dalam menghadapi dominasi asing (Haddad, 2019).
Di sisi lain, Recep Tayyip Erdoğan, sebagai presiden Turki, menawarkan interpretasi yang berbeda namun juga relevan dalam konteks politik Islam modern. Erdoğan dikenal dengan pendekatan pragmatisnya dalam menggabungkan politik Islam dengan demokrasi modern. Ia telah berhasil memadukan nilai-nilai Islam dengan nasionalisme Turki, menciptakan model pemerintahan yang dapat diterima di negara sekuler. Dalam pandangannya, Islam bukan hanya agama, tetapi juga sumber nilai moral dan sosial yang dapat diterapkan dalam kebijakan publik. Di bawah kepemimpinan Erdoğan, Turki telah menjadi contoh bagaimana politik Islam dapat berinteraksi dengan ekonomi pasar bebas dan demokrasi parlementer. Pemikirannya tercermin dalam berbagai pidatonya, di mana ia menekankan pentingnya mempertahankan identitas Islam sambil tetap berpartisipasi dalam tatanan global (Kuru, 2020).
Pemikiran politik Islam yang diusung oleh kedua tokoh ini memiliki relevansi yang signifikan dalam memahami dinamika politik modern di negara-negara Muslim. Dalam konteks globalisasi dan modernisasi, banyak negara Muslim menghadapi tantangan dalam mempertahankan identitas religius mereka sambil berusaha menyesuaikan diri dengan perubahan politik dan ekonomi global. Pemikiran Al-Afghani menawarkan solusi dalam bentuk kebangkitan intelektual dan persatuan politik umat Islam, sementara Erdoğan menawarkan pendekatan pragmatis dalam memadukan nilai-nilai Islam dengan modernitas.
Relevansi studi pemikiran politik Islam juga penting dalam memahami bagaimana negara-negara Muslim saat ini menghadapi isu-isu seperti demokrasi, hak asasi manusia, dan hubungan dengan negara-negara Barat. Misalnya, banyak negara Muslim yang mengalami kesulitan dalam menemukan keseimbangan antara penerapan syariat Islam dan tuntutan demokrasi modern. Pemikiran politik Islam, seperti yang diusung oleh Al-Afghani dan Erdoğan, memberikan wawasan tentang bagaimana negara-negara ini dapat menemukan jalan tengah yang memungkinkan mereka untuk mempertahankan nilai-nilai religius mereka sambil tetap berpartisipasi dalam tatanan politik global.
Dalam analisis politik kontemporer, penting untuk memahami bahwa pemikiran politik Islam bukanlah monolitik. Pemikiran Al-Afghani dan Erdoğan menunjukkan bahwa terdapat variasi dalam cara tokoh-tokoh politik Islam memahami dan menerapkan prinsip-prinsip Islam dalam konteks politik. Al-Afghani, dengan pendekatannya yang lebih idealis dan revolusioner, menekankan pentingnya persatuan umat Islam dalam menghadapi ancaman eksternal, sementara Erdoğan, dengan pendekatannya yang lebih pragmatis, menunjukkan bagaimana Islam dapat diintegrasikan ke dalam sistem politik modern tanpa kehilangan esensinya.
Dalam konteks negara-negara Muslim yang sedang berkembang, seperti Indonesia, pemikiran politik Islam memiliki relevansi khusus. Indonesia, sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, telah mengalami tantangan dalam memadukan nilai-nilai Islam dengan demokrasi dan pluralisme. Pemikiran politik Islam yang diusung oleh tokoh-tokoh seperti Al-Afghani dan Erdoğan dapat memberikan wawasan bagi para pemimpin politik di Indonesia dalam menemukan solusi untuk masalah-masalah ini.
Secara keseluruhan, studi tentang pemikiran politik Islam, khususnya yang diusung oleh Jamaluddin Al-Afghani dan Recep Tayyip Erdoğan, memberikan wawasan yang berharga tentang bagaimana Islam dapat berinteraksi dengan politik modern. Pemikiran mereka tidak hanya relevan dalam konteks sejarah, tetapi juga dalam konteks politik global saat ini, di mana negara-negara Muslim terus mencari cara untuk menyeimbangkan nilai-nilai religius mereka dengan tuntutan modernitas.
Tujuan utama dari artikel ini adalah untuk mengeksplorasi dan menganalisis pemikiran politik Islam yang diusung oleh Jamaluddin Al-Afghani dan Recep Tayyip Erdoğan, serta bagaimana pemikiran mereka dapat memberikan wawasan dalam memahami dinamika politik di negara-negara Muslim kontemporer. Dengan menelaah pemikiran kedua tokoh tersebut, artikel ini bertujuan untuk memperdalam pemahaman mengenai bagaimana politik Islam dapat diintegrasikan dengan modernitas dan demokrasi tanpa kehilangan esensinya. Signifikansi dari artikel ini terletak pada relevansinya dalam konteks politik global saat ini, di mana negara-negara Muslim menghadapi tantangan dalam mempertahankan identitas religius mereka sambil beradaptasi dengan perubahan global. Dalam hal ini, pemikiran Al-Afghani dan Erdoğan memberikan dua perspektif yang berbeda namun saling melengkapi mengenai peran Islam dalam politik.
Kontribusi artikel ini adalah menawarkan analisis komparatif yang komprehensif mengenai pendekatan Al-Afghani yang idealis dan Erdoğan yang pragmatis, memberikan landasan teoretis bagi pemimpin dan cendekiawan Muslim untuk mempertimbangkan model politik yang sesuai dengan kebutuhan masing-masing negara. Selain itu, artikel ini berkontribusi dalam memperkaya literatur tentang politik Islam dengan menyoroti bagaimana dua tokoh besar ini dapat memberikan inspirasi bagi transformasi politik di dunia Muslim.
Implikasi dari artikel ini adalah potensi untuk memengaruhi kebijakan politik di negara-negara Muslim, khususnya yang berusaha menggabungkan nilai-nilai Islam dengan sistem pemerintahan modern. Dengan memahami pendekatan yang ditawarkan oleh Al-Afghani dan Erdoğan, para pembuat kebijakan dapat menemukan jalan tengah yang memungkinkan stabilitas politik dan sosial di tengah kompleksitas tantangan global saat ini.
Jamaluddin Al-Afghani: Pelopor Kebangkitan Islam
Biografi Singkat
Jamaluddin Al-Afghani adalah salah satu tokoh paling penting dalam sejarah pemikiran politik Islam, dikenal sebagai pelopor kebangkitan Islam pada abad ke-19. Al-Afghani lahir pada tahun 1838 di Asadabad, Iran, dari keluarga yang taat beragama. Sejak usia muda, ia telah menunjukkan minat yang besar terhadap pendidikan agama dan politik, yang kelak membentuk pandangan dunianya. Latar belakang pendidikan Al-Afghani tidak hanya terfokus pada ajaran Islam klasik, tetapi juga pada filsafat Barat, yang ia pelajari selama pengembaraannya di berbagai negara, termasuk India, Mesir, Turki, dan Eropa. Pendidikan ini memberi Al-Afghani kemampuan untuk membentuk pemikiran yang menggabungkan nilai-nilai tradisional Islam dengan modernitas Barat (Hourani, 2019; Kerr, 2020).
Karir politik Al-Afghani dimulai saat ia terlibat dalam gerakan perlawanan terhadap kolonialisme di berbagai negara Muslim. Sebagai seorang pemikir dan aktivis, ia meyakini bahwa umat Islam hanya bisa bangkit dari keterpurukan jika mereka bersatu dan berjuang melawan dominasi Barat. Al-Afghani mendorong umat Islam untuk mengambil kembali kebanggaan intelektual mereka melalui pendidikan dan reformasi politik. Salah satu pemikiran utama Al-Afghani adalah gagasan Pan-Islamisme, yang bertujuan untuk menyatukan dunia Muslim dalam satu kekuatan politik melawan kolonialisme. Ia percaya bahwa kekuatan Islam terletak pada persatuan umatnya, dan kolonialisme hanya bisa dilawan jika umat Islam bangkit secara kolektif (Haddad, 2019).
Al-Afghani dikenal sebagai seorang pengembara politik, yang berpindah dari satu negara ke negara lain untuk menyebarkan pemikirannya. Di Mesir, ia menjadi tokoh penting dalam reformasi intelektual dan politik. Di sana, ia bekerja sama dengan tokoh-tokoh reformis lainnya, seperti Muhammad Abduh, untuk membentuk gerakan modernis Islam yang bertujuan memperbarui ajaran Islam agar relevan dengan tuntutan zaman. Pemikirannya ini sangat berpengaruh dalam kebangkitan nasionalisme Arab dan pembentukan gerakan reformasi Islam di abad ke-20 (Adams, 2018).
Pemikiran politik Al-Afghani sangat dipengaruhi oleh konteks kolonialisme yang ia saksikan selama hidupnya. Ia menyadari bahwa negara-negara Muslim telah jatuh di bawah dominasi kolonial Barat bukan hanya karena kekuatan militer, tetapi juga karena kemunduran intelektual dan kelemahan politik. Oleh karena itu, salah satu pesan utama Al-Afghani adalah pentingnya reformasi pendidikan dan politik dalam dunia Islam. Ia percaya bahwa umat Islam harus mengadopsi ilmu pengetahuan dan teknologi modern dari Barat, tetapi tanpa mengorbankan identitas dan nilai-nilai Islam (Zubaida, 2019). Al-Afghani menekankan pentingnya peran pendidikan dalam membentuk masyarakat Muslim yang kuat dan mandiri. Baginya, pendidikan tidak hanya tentang pengetahuan agama, tetapi juga tentang sains dan filsafat yang memungkinkan umat Islam untuk bersaing di kancah global.
Dalam perjalanan politiknya, Al-Afghani sering kali menghadapi tantangan dari penguasa lokal yang melihat ide-idenya sebagai ancaman. Meskipun demikian, ia tetap berkomitmen untuk menyebarkan pemikirannya melalui berbagai medium, termasuk artikel-artikel yang ia tulis di surat kabar dan majalah. Salah satu karyanya yang paling terkenal adalah “Risalat al-Tawhid”, yang menjadi dasar pemikiran bagi gerakan modernis Islam. Dalam karya tersebut, ia menekankan pentingnya tauhid (keesaan Tuhan) sebagai landasan pemikiran politik dan sosial dalam Islam. Ia juga mendorong umat Islam untuk menghidupkan kembali semangat ijtihad, yaitu proses berpikir kritis dalam menafsirkan ajaran agama agar sesuai dengan konteks zaman (Kuru, 2020).
Selain perannya sebagai pemikir, Al-Afghani juga aktif dalam diplomasi politik. Ia pernah berhubungan dengan berbagai penguasa Muslim, seperti Sultan Ottoman dan Khedive Mesir, dalam upaya untuk menggalang dukungan bagi gagasan persatuan Islam. Namun, upayanya sering kali menghadapi kegagalan karena perpecahan internal di kalangan pemimpin Muslim sendiri. Meskipun begitu, Al-Afghani tetap berusaha mempengaruhi kebijakan politik melalui jalur intelektual dan diplomatik. Di Eropa, ia menjalin hubungan dengan berbagai intelektual Barat untuk membahas masalah-masalah dunia Islam, dan ia juga sering kali berdebat dengan para pemikir Barat tentang posisi Islam dalam dunia modern (Alkan, 2021).
Kontribusi terbesar Al-Afghani terhadap pemikiran politik Islam adalah gagasannya tentang pentingnya kebangkitan intelektual dan persatuan politik dalam menghadapi tantangan global. Ia menyadari bahwa tanpa reformasi pendidikan dan politik, umat Islam akan terus berada di bawah bayang-bayang dominasi Barat. Oleh karena itu, ia mendorong umat Islam untuk memperbarui cara berpikir mereka, terutama dalam hal penerimaan terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Dalam hal ini, Al-Afghani bisa dianggap sebagai pelopor kebangkitan Islam modern, yang pemikirannya terus mempengaruhi tokoh-tokoh reformis Islam hingga hari ini (Adams, 2018; Zubaida, 2019).
Pengaruh Al-Afghani tidak hanya terbatas pada dunia Islam. Pemikirannya tentang persatuan dan perlawanan terhadap kolonialisme juga menginspirasi gerakan-gerakan nasionalis di berbagai negara, termasuk India dan Mesir. Di India, ia dianggap sebagai salah satu tokoh yang menginspirasi gerakan kebangkitan nasional melawan penjajahan Inggris. Di Mesir, pemikirannya menjadi landasan bagi gerakan nasionalis Mesir yang berjuang untuk kemerdekaan dari Inggris. Dengan demikian, Al-Afghani tidak hanya seorang pemikir politik Islam, tetapi juga seorang tokoh global yang pemikirannya melintasi batas-batas geografis dan agama (Zubaida, 2019).
Dalam konteks dunia Muslim saat ini, pemikiran Al-Afghani masih relevan. Tantangan yang dihadapi oleh negara-negara Muslim dalam mempertahankan identitas religius mereka sambil beradaptasi dengan perubahan global masih terus menjadi isu utama. Pemikiran Al-Afghani tentang pentingnya pendidikan, persatuan, dan kebangkitan intelektual dapat memberikan solusi bagi negara-negara Muslim yang ingin bangkit dari ketertinggalan. Selain itu, gagasan Pan-Islamisme yang ia usung masih menjadi wacana penting dalam politik Islam kontemporer, terutama di kalangan gerakan Islamis yang berusaha menyatukan dunia Muslim dalam satu kekuatan politik.
Pemikiran Politik Al-Afghani
Penerapan Islam sebagai Landasan Politik untuk Kebangkitan Umat
Pemikiran politik Jamaluddin Al-Afghani menekankan pentingnya penerapan Islam sebagai landasan politik untuk kebangkitan umat. Al-Afghani melihat Islam bukan hanya sebagai agama yang mengatur kehidupan spiritual individu, tetapi juga sebagai ideologi politik yang mampu mengangkat umat Islam dari ketertinggalan dan menghadapi tantangan modernitas. Salah satu gagasan utamanya adalah bahwa kebangkitan umat Islam hanya bisa tercapai jika Islam dijadikan fondasi utama dalam pembentukan kebijakan politik dan pemerintahan. Al-Afghani percaya bahwa kegagalan umat Islam dalam menghadapi dominasi Barat disebabkan oleh kemunduran intelektual dan perpecahan di antara umat Muslim sendiri (Adams, 2018).
Dalam pandangan Al-Afghani, Islam memiliki potensi besar untuk menjadi kekuatan politik yang menyatukan umat Muslim di seluruh dunia. Ia menyuarakan ide Pan-Islamisme sebagai upaya untuk menggalang persatuan politik dunia Islam melawan imperialisme Barat. Bagi Al-Afghani, kolonialisme Barat bukan hanya ancaman bagi kedaulatan politik negara-negara Muslim, tetapi juga ancaman bagi identitas keagamaan dan budaya Islam. Oleh karena itu, ia berpendapat bahwa hanya dengan mengembalikan Islam ke posisi sentral dalam politik, umat Islam dapat melawan dominasi asing dan merebut kembali kedaulatan mereka (Haddad, 2019).
Salah satu landasan pemikiran politik Al-Afghani adalah penerapan prinsip tauhid (keesaan Tuhan) sebagai dasar politik Islam. Ia menekankan bahwa tauhid tidak hanya mengandung makna teologis, tetapi juga memiliki implikasi politik yang kuat. Tauhid, dalam pandangannya, menuntut umat Islam untuk bersatu di bawah satu kekuatan politik yang berlandaskan pada nilai-nilai Islam. Al-Afghani melihat perpecahan politik di dunia Islam sebagai salah satu faktor utama yang menyebabkan kelemahan umat Islam di hadapan kolonialisme. Oleh karena itu, ia mendorong pembentukan negara-negara Muslim yang bersatu di bawah panji Islam, dengan tauhid sebagai prinsip utama dalam pengambilan keputusan politik dan pemerintahan (Zubaida, 2019).
Selain itu, Al-Afghani juga menekankan pentingnya pendidikan dan ilmu pengetahuan dalam kebangkitan politik Islam. Menurutnya, umat Islam telah tertinggal dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, yang menyebabkan mereka tidak mampu bersaing dengan Barat. Ia berpendapat bahwa umat Islam harus mengadopsi ilmu pengetahuan modern tanpa kehilangan identitas keislamannya. Pendidikan menjadi elemen kunci dalam pandangan Al-Afghani untuk membentuk generasi baru umat Muslim yang cerdas, berdaya saing, dan memiliki kesadaran politik yang tinggi. Dengan pendidikan yang baik, ia yakin bahwa umat Islam dapat kembali memimpin dunia dan menciptakan tatanan politik yang adil dan sesuai dengan nilai-nilai Islam (Alkan, 2021).
Al-Afghani juga mendorong penerapan ijtihad, yaitu usaha intelektual untuk menafsirkan ajaran Islam dalam konteks modern. Menurutnya, umat Islam harus terbuka terhadap perkembangan zaman dan mampu menyesuaikan ajaran Islam dengan tantangan yang dihadapi di era modern. Ijtihad, dalam pandangan Al-Afghani, adalah kunci untuk menjaga relevansi Islam sebagai landasan politik yang dinamis dan responsif terhadap perubahan sosial dan politik. Ia menolak stagnasi pemikiran dalam Islam yang menyebabkan umat Muslim terjebak dalam tradisi tanpa mempertimbangkan perubahan zaman. Dengan menghidupkan kembali ijtihad, ia percaya bahwa umat Islam dapat menemukan solusi baru untuk berbagai permasalahan politik dan sosial yang mereka hadapi (Kuru, 2020).
Dalam penerapan Islam sebagai landasan politik, Al-Afghani juga menekankan pentingnya keadilan sosial. Baginya, pemerintahan yang berlandaskan Islam harus memastikan kesejahteraan seluruh rakyat, tanpa memandang kelas sosial atau etnis. Ia percaya bahwa Islam adalah agama yang mengajarkan kesetaraan dan keadilan, dan prinsip-prinsip ini harus menjadi landasan dalam setiap kebijakan politik. Dalam konteks ini, Al-Afghani menentang eksploitasi ekonomi yang dilakukan oleh kolonialis Barat terhadap negara-negara Muslim. Ia menganggap bahwa eksploitasi tersebut tidak hanya merugikan secara materi, tetapi juga merusak struktur sosial dan politik di dunia Islam. Oleh karena itu, ia mendorong penerapan sistem ekonomi yang berlandaskan pada nilai-nilai Islam yang menekankan keadilan dan kesejahteraan bersama (Zubaida, 2019).
Pemikiran politik Al-Afghani juga menekankan peran sentral umat sebagai agen perubahan. Ia percaya bahwa kebangkitan Islam tidak dapat hanya bergantung pada pemimpin politik atau ulama, tetapi harus melibatkan partisipasi aktif seluruh umat. Al-Afghani mendorong umat Islam untuk aktif terlibat dalam kehidupan politik, baik melalui pendidikan maupun partisipasi langsung dalam pemerintahan. Ia menekankan pentingnya kesadaran politik di kalangan umat sebagai cara untuk membangun kekuatan politik yang solid. Dalam pandangannya, umat Islam harus bangkit dari ketertinggalan mereka dengan cara memperkuat solidaritas dan semangat kolektif untuk melawan ketidakadilan yang ditimbulkan oleh kolonialisme dan pemerintahan otoriter (Adams, 2018).
Meskipun pemikiran politik Al-Afghani sering kali dipandang idealis, gagasan-gagasannya memiliki relevansi yang kuat dalam konteks politik Islam kontemporer. Di banyak negara Muslim, tantangan yang dihadapi dalam memadukan nilai-nilai Islam dengan politik modern masih sangat relevan. Pemikiran Al-Afghani tentang penerapan Islam sebagai landasan politik memberikan landasan teoretis yang penting bagi banyak gerakan Islamis di abad ke-20 dan ke-21. Misalnya, gerakan Ikhwanul Muslimin di Mesir terinspirasi oleh ide-ide Al-Afghani tentang kebangkitan Islam dan persatuan politik. Gerakan ini berusaha menerapkan Islam sebagai landasan politik dalam upaya mereka melawan dominasi asing dan membangun pemerintahan yang adil dan berdasarkan nilai-nilai Islam (Haddad, 2019).
Secara keseluruhan, pemikiran politik Al-Afghani tentang penerapan Islam sebagai landasan politik mencerminkan upaya untuk membangun dunia Islam yang lebih kuat dan mandiri dalam menghadapi tantangan global. Meskipun ia hidup di masa kolonial, gagasan-gagasannya tentang persatuan umat, keadilan sosial, dan pendidikan sebagai kunci kebangkitan politik Islam tetap relevan hingga hari ini. Al-Afghani adalah salah satu tokoh yang berperan penting dalam membentuk wacana politik Islam modern, dan pemikirannya terus menginspirasi gerakan-gerakan Islamis di seluruh dunia (Alkan, 2021).
Ide Pan-Islamisme dan Pentingnya Persatuan Umat Muslim Melawan Penjajahan
Ide Pan-Islamisme yang diusung oleh Jamaluddin Al-Afghani adalah salah satu pemikiran politik paling penting dalam sejarah Islam modern. Pan-Islamisme merupakan gerakan yang bertujuan untuk menyatukan seluruh umat Muslim di bawah satu payung politik dan spiritual guna melawan penjajahan dan dominasi Barat. Al-Afghani meyakini bahwa perpecahan di antara negara-negara Muslim telah menjadi salah satu faktor utama yang memungkinkan Barat untuk menjajah dan mengontrol wilayah-wilayah Muslim. Oleh karena itu, ia berpendapat bahwa persatuan umat Muslim merupakan kunci untuk membebaskan dunia Islam dari penjajahan, serta mengembalikan kejayaan dan kedaulatan umat Muslim (Haddad, 2019).
Dalam gagasannya, Al-Afghani menekankan pentingnya solidaritas di antara umat Islam tanpa memandang perbedaan mazhab, etnis, atau bahasa. Menurutnya, umat Muslim harus bersatu di bawah nilai-nilai bersama yang terkandung dalam ajaran Islam, terutama dalam menghadapi ancaman eksternal dari Barat. Gagasan ini lahir dari pengamatannya terhadap kondisi politik dan sosial dunia Islam yang terus-menerus berada di bawah tekanan kolonialisme. Al-Afghani melihat bahwa kekuatan Barat tidak hanya bersifat militer, tetapi juga ekonomi dan budaya. Oleh karena itu, menurutnya, hanya dengan persatuan politik yang berlandaskan Islam, umat Muslim bisa melawan dan mengakhiri dominasi Barat (Kuru, 2020).
Al-Afghani juga menyoroti bahwa kekuatan umat Muslim di masa lalu, seperti pada era kejayaan Kekhalifahan Abbasiyah, terletak pada persatuan mereka. Namun, di masa modern, perpecahan di antara negara-negara Muslim telah menyebabkan kelemahan dan membuat mereka rentan terhadap serangan dan eksploitasi asing. Al-Afghani menilai, perpecahan politik dan sektarianisme di antara umat Muslim hanya akan memperburuk situasi mereka. Oleh karena itu, ia terus menyerukan persatuan dalam setiap kesempatan, baik dalam tulisan maupun pidatonya, dengan harapan dapat menginspirasi kebangkitan Islam dan mendorong terbentuknya kekuatan politik Islam global yang solid (Adams, 2018).
Pan-Islamisme juga didorong oleh keinginan Al-Afghani untuk menciptakan sebuah identitas Muslim global yang kuat dan independen. Ia percaya bahwa umat Islam harus berhenti mengadopsi gagasan dan nilai-nilai Barat yang dianggapnya bertentangan dengan Islam. Sebagai gantinya, ia mendorong umat Muslim untuk kembali ke ajaran-ajaran Islam yang murni dan menggunakannya sebagai landasan untuk membangun masyarakat yang adil, sejahtera, dan bebas dari pengaruh asing. Dalam konteks ini, Pan-Islamisme yang diusung oleh Al-Afghani tidak hanya merupakan proyek politik, tetapi juga gerakan kultural dan intelektual yang bertujuan untuk membangkitkan kembali kesadaran Islam di seluruh dunia Muslim (Zubaida, 2019).
Al-Afghani juga melihat penjajahan sebagai bentuk penghinaan terhadap Islam dan umat Muslim. Ia berpendapat bahwa selama umat Muslim berada di bawah kendali penjajah, mereka tidak akan pernah bisa mencapai kemerdekaan penuh, baik dalam hal politik maupun spiritual. Oleh karena itu, ia menekankan pentingnya perlawanan aktif terhadap penjajah melalui semua cara yang memungkinkan, termasuk pendidikan, diplomasi, dan perlawanan bersenjata jika diperlukan. Dalam konteks ini, Pan-Islamisme juga berfungsi sebagai platform untuk memperkuat semangat jihad melawan penjajahan dan eksploitasi oleh kekuatan asing (Alkan, 2021).
Namun, meskipun Al-Afghani sangat mendukung persatuan umat Muslim, ia juga menyadari bahwa tantangan terbesar untuk mencapai tujuan tersebut adalah perbedaan politik dan sektarian di antara negara-negara Muslim. Perpecahan yang disebabkan oleh perbedaan mazhab, kepentingan nasional, dan tekanan dari penjajah asing sering kali menjadi hambatan bagi terciptanya persatuan Islam. Meski demikian, Al-Afghani terus berusaha untuk mengatasi hambatan ini dengan berdialog dengan berbagai tokoh politik dan intelektual Muslim, baik di dunia Arab, Persia, maupun Asia Selatan. Ia juga terlibat dalam berbagai diskusi dan debat dengan para pemimpin Muslim untuk menyebarkan gagasannya tentang pentingnya persatuan politik dan kebangkitan Islam (Haddad, 2019).
Selain itu, ide Pan-Islamisme yang diusung oleh Al-Afghani juga memiliki dimensi internasional. Ia tidak hanya membatasi wawasannya pada dunia Muslim, tetapi juga berupaya membangun aliansi dengan kekuatan-kekuatan internasional yang ia anggap mendukung perjuangan umat Islam. Salah satu contohnya adalah upayanya untuk mencari dukungan dari Kekaisaran Ottoman, yang pada saat itu masih dianggap sebagai simbol persatuan Islam, meskipun sedang mengalami kemunduran. Al-Afghani berharap bahwa Kekaisaran Ottoman dapat berperan sebagai pemimpin dalam upaya menyatukan umat Muslim dan melawan penjajahan Barat. Meskipun upaya ini tidak sepenuhnya berhasil, gagasan Al-Afghani tetap memberikan pengaruh besar terhadap gerakan-gerakan nasionalis dan Islamis di dunia Muslim (Adams, 2018).
Dalam konteks dunia modern, ide Pan-Islamisme Al-Afghani masih relevan, terutama di kalangan gerakan-gerakan Islamis yang berusaha menyatukan umat Muslim di bawah satu kekuatan politik. Meskipun dunia Islam saat ini lebih terfragmentasi secara politik dan geografis dibandingkan pada masa Al-Afghani, gagasan tentang persatuan umat Muslim tetap menjadi wacana penting di banyak negara Muslim. Di Timur Tengah, Asia Selatan, dan bahkan di Afrika, ide Pan-Islamisme terus menjadi landasan bagi berbagai gerakan yang menentang dominasi asing dan berusaha membangun kembali kekuatan Islam (Zubaida, 2019).
Pan-Islamisme juga memberikan inspirasi bagi gerakan politik di negara-negara Muslim yang berusaha memadukan identitas keislaman dengan nasionalisme. Misalnya, di Mesir dan India, ide-ide Pan-Islamisme Al-Afghani menjadi bagian penting dari gerakan nasionalis yang menentang penjajahan Inggris. Di Mesir, pengaruh Al-Afghani sangat kuat dalam membangkitkan semangat nasionalisme yang berlandaskan Islam, yang kelak menjadi fondasi bagi pembentukan gerakan-gerakan politik Islam seperti Ikhwanul Muslimin. Sementara itu, di India, pemikirannya menginspirasi tokoh-tokoh seperti Muhammad Iqbal dan Maulana Abul Kalam Azad yang berjuang melawan penjajahan Inggris dengan mengusung nilai-nilai Islam dan Pan-Islamisme (Alkan, 2021).
Secara keseluruhan, ide Pan-Islamisme dan pentingnya persatuan umat Muslim yang diusung oleh Jamaluddin Al-Afghani merupakan refleksi dari kesadaran politik dan intelektualnya terhadap situasi dunia Islam pada abad ke-19. Meskipun gagasannya tidak sepenuhnya berhasil diwujudkan selama hidupnya, pemikiran Al-Afghani tetap menjadi fondasi bagi banyak gerakan politik dan intelektual Islam di masa berikutnya. Dengan menekankan pentingnya persatuan umat Muslim, Al-Afghani memberikan landasan ideologis bagi perjuangan melawan penjajahan dan dominasi asing yang terus menjadi tantangan bagi dunia Islam hingga saat ini.
Kritik Terhadap Kolonialisme Barat Dan Advokasi Kemandirian Politik
Kritik terhadap kolonialisme Barat merupakan salah satu elemen kunci dalam pemikiran politik Jamaluddin Al-Afghani. Ia melihat kolonialisme Barat tidak hanya sebagai bentuk dominasi militer dan ekonomi, tetapi juga sebagai ancaman terhadap identitas, agama, dan nilai-nilai umat Islam. Al-Afghani menganggap kolonialisme sebagai tindakan yang merusak kemandirian politik negara-negara Muslim dan mempengaruhi kemampuan mereka untuk mengelola urusan dalam negeri tanpa campur tangan asing. Ia menganggap bahwa dominasi Barat tidak hanya merampas sumber daya alam negara-negara Muslim, tetapi juga menghancurkan struktur sosial dan politik mereka, yang menyebabkan ketergantungan pada kekuatan kolonial. Al-Afghani sangat kritis terhadap Barat, dan dalam pandangannya, kolonialisme tidak hanya mempromosikan ketidakadilan ekonomi, tetapi juga mengikis nilai-nilai moral dan agama yang menjadi landasan kehidupan umat Islam (Adams, 2018).
Salah satu kritik utama Al-Afghani terhadap kolonialisme Barat adalah bahwa kolonialisme memecah belah dunia Muslim. Kolonialisme, menurutnya, tidak hanya merampas kebebasan dan kemerdekaan negara-negara Muslim, tetapi juga memperkuat perpecahan di antara mereka. Al-Afghani percaya bahwa negara-negara Muslim harus bersatu untuk melawan kekuatan kolonial, karena perpecahan hanya memperkuat dominasi Barat. Ia melihat bahwa penjajahan menciptakan ketidakadilan yang mendalam di dunia Islam, di mana negara-negara Muslim kehilangan kedaulatan mereka dan menjadi objek eksploitasi ekonomi dan politik. Oleh karena itu, ia mendorong umat Islam untuk bangkit dan melawan kolonialisme, bukan hanya melalui perlawanan militer, tetapi juga melalui kebangkitan intelektual dan politik (Haddad, 2019).
Al-Afghani menyadari bahwa salah satu kelemahan utama umat Muslim dalam menghadapi kolonialisme adalah keterbelakangan intelektual dan ketergantungan pada kekuatan asing. Ia berpendapat bahwa umat Islam telah kehilangan daya saing mereka di kancah global karena mereka gagal mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Oleh karena itu, ia mengadvokasi reformasi pendidikan dan modernisasi di dunia Islam sebagai cara untuk memperkuat kemandirian politik. Menurutnya, negara-negara Muslim harus mengadopsi ilmu pengetahuan Barat, tetapi tetap menjaga identitas keislaman mereka. Ia mendorong umat Islam untuk belajar dari Barat, tetapi tidak mengadopsi nilai-nilai Barat yang ia anggap bertentangan dengan Islam. Dengan cara ini, ia percaya bahwa umat Islam dapat membangun kekuatan politik dan ekonomi yang mandiri, yang tidak lagi bergantung pada kekuatan kolonial (Kuru, 2020).
Selain kritik terhadap kolonialisme, Al-Afghani juga mendorong advokasi kemandirian politik sebagai solusi untuk mengatasi dominasi Barat. Ia percaya bahwa negara-negara Muslim harus bebas dari pengaruh asing dan mampu mengelola urusan mereka sendiri tanpa campur tangan dari luar. Untuk mencapai hal ini, Al-Afghani menekankan pentingnya reformasi politik dan penguatan institusi negara. Ia menilai bahwa banyak pemerintahan Muslim saat itu lemah dan korup, sehingga memudahkan kekuatan kolonial untuk mengambil alih kendali. Oleh karena itu, Al-Afghani mendesak para pemimpin Muslim untuk memperkuat pemerintahan mereka dan memberantas korupsi agar dapat melawan pengaruh kolonial secara efektif (Zubaida, 2019).
Pemikiran Al-Afghani tentang kemandirian politik juga mencakup pentingnya persatuan di antara negara-negara Muslim. Ia percaya bahwa negara-negara Muslim harus bersatu dalam satu kekuatan politik yang solid untuk menghadapi kekuatan kolonial. Menurutnya, umat Islam tidak akan pernah bisa mencapai kemandirian politik jika mereka terus terpecah-belah dan berkonflik satu sama lain. Dalam konteks ini, Al-Afghani menganjurkan pembentukan aliansi politik di antara negara-negara Muslim untuk membentuk front persatuan melawan kolonialisme. Ia juga menekankan bahwa persatuan politik ini harus didasarkan pada nilai-nilai Islam yang mengajarkan keadilan, persamaan, dan solidaritas. Dengan cara ini, ia berharap dapat menciptakan tatanan politik yang lebih adil dan merdeka bagi umat Islam (Alkan, 2021).
Al-Afghani juga menyoroti bahwa kolonialisme Barat tidak hanya menghancurkan kehidupan politik dan ekonomi negara-negara Muslim, tetapi juga merusak budaya dan identitas mereka. Ia menganggap bahwa salah satu tujuan utama kolonialisme adalah untuk memaksakan nilai-nilai Barat kepada negara-negara Muslim, sehingga merusak integritas budaya dan agama mereka. Oleh karena itu, ia mendesak umat Islam untuk melawan proses ini dengan tetap berpegang teguh pada ajaran-ajaran Islam dan tradisi budaya mereka. Al-Afghani percaya bahwa kemandirian politik hanya dapat dicapai jika umat Islam menjaga identitas mereka dan menolak asimilasi budaya yang dipaksakan oleh kolonialis Barat (Haddad, 2019).
Dalam upayanya untuk mengadvokasi kemandirian politik, Al-Afghani tidak hanya berkutat pada perlawanan terhadap kolonialisme di dunia Islam, tetapi juga berusaha mencari dukungan dari luar. Ia melakukan perjalanan ke berbagai negara, termasuk Eropa, untuk menjalin aliansi dan mencari dukungan bagi perjuangan kemerdekaan negara-negara Muslim. Salah satu contohnya adalah hubungannya dengan Kekaisaran Ottoman, di mana ia berupaya untuk membujuk para pemimpin Ottoman agar memimpin gerakan persatuan dunia Islam melawan kolonialisme Barat. Meskipun usahanya tidak sepenuhnya berhasil, gagasan Al-Afghani tetap memberikan pengaruh yang signifikan terhadap gerakan politik di dunia Islam, terutama di Mesir dan India (Adams, 2018).
Dalam konteks dunia modern, pemikiran Al-Afghani tentang kritik terhadap kolonialisme Barat dan advokasi kemandirian politik masih relevan. Meskipun dunia Muslim tidak lagi berada di bawah kendali langsung kekuatan kolonial, tantangan yang dihadapi negara-negara Muslim dalam menjaga kemandirian politik dan melawan dominasi asing masih sangat nyata. Pemikiran Al-Afghani tentang pentingnya persatuan politik dan reformasi pendidikan menjadi landasan bagi banyak gerakan politik dan intelektual di dunia Islam kontemporer. Gerakan-gerakan Islamis, seperti Ikhwanul Muslimin, sering kali mengadopsi gagasan Al-Afghani dalam perjuangan mereka untuk membangun tatanan politik Islam yang merdeka dan berdaulat (Alkan, 2021).
Secara keseluruhan, kritik Al-Afghani terhadap kolonialisme Barat dan advokasi kemandirian politik mencerminkan upaya intelektual dan politik yang kuat untuk membangun kembali kekuatan dan kedaulatan dunia Islam. Meskipun ia hidup di masa kolonial, pemikirannya terus memberikan pengaruh yang mendalam terhadap gerakan politik Islam di abad ke-20 dan ke-21. Melalui kritiknya terhadap kolonialisme, Al-Afghani mendorong umat Islam untuk bangkit melawan penjajahan dan membangun tatanan politik yang berlandaskan Islam dan nilai-nilai keadilan. Gagasannya tentang kemandirian politik, reformasi pendidikan, dan persatuan umat Muslim tetap relevan dalam konteks dunia Muslim saat ini, yang terus berjuang untuk menemukan keseimbangan antara modernitas dan identitas keislaman mereka.
Pengaruh Al-Afghani terhadap Gerakan Politik Islam
Pengaruh Jamaluddin Al-Afghani terhadap gerakan politik Islam di Timur Tengah dan Asia sangat mendalam dan melampaui masanya. Sebagai pelopor kebangkitan Islam modern, pemikiran dan ideologinya menginspirasi gerakan-gerakan yang mendorong perubahan sosial dan politik di dunia Muslim. Salah satu warisan terbesar Al-Afghani adalah gagasan Pan-Islamisme, yang mengajak umat Muslim untuk bersatu dalam menghadapi penjajahan Barat dan menegakkan kembali kedaulatan politik Islam. Gerakan ini tidak hanya bertujuan untuk melawan kolonialisme, tetapi juga untuk membangkitkan kembali semangat Islam sebagai kekuatan politik dan intelektual yang relevan di era modern (Adams, 2018).
Di Timur Tengah, pengaruh Al-Afghani paling terasa dalam kebangkitan gerakan nasionalis dan Islamis. Salah satu muridnya yang paling terkenal, Muhammad Abduh, memainkan peran penting dalam menyebarkan pemikiran Al-Afghani di Mesir. Abduh menjadi tokoh utama dalam gerakan modernis Islam di Mesir yang berupaya memadukan ajaran Islam dengan modernitas. Pengaruh Al-Afghani pada Abduh tidak hanya terbatas pada gagasan reformasi agama, tetapi juga pada upaya untuk membebaskan Mesir dari dominasi Inggris. Abduh dan para pengikutnya memandang bahwa Islam bukanlah penghalang bagi kemajuan, tetapi justru sebagai fondasi yang bisa mendukung kemajuan politik dan sosial. Gerakan modernis Islam ini kemudian berkembang menjadi Ikhwanul Muslimin, salah satu organisasi politik Islam terbesar di dunia Arab, yang tetap menggunakan gagasan persatuan umat Muslim sebagai landasan perjuangan mereka (Haddad, 2019).
Di luar Mesir, pemikiran Al-Afghani juga mempengaruhi perkembangan gerakan politik di negara-negara lain di Timur Tengah. Di Persia (sekarang Iran), misalnya, pemikirannya mendorong gerakan Konstitusionalis Persia, yang berupaya menentang kekuasaan monarki dan mendorong reformasi politik berdasarkan prinsip-prinsip Islam. Al-Afghani, yang memiliki akar keluarga di Persia, memainkan peran dalam membentuk kesadaran politik di kalangan ulama dan intelektual Iran. Gerakan Konstitusionalis Persia tidak hanya dipengaruhi oleh gagasan tentang persatuan Islam, tetapi juga oleh pandangan Al-Afghani tentang pentingnya pendidikan dan reformasi sosial sebagai cara untuk membebaskan dunia Muslim dari penjajahan asing (Kuru, 2020).
Pengaruh Al-Afghani di Asia Selatan juga sangat signifikan. Di India, ia terlibat langsung dalam upaya melawan kolonialisme Inggris dan bekerja sama dengan para pemimpin nasionalis Muslim di sana. Salah satu pengaruhnya yang paling besar di India adalah pada Muhammad Iqbal, seorang filsuf dan pemimpin nasionalis yang sering disebut sebagai “Bapak Pakistan.” Iqbal mengadopsi banyak gagasan Al-Afghani, termasuk keyakinannya bahwa Islam harus menjadi kekuatan politik yang mempersatukan umat Muslim. Iqbal juga mendorong umat Muslim di India untuk bangkit melawan penjajahan Inggris dan memperjuangkan kemandirian politik melalui pembentukan negara Muslim yang merdeka, yang akhirnya terwujud dalam pendirian Pakistan (Alkan, 2021).
Pemikiran Al-Afghani juga memberikan pengaruh besar pada gerakan pembaruan Islam di Asia Tenggara, khususnya di Indonesia. Di Indonesia, gerakan pembaruan Islam yang dipengaruhi oleh pemikiran Al-Afghani mulai berkembang pada awal abad ke-20 melalui tokoh-tokoh seperti Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, dan Hasyim Asy'ari, pendiri Nahdlatul Ulama. Keduanya terinspirasi oleh gagasan Al-Afghani tentang pentingnya pendidikan, reformasi sosial, dan persatuan umat Muslim. Muhammadiyah, misalnya, didirikan dengan tujuan untuk memajukan umat Islam melalui pendidikan modern dan penguatan solidaritas keagamaan, yang mencerminkan visi Al-Afghani tentang kebangkitan Islam melalui pembaruan intelektual dan sosial (Zubaida, 2019).
Di dunia Arab, pengaruh Al-Afghani paling nyata dalam pembentukan ideologi politik Islam yang kemudian berkembang menjadi gerakan-gerakan Islamis di abad ke-20. Ikhwanul Muslimin di Mesir, sebagai salah satu gerakan Islamis terbesar, mengadopsi banyak gagasan Al-Afghani tentang pentingnya persatuan Islam dan perjuangan melawan penjajahan. Ikhwanul Muslimin, yang didirikan oleh Hasan al-Banna pada tahun 1928, terus menggunakan ide-ide Al-Afghani dalam misi mereka untuk mendirikan negara Islam yang berdaulat dan menegakkan syariat Islam sebagai landasan negara. Pemikiran Al-Afghani tentang pentingnya jihad melawan kekuatan kolonial juga menjadi landasan bagi perjuangan politik Ikhwanul Muslimin dalam melawan dominasi Barat di dunia Islam (Adams, 2018).
Warisan pemikiran Al-Afghani juga terlihat dalam gerakan-gerakan nasionalis di negara-negara Muslim lainnya. Di Turki, misalnya, pemikirannya mempengaruhi gerakan pembaruan di kalangan kaum muda Ottoman yang berupaya mempertahankan kedaulatan kekhalifahan Ottoman dari ancaman penjajahan Eropa. Meskipun gerakan ini akhirnya gagal dan Kekhalifahan Ottoman runtuh pada tahun 1924, gagasan Al-Afghani tentang pentingnya persatuan Islam dan kemandirian politik tetap menjadi sumber inspirasi bagi banyak pemimpin nasionalis Muslim di Turki dan negara-negara Muslim lainnya. Pemikirannya tentang kebangkitan Islam juga menjadi salah satu pilar ideologi politik yang dianut oleh Recep Tayyip Erdoğan dalam membangun Turki modern (Kuru, 2020).
Secara keseluruhan, pengaruh Al-Afghani terhadap gerakan politik Islam di Timur Tengah dan Asia sangat besar dan beragam. Ia tidak hanya menginspirasi gerakan-gerakan politik yang menentang penjajahan, tetapi juga mendorong reformasi intelektual dan sosial di dunia Islam. Pemikiran Al-Afghani tentang persatuan Islam, pentingnya pendidikan, dan perlunya perlawanan terhadap kekuatan kolonial menjadi landasan bagi banyak gerakan nasionalis dan Islamis di abad ke-20 dan ke-21. Warisan intelektualnya terus hidup dalam gerakan-gerakan politik Islam yang terus berjuang untuk menegakkan kedaulatan umat Muslim di tengah tantangan modernitas dan dominasi asing (Zubaida, 2019).
Gagasan Al-Afghani tentang Pan-Islamisme, pendidikan, dan persatuan umat Muslim tetap menjadi fondasi penting bagi gerakan-gerakan politik Islam di berbagai belahan dunia, termasuk di Timur Tengah dan Asia. Meskipun ia hidup di masa kolonial, pemikiran dan ideologinya tetap relevan hingga hari ini, terutama dalam konteks perjuangan negara-negara Muslim untuk mempertahankan kedaulatan politik mereka dan menegakkan nilai-nilai Islam di era globalisasi. Dengan demikian, Al-Afghani bukan hanya seorang tokoh sejarah, tetapi juga seorang pemikir yang pemikirannya terus memberikan pengaruh yang signifikan terhadap dinamika politik dunia Islam modern (Alkan, 2021).
Recep Tayyip Erdoğan: Politik Islam di Era Modern
Biografi Singkat
Recep Tayyip Erdoğan adalah salah satu tokoh politik paling berpengaruh di Turki dalam beberapa dekade terakhir. Ia lahir pada 26 Februari 1954 di Kasimpasa, sebuah lingkungan kelas pekerja di Istanbul, Turki. Erdoğan tumbuh dalam keluarga yang religius dan konservatif, yang membentuk pandangannya terhadap politik dan kehidupan sosial. Pendidikan awalnya berada di sekolah imam hatip, sebuah sekolah yang memberikan pendidikan agama secara intensif. Hal ini menjadi fondasi dari pandangan politik Islamis Erdoğan yang mempengaruhi seluruh karir politiknya (Alkan, 2021; Kuru, 2020).
Karir politik Erdoğan dimulai pada tahun 1976 ketika ia menjadi ketua sayap pemuda Partai Penyelamat Nasional (National Salvation Party/NSP), sebuah partai politik Islamis di bawah pimpinan Necmettin Erbakan. NSP kemudian dibubarkan setelah kudeta militer Turki pada 1980, tetapi hal ini tidak menghentikan Erdoğan untuk terlibat dalam politik. Pada awal 1990-an, Erdoğan mulai menonjol dalam Partai Kesejahteraan (Refah Partisi), partai politik Islamis baru yang dibentuk oleh Erbakan. Pada 1994, ia terpilih sebagai Wali Kota Istanbul, kota terbesar dan pusat ekonomi Turki. Keberhasilan ini menjadikannya sosok yang diperhitungkan di panggung politik nasional. Sebagai Wali Kota, Erdoğan berhasil memperbaiki infrastruktur kota, mengatasi masalah kekurangan air, dan meningkatkan sistem transportasi publik, yang membuatnya semakin populer di kalangan rakyat Turki (Alkan, 2021).
Namun, karir politik Erdoğan tidak selalu mulus. Pada tahun 1998, ia dipenjara selama empat bulan karena dianggap menghasut kebencian melalui sebuah puisi yang ia bacakan di depan publik, yang berbunyi, “Masjid adalah barak kami, kubahnya helm kami, menara adalah bayonet kami, dan orang-orang beriman adalah tentara kami.” Puisi ini dianggap oleh penguasa sekuler Turki sebagai seruan untuk menggulingkan prinsip-prinsip sekularisme yang ditetapkan oleh Mustafa Kemal Atatürk, pendiri Republik Turki modern. Meskipun dipenjara, popularitas Erdoğan tidak berkurang. Setelah dibebaskan, ia kembali aktif dalam politik dan mendirikan Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) pada tahun 2001 bersama rekan-rekannya, yang menjadi titik balik dalam karir politiknya (Kuru, 2020).
Pada 2002, AKP memenangkan pemilihan umum dengan mayoritas suara, dan Erdoğan diangkat sebagai Perdana Menteri Turki pada tahun 2003 setelah larangan politik terhadap dirinya dicabut. Sebagai pemimpin AKP, Erdoğan berhasil mempertahankan posisinya sebagai Perdana Menteri selama tiga periode berturut-turut hingga 2014. Selama masa kepemimpinannya, ia berhasil mendorong pertumbuhan ekonomi yang signifikan dan menjadikan Turki sebagai salah satu negara dengan ekonomi terbesar di dunia. Erdoğan juga mendorong banyak reformasi politik dan sosial, termasuk pembatasan kekuatan militer yang selama ini memiliki peran besar dalam politik Turki. Dengan membatasi intervensi militer, Erdoğan memperkuat posisi sipil dalam pemerintahan dan membuka jalan bagi kebijakan yang lebih pro-Islam (Haddad, 2019).
Selain keberhasilannya dalam bidang ekonomi dan stabilitas politik, Erdoğan juga dikenal sebagai figur yang memadukan nilai-nilai Islam dengan modernitas. Ia membangun citra politik yang memperjuangkan identitas Muslim di Turki yang telah lama ditekan oleh kebijakan-kebijakan sekuler. Erdoğan memperkenalkan reformasi yang memberikan lebih banyak ruang bagi praktik keagamaan di ruang publik, seperti pencabutan larangan berjilbab di lembaga-lembaga publik dan pendidikan. Di bawah kepemimpinannya, Turki mulai kembali menonjolkan identitas Islamnya setelah bertahun-tahun dipinggirkan oleh elite sekuler. Langkah-langkah ini disambut dengan antusiasme oleh pendukung konservatifnya, tetapi juga menuai kritik dari kalangan sekuler yang khawatir bahwa Erdoğan akan mengikis prinsip-prinsip sekularisme yang diwariskan oleh Atatürk (Alkan, 2021).
Pada 2014, Erdoğan menjadi Presiden Turki setelah memenangkan pemilihan umum dengan mayoritas suara. Sejak saat itu, ia mengkonsolidasikan kekuasaannya melalui perubahan konstitusi yang mengubah sistem pemerintahan Turki dari parlementer menjadi presidensial. Dengan perubahan ini, Presiden memiliki wewenang yang lebih besar, termasuk dalam mengendalikan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Banyak pengamat politik melihat ini sebagai langkah menuju otoritarianisme, meskipun Erdoğan dan pendukungnya berpendapat bahwa reformasi ini diperlukan untuk menjaga stabilitas negara di tengah ancaman internal dan eksternal (Kuru, 2020).
Kepemimpinan Erdoğan juga ditandai dengan sikap yang lebih asertif dalam kebijakan luar negeri, terutama terkait isu-isu dunia Muslim. Erdoğan berusaha memposisikan Turki sebagai kekuatan utama di dunia Islam, dan ia sering kali berbicara menentang ketidakadilan yang dialami oleh umat Muslim di berbagai belahan dunia, seperti Palestina dan Suriah. Erdoğan juga mengambil langkah-langkah untuk memperkuat hubungan Turki dengan negara-negara Muslim di Timur Tengah, Asia, dan Afrika. Meskipun demikian, kebijakan luar negeri Erdoğan sering kali menimbulkan ketegangan dengan negara-negara Barat, terutama setelah percobaan kudeta yang gagal pada 2016, di mana Erdoğan menuduh kekuatan-kekuatan asing, termasuk Amerika Serikat, terlibat dalam konspirasi untuk menggulingkannya (Alkan, 2021).
Erdoğan juga dianggap sebagai tokoh yang membawa perubahan besar dalam politik Islam modern. Berbeda dengan banyak pemimpin Islamis sebelumnya, Erdoğan tidak menolak modernitas atau kapitalisme. Sebaliknya, ia berusaha memadukan nilai-nilai Islam dengan ekonomi pasar bebas dan sistem demokrasi. Pendekatan pragmatis ini menjadikan Turki sebagai model bagi negara-negara Muslim lainnya yang berusaha menyeimbangkan antara Islam dan modernitas. Namun, langkah-langkah politiknya juga menimbulkan kontroversi, terutama terkait tuduhan bahwa ia semakin mengonsolidasikan kekuasaannya dan menekan oposisi politik. Kritikus menyatakan bahwa Erdoğan telah menggunakan kekuatan negara untuk membungkam kritik, termasuk dengan menutup media yang berseberangan dan menahan ribuan orang yang dituduh terlibat dalam percobaan kudeta (Zubaida, 2019).
Meskipun demikian, pengaruh Erdoğan di Turki dan dunia Muslim tetap besar. Ia dipandang sebagai simbol kebangkitan Islam politik di era modern, yang mampu menggabungkan nilai-nilai Islam dengan kekuasaan politik dan modernitas. Kepemimpinannya tidak hanya mengubah wajah politik Turki, tetapi juga memberikan inspirasi bagi banyak gerakan politik Islam di berbagai belahan dunia. Erdoğan telah berhasil membangun reputasi sebagai pemimpin yang mampu mempertahankan identitas Muslim Turki di tengah arus globalisasi dan sekularisme yang kuat. Pengaruhnya juga semakin mengglobal, dengan banyak negara Muslim yang melihat Turki sebagai model keberhasilan integrasi Islam dengan demokrasi dan ekonomi modern (Adams, 2018).
Dengan segala pencapaiannya, Erdoğan tetap menjadi figur yang kontroversial baik di dalam negeri maupun di dunia internasional. Pendukungnya memujinya sebagai pemimpin yang telah mengangkat harkat dan martabat umat Muslim, sementara para pengkritiknya menuduhnya sebagai sosok otoriter yang berusaha memperkuat cengkeramannya atas kekuasaan. Terlepas dari kontroversi tersebut, tidak dapat dipungkiri bahwa Recep Tayyip Erdoğan telah menjadi salah satu tokoh politik paling penting dalam sejarah modern Turki dan dunia Muslim, dengan warisan politik yang akan terus dibahas dan dipelajari oleh para sejarawan dan ilmuwan politik (Zubaida, 2019).
Pemikiran Politik Erdoğan
Konsep Politik Islam Moderat dalam Kerangka Negara Demokrasi Modern
Pemikiran politik Recep Tayyip Erdoğan sangat dipengaruhi oleh konsep politik Islam moderat yang ia kembangkan selama karir politiknya, terutama dalam kerangka negara demokrasi modern. Erdoğan mengusung pandangan bahwa Islam dapat selaras dengan demokrasi dan modernitas, sebuah pendekatan yang berbeda dari gerakan Islamis konservatif yang lebih ekstrem. Erdoğan meyakini bahwa nilai-nilai Islam dapat diterapkan dalam kehidupan publik tanpa bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi, seperti kebebasan, hak asasi manusia, dan ekonomi pasar bebas. Pandangan ini, yang sering disebut sebagai “Islam moderat” atau “Islam demokrat”, menjadi dasar bagi kebijakan-kebijakan politik Erdoğan dan partainya, Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP), yang berkuasa di Turki sejak awal 2000-an (Alkan, 2021).
Dalam kerangka negara demokrasi modern, Erdoğan berusaha membangun konsep politik yang memadukan antara nilai-nilai Islam dengan prinsip-prinsip sekularisme yang telah lama diadopsi oleh Turki. Di bawah kepemimpinannya, Turki berupaya menyeimbangkan antara pengaruh agama dan prinsip-prinsip sekuler yang diwariskan oleh Mustafa Kemal Atatürk. Meskipun Erdoğan berasal dari latar belakang politik Islamis, ia secara tegas menyatakan komitmennya terhadap demokrasi dan sistem multi-partai. Erdoğan sering kali menekankan bahwa negara harus menjaga netralitas dalam urusan agama, sementara individu diberi kebebasan untuk mempraktikkan keyakinan mereka tanpa campur tangan negara. Ini tercermin dalam berbagai kebijakan Erdoğan yang melonggarkan larangan-larangan terhadap simbol-simbol agama di ruang publik, seperti pencabutan larangan berjilbab di lembaga-lembaga pemerintahan dan universitas, sambil tetap menjaga institusi-institusi negara dalam kerangka demokrasi (Kuru, 2020).
Pendekatan moderat Erdoğan terhadap Islam politik juga tercermin dalam kebijakan ekonomi yang ia terapkan. Erdoğan meyakini bahwa ekonomi pasar bebas dapat berjalan berdampingan dengan prinsip-prinsip keadilan sosial dalam Islam. Selama kepemimpinannya, Erdoğan mendorong pertumbuhan ekonomi yang pesat dengan menarik investasi asing dan membuka pasar Turki ke dunia internasional. Namun, ia juga menjaga agar kebijakan ekonomi tetap memperhatikan kesejahteraan sosial, dengan memberikan program bantuan kepada masyarakat miskin dan meningkatkan akses pendidikan serta kesehatan. Pendekatan ini mencerminkan keyakinan Erdoğan bahwa Islam mengajarkan tanggung jawab sosial dan keadilan, yang dapat diimplementasikan melalui kebijakan ekonomi yang inklusif dalam kerangka negara demokrasi modern (Zubaida, 2019).
Erdoğan juga menegaskan bahwa konsep politik Islam moderat yang ia usung bukan berarti mengabaikan nilai-nilai Islam dalam kehidupan publik, tetapi lebih kepada mencari jalan tengah antara tradisi dan modernitas. Dalam banyak pidatonya, Erdoğan sering kali mengutip ajaran Islam yang menekankan pentingnya perdamaian, keadilan, dan toleransi. Ia melihat bahwa demokrasi memberikan ruang bagi Muslim untuk mengekspresikan identitas agama mereka secara bebas, asalkan prinsip-prinsip demokrasi itu sendiri dihormati. Erdoğan mengusulkan bahwa penerapan hukum Islam harus tetap berada dalam kerangka konstitusi negara yang demokratis, di mana hak-hak individu, termasuk kebebasan beragama, dihargai. Ini merupakan bagian dari strategi Erdoğan untuk menjauhkan politik Islam dari citra radikal yang sering diasosiasikan dengan kelompok ekstremis (Haddad, 2019).
Dalam politik luar negeri, Erdoğan juga membawa pendekatan moderat ini dengan mencoba menempatkan Turki sebagai jembatan antara dunia Barat dan dunia Muslim. Erdoğan sering kali menekankan bahwa Turki, sebagai negara dengan mayoritas Muslim tetapi berkomitmen pada demokrasi, dapat menjadi model bagi negara-negara Muslim lainnya. Ia mengadvokasi bahwa dunia Islam tidak harus menolak nilai-nilai demokrasi Barat, tetapi dapat mengadaptasinya sesuai dengan konteks lokal dan nilai-nilai Islam. Dalam hal ini, Erdoğan mendukung dialog antara peradaban, yang ia anggap penting untuk mengurangi ketegangan antara dunia Islam dan Barat. Sikap moderat ini tercermin dalam kebijakan luar negeri Turki yang aktif terlibat dalam mediasi konflik di Timur Tengah serta upaya memperkuat hubungan diplomatik dengan negara-negara Muslim lainnya (Alkan, 2021).
Namun, pemikiran politik Erdoğan tentang Islam moderat dalam kerangka demokrasi modern tidak luput dari kritik. Beberapa pengamat politik menganggap bahwa Erdoğan, dalam praktiknya, sering kali menunjukkan sikap yang bertentangan dengan prinsip demokrasi, terutama terkait dengan kebebasan pers dan hak-hak politik oposisi. Setelah percobaan kudeta pada 2016, Erdoğan memperluas kekuasaan eksekutifnya melalui referendum yang mengubah sistem pemerintahan Turki dari parlementer menjadi presidensial. Kritikus menilai langkah ini sebagai upaya Erdoğan untuk mengonsolidasikan kekuasaan dan melemahkan checks and balances dalam sistem demokrasi Turki. Mereka juga berpendapat bahwa Erdoğan telah menggunakan retorika Islam moderat untuk mendapatkan dukungan politik dari basis konservatifnya, sambil mengikis kebebasan sipil dan mengendalikan media (Kuru, 2020).
Terlepas dari kontroversi tersebut, tidak dapat disangkal bahwa Erdoğan telah membawa perubahan signifikan dalam politik Turki dan mempopulerkan konsep Islam moderat yang sesuai dengan demokrasi modern. Kepemimpinannya telah menginspirasi banyak pemimpin politik di dunia Muslim, yang melihat Erdoğan sebagai contoh bagaimana nilai-nilai Islam dapat diterapkan dalam sistem demokrasi tanpa harus mengorbankan modernitas. Erdoğan telah berhasil membuktikan bahwa Islam dan demokrasi dapat hidup berdampingan, meskipun tantangan dan ketegangan selalu ada di antara kedua konsep tersebut (Yavuz, 2019; Esen & Gumuscu, 2020).
Selain itu, konsep politik Islam moderat Erdoğan juga mencerminkan pragmatisme dalam menghadapi tantangan global. Dalam menghadapi tekanan internasional, terutama dari negara-negara Barat yang khawatir akan kebangkitan Islam politik, Erdoğan sering kali menyesuaikan kebijakan domestik dan luar negerinya untuk menjaga hubungan diplomatik dan ekonomi yang baik. Pendekatan moderat ini memungkinkan Turki untuk tetap menjadi bagian dari komunitas internasional sambil mempertahankan identitas Islam yang kuat. Erdoğan juga berusaha memanfaatkan posisi geopolitik Turki sebagai kekuatan regional yang strategis, yang memungkinkan Turki berperan sebagai mediator dalam konflik-konflik internasional di kawasan Timur Tengah (Zubaida, 2019).
Dalam banyak hal, Erdoğan telah mengukuhkan dirinya sebagai pemimpin politik Islam modern yang mampu menavigasi kompleksitas hubungan antara agama dan negara dalam konteks demokrasi. Meskipun ia menghadapi banyak kritik, baik di dalam maupun luar negeri, gagasan politik Islam moderat yang ia kembangkan tetap menjadi wacana penting dalam diskusi tentang masa depan politik dunia Islam. Model kepemimpinan Erdoğan, dengan segala dinamikanya, telah memberikan pelajaran penting bagi negara-negara Muslim lainnya yang berusaha menemukan keseimbangan antara tradisi Islam dan tuntutan demokrasi modern.
Upaya Mengintegrasikan Nilai-nilai Islam dengan Model Pemerintahan Sekuler
Recep Tayyip Erdoğan dikenal sebagai salah satu tokoh yang berhasil mengintegrasikan nilai-nilai Islam dengan model pemerintahan sekuler, terutama dalam konteks politik Turki modern. Sebagai negara yang secara historis berdiri atas dasar sekularisme yang kuat sejak zaman Mustafa Kemal Atatürk, Turki telah lama dipandang sebagai benteng sekularisme di dunia Muslim. Namun, Erdoğan berhasil menghadirkan pendekatan baru yang memungkinkan Islam menjadi bagian dari kehidupan politik tanpa mengganggu kerangka dasar sekularisme negara. Usaha ini dilakukan melalui kebijakan-kebijakan yang menyeimbangkan antara penerapan nilai-nilai Islam dan prinsip-prinsip dasar dari sistem sekuler yang tetap dihormati (Kuru, 2020).
Salah satu cara utama Erdoğan mengintegrasikan nilai-nilai Islam ke dalam pemerintahan sekuler adalah dengan menormalisasi ekspresi agama di ruang publik. Sebelum Erdoğan berkuasa, kebijakan-kebijakan sekuler yang ketat melarang simbol-simbol agama, termasuk larangan berjilbab di lembaga-lembaga pemerintahan dan universitas. Erdoğan mencabut banyak dari larangan-larangan tersebut, memberikan kebebasan kepada individu untuk mengekspresikan keyakinan agama mereka tanpa harus menghadapi diskriminasi dari negara. Langkah ini merupakan upaya untuk mengakomodasi nilai-nilai Islam tanpa secara langsung menantang prinsip-prinsip sekularisme yang telah lama diterapkan di Turki (Alkan, 2021).
Kebijakan ini menarik perhatian banyak pihak di dunia Islam, terutama karena Turki dianggap sebagai contoh bagaimana nilai-nilai Islam dapat diterapkan dalam kerangka sekuler. Erdoğan berargumen bahwa sekularisme yang diterapkan di Turki tidak harus meminggirkan agama dari kehidupan publik. Sebaliknya, ia mendorong sebuah konsep sekularisme yang lebih inklusif, di mana negara tetap netral terhadap agama, tetapi memungkinkan masyarakat untuk hidup sesuai dengan nilai-nilai agama mereka. Pendekatan ini berhasil mendapatkan dukungan luas dari kalangan konservatif dan Islamis di Turki, sementara juga tetap menjaga prinsip-prinsip dasar sekuler yang dihormati oleh banyak elite politik dan militer di negara tersebut (Haddad, 2019).
Namun, upaya Erdoğan untuk mengintegrasikan nilai-nilai Islam dengan pemerintahan sekuler juga tidak lepas dari kontroversi. Para pengkritiknya sering kali menuduhnya mengikis warisan sekularisme yang dibangun oleh Atatürk, dengan menuduh bahwa kebijakan-kebijakan Erdoğan cenderung memperkuat kekuasaan agama dalam politik. Salah satu kritik terbesar yang diarahkan kepada Erdoğan adalah upayanya untuk mengubah sistem pendidikan, di mana ia memperkenalkan lebih banyak materi pendidikan agama ke dalam kurikulum nasional. Para kritikus berpendapat bahwa hal ini bertentangan dengan prinsip dasar sekularisme Turki, yang bertujuan untuk menjaga agama dan negara tetap terpisah (Zubaida, 2019).
Meski demikian, Erdoğan dan Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) selalu berusaha meyakinkan publik bahwa integrasi nilai-nilai Islam ke dalam pemerintahan sekuler tidak berarti penerapan syariah secara eksplisit. Erdoğan sering kali menekankan bahwa Turki akan tetap menjadi negara sekuler, tetapi negara sekuler yang memberikan kebebasan beragama dan menghormati keyakinan religius masyarakatnya. Ini adalah bentuk sekularisme yang berbeda dari model Barat yang lebih ketat dalam memisahkan agama dari negara. Dengan mengedepankan pendekatan yang lebih lunak ini, Erdoğan berusaha untuk menjaga keseimbangan antara kekuatan konservatif Islamis dan kelompok sekuler di Turki (Kuru, 2020).
Selain itu, Erdoğan juga membawa pendekatan pragmatis dalam kebijakan luar negerinya yang mencerminkan integrasi nilai-nilai Islam dengan pemerintahan sekuler. Misalnya, Erdoğan berusaha memperkuat hubungan dengan negara-negara Muslim di Timur Tengah sambil tetap menjaga hubungan diplomatik yang kuat dengan negara-negara Barat, terutama Uni Eropa dan Amerika Serikat. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun Erdoğan secara terbuka menampilkan nilai-nilai Islam dalam kebijakan domestik dan luar negerinya, ia tidak sepenuhnya meninggalkan prinsip-prinsip diplomasi sekuler yang telah lama menjadi bagian dari politik luar negeri Turki. Dalam berbagai kesempatan, Erdoğan berupaya menyeimbangkan peran Turki sebagai jembatan antara Timur dan Barat, mempromosikan dialog antar peradaban yang memungkinkan nilai-nilai Islam dan sekuler untuk berdampingan (Alkan, 2021).
Di bidang ekonomi, Erdoğan juga berusaha mengintegrasikan prinsip-prinsip keadilan sosial Islam dengan sistem ekonomi pasar bebas yang menjadi karakteristik dari pemerintahan sekuler. Melalui kebijakan ekonomi yang berfokus pada kesejahteraan sosial, Erdoğan memperkenalkan berbagai program bantuan sosial yang bertujuan untuk mengurangi kemiskinan dan ketimpangan sosial. Program-program ini sering kali disajikan dalam bingkai nilai-nilai Islam yang menekankan solidaritas sosial dan tanggung jawab terhadap sesama, tetapi tetap beroperasi dalam kerangka ekonomi kapitalis modern. Langkah-langkah ini memungkinkan Erdoğan untuk mempertahankan dukungan dari basis konservatifnya yang cenderung lebih religius, sambil tetap menarik dukungan dari kelas menengah yang mendukung liberalisasi ekonomi (Zubaida, 2019).
Namun, upaya Erdoğan untuk mengintegrasikan nilai-nilai Islam ke dalam pemerintahan sekuler tidak hanya berhenti pada kebijakan domestik. Di kancah internasional, Erdoğan juga berusaha mempromosikan nilai-nilai Islam moderat sebagai bagian dari identitas Turki. Dalam pidato-pidatonya di forum internasional, Erdoğan sering kali menekankan bahwa Islam adalah agama perdamaian dan toleransi, yang mampu hidup berdampingan dengan nilai-nilai demokrasi dan sekularisme. Ini adalah bagian dari upaya Erdoğan untuk memperbaiki citra Islam di mata dunia Barat, terutama setelah meningkatnya ketegangan antara dunia Islam dan Barat pasca serangan 11 September 2001. Erdoğan berusaha menunjukkan bahwa Turki, sebagai negara dengan mayoritas Muslim, dapat menjadi contoh bagaimana Islam dan sekularisme dapat bersinergi dalam menciptakan stabilitas politik dan sosial (Haddad, 2019).
Namun, di balik retorika tersebut, Erdoğan juga menghadapi tantangan besar dalam menjaga keseimbangan antara Islam dan sekularisme di Turki. Sejak percobaan kudeta pada tahun 2016, pemerintahan Erdoğan dituduh semakin otoriter, dengan banyak kritikus yang menuduh bahwa Erdoğan telah menggunakan agama sebagai alat untuk memperkuat kekuasaannya dan menekan oposisi politik. Setelah kudeta tersebut, Erdoğan memanfaatkan situasi darurat untuk melakukan pembersihan besar-besaran terhadap oposisi, termasuk menangkap ribuan orang yang diduga terkait dengan gerakan Islamis yang dipimpin oleh Fethullah Gülen, seorang ulama yang berbasis di Amerika Serikat dan dianggap sebagai dalang di balik kudeta tersebut (Alkan, 2021).
Meskipun menghadapi kritik dan tantangan, Erdoğan tetap menjadi salah satu pemimpin paling berpengaruh di dunia Muslim. Model pemerintahan yang ia bangun di Turki, yang mengintegrasikan nilai-nilai Islam dengan prinsip-prinsip sekuler, telah menjadi inspirasi bagi banyak negara Muslim lainnya. Erdoğan menunjukkan bahwa Islam dapat memainkan peran penting dalam politik tanpa harus merusak prinsip-prinsip demokrasi dan sekularisme. Dengan demikian, meskipun perjalanan politiknya dipenuhi dengan kontroversi, Erdoğan tetap menjadi simbol penting dari bagaimana integrasi Islam dan sekularisme dapat diwujudkan dalam praktik politik modern.
Keseimbangan antara Pembangunan Ekonomi, Politik Internasional, dan Islam
Recep Tayyip Erdoğan telah membangun keseimbangan yang rumit antara pembangunan ekonomi, politik internasional, dan nilai-nilai Islam selama kepemimpinannya di Turki. Salah satu pencapaian terbesar Erdoğan adalah kemampuannya untuk menggabungkan nilai-nilai Islam dengan prinsip-prinsip ekonomi pasar bebas yang mendukung pembangunan ekonomi negara. Sejak menjadi Perdana Menteri pada 2003 dan kemudian Presiden Turki, Erdoğan memimpin transformasi ekonomi yang signifikan, membawa Turki menjadi salah satu kekuatan ekonomi terbesar di dunia Muslim. Di bawah kepemimpinannya, produk domestik bruto (PDB) Turki meningkat secara dramatis, dengan pembangunan infrastruktur yang pesat, termasuk bandara, jalan raya, dan sistem transportasi modern (Alkan, 2021).
Pembangunan ekonomi di bawah Erdoğan didasarkan pada model ekonomi yang terbuka, menarik investasi asing, dan memperluas sektor swasta. Meskipun sering kali dianggap sebagai Islamis, Erdoğan mempromosikan ekonomi pasar yang lebih kapitalistik, sambil tetap mempertahankan keseimbangan dengan program-program kesejahteraan sosial yang diinspirasi oleh nilai-nilai Islam. Erdoğan menggunakan retorika Islam untuk menjangkau basis konservatifnya, tetapi ia juga berhasil menarik dukungan dari kalangan bisnis yang mendukung liberalisasi ekonomi. Dalam konteks ini, keseimbangan antara ekonomi dan Islam terlihat jelas, di mana kebijakan-kebijakan ekonomi neoliberal yang diterapkan Erdoğan tetap sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan sosial dalam Islam, yang menekankan pentingnya memperhatikan kesejahteraan masyarakat miskin (Zubaida, 2019).
Selain pembangunan ekonomi, Erdoğan juga terlibat aktif dalam politik internasional, di mana ia mencoba menempatkan Turki sebagai kekuatan regional yang penting, terutama di dunia Muslim. Erdoğan sering kali memposisikan dirinya sebagai pembela umat Muslim di kancah internasional, terutama dalam isu-isu seperti Palestina dan Suriah. Melalui kebijakan luar negeri yang lebih proaktif, Turki di bawah Erdoğan meningkatkan peran diplomatiknya di Timur Tengah, Asia Tengah, dan Afrika Utara. Erdoğan berusaha memperkuat hubungan Turki dengan negara-negara Muslim, sambil tetap menjaga hubungan diplomatik dengan kekuatan Barat seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa (Kuru, 2020).
Namun, keseimbangan antara politik internasional dan Islam sering kali menjadi tantangan bagi Erdoğan. Di satu sisi, Erdoğan berusaha untuk mendukung kepentingan dunia Muslim, seperti dengan mengkritik kebijakan Israel terhadap Palestina atau mendukung kelompok-kelompok Islamis dalam konflik Suriah. Namun, di sisi lain, ia juga harus menjaga hubungan diplomatik yang baik dengan negara-negara Barat, yang sering kali memiliki pandangan berbeda mengenai isu-isu tersebut. Hal ini menyebabkan Erdoğan harus mengambil posisi yang lebih pragmatis dalam banyak situasi, di mana ia kadang-kadang harus berkompromi demi kepentingan nasional Turki, meskipun bertentangan dengan retorika Islamis yang sering ia gunakan (Alkan, 2021).
Dalam konteks ini, Erdoğan juga menghadapi kritik, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Beberapa pihak menuduh bahwa Erdoğan menggunakan Islam lebih sebagai alat politik untuk memperkuat dukungan domestiknya, sementara dalam praktiknya, ia lebih fokus pada keuntungan politik dan ekonomi. Misalnya, meskipun Erdoğan sering kali berbicara mengenai pentingnya solidaritas Islam, kebijakan luar negerinya tidak selalu konsisten dalam mendukung kepentingan negara-negara Muslim. Kritikus juga menuduh bahwa Erdoğan terlalu fokus pada ambisi pribadi untuk memperluas pengaruhnya di kawasan, bahkan jika hal itu merugikan hubungan Turki dengan negara-negara Barat dan tetangganya di Timur Tengah (Haddad, 2019).
Di sisi lain, keberhasilan Erdoğan dalam menjaga keseimbangan antara pembangunan ekonomi, politik internasional, dan nilai-nilai Islam juga terlihat dalam cara ia menangani isu-isu dalam negeri yang sensitif. Sebagai negara sekuler yang secara historis sangat dipengaruhi oleh prinsip-prinsip Atatürk, Turki memiliki ketegangan antara kelompok konservatif religius dan kelompok sekuler. Erdoğan, dengan pendekatannya yang moderat, berhasil menciptakan ruang bagi Islam dalam politik tanpa secara langsung menentang prinsip-prinsip sekularisme negara. Dalam banyak kebijakan domestiknya, Erdoğan membuka ruang lebih besar bagi praktik-praktik keagamaan, seperti mencabut larangan berjilbab di institusi publik, tetapi tetap mempertahankan struktur pemerintahan sekuler yang telah lama menjadi fondasi politik Turki (Zubaida, 2019).
Kebijakan-kebijakan Erdoğan ini membantu menciptakan keseimbangan yang langka di Turki, di mana negara sekuler dapat hidup berdampingan dengan nilai-nilai Islam yang lebih menonjol dalam kehidupan publik. Dalam konteks ini, Erdoğan sering kali menggambarkan Turki sebagai contoh bagi negara-negara Muslim lainnya, di mana demokrasi, pembangunan ekonomi, dan Islam dapat berjalan berdampingan tanpa konflik. Retorika ini tidak hanya membantu meningkatkan popularitas Erdoğan di dalam negeri, tetapi juga memperkuat posisinya di kancah internasional sebagai salah satu pemimpin dunia Muslim yang paling berpengaruh (Kuru, 2020).
Namun, keseimbangan ini tidak datang tanpa tantangan. Pada tahun 2016, Turki mengalami percobaan kudeta yang gagal, yang mengguncang stabilitas politik negara tersebut. Setelah kudeta tersebut, Erdoğan memanfaatkan situasi darurat untuk memperluas kekuasaan eksekutifnya, melakukan pembersihan besar-besaran terhadap mereka yang diduga terlibat dalam kudeta, termasuk banyak pihak dari oposisi politik, militer, dan media. Langkah ini memicu kritik internasional, dengan banyak yang menyebut bahwa Erdoğan telah bergeser dari demokrasi menuju otoritarianisme. Meski demikian, Erdoğan membela tindakan-tindakannya sebagai upaya untuk menjaga stabilitas negara dan melindungi Turki dari ancaman internal dan eksternal (Alkan, 2021).
Meski menghadapi banyak tantangan, Erdoğan terus mempertahankan keseimbangan yang sulit antara pembangunan ekonomi, politik internasional, dan Islam. Ia tetap menjadi sosok yang kontroversial, dengan pengkritiknya yang menyebut bahwa ia semakin terlibat dalam kekuasaan otoriter, sementara para pendukungnya melihatnya sebagai pemimpin yang telah mengangkat status Turki di dunia Muslim dan memperkuat posisi negara tersebut di panggung internasional. Dengan cara ini, keseimbangan antara pembangunan ekonomi, politik internasional, dan Islam di bawah kepemimpinan Erdoğan tetap menjadi salah satu dinamika yang paling menarik dan kompleks di dunia politik modern (Taspinar, 2019; Cagaptay, 2021).
Erdoğan juga terus berusaha memanfaatkan posisi geopolitik Turki yang strategis sebagai jembatan antara Timur dan Barat. Dengan mempromosikan nilai-nilai Islam moderat, ia berupaya menjaga hubungan baik dengan dunia Muslim, sekaligus tetap berinteraksi dengan kekuatan Barat. Hal ini mencerminkan pendekatan pragmatis yang menjadi ciri khas Erdoğan, di mana ia selalu berusaha mencari keseimbangan antara kepentingan ekonomi, politik, dan agama dalam kebijakan-kebijakannya (Haddad, 2019).
Kebijakan Politik Erdoğan
Recep Tayyip Erdoğan telah memainkan peran kunci dalam membentuk kebijakan politik dalam negeri dan luar negeri Turki, yang mencerminkan pandangan politik Islam modern. Erdoğan, melalui kepemimpinan Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP), mengintegrasikan nilai-nilai Islam dengan prinsip-prinsip modernitas dan demokrasi, sambil tetap mempertahankan sistem sekuler yang telah lama ada di Turki. Kebijakan politik dalam negeri Erdoğan banyak dipengaruhi oleh upayanya untuk merevitalisasi ekspresi keagamaan di ruang publik, yang sebelumnya dikekang oleh kebijakan sekuler yang ketat (Dinc, 2019; Gozaydin, 2020).
Salah satu kebijakan dalam negeri yang paling mencerminkan pandangan politik Islam modern Erdoğan adalah pencabutan larangan berjilbab di lembaga-lembaga pemerintah dan universitas. Langkah ini dilihat sebagai upaya Erdoğan untuk memperkuat kebebasan beragama di negara sekuler Turki, yang sebelumnya sangat dibatasi. Kebijakan ini mendapat dukungan luas dari basis konservatif dan religius di Turki, tetapi juga menuai kritik dari kalangan sekuler yang khawatir bahwa Erdoğan berusaha memperkenalkan agama ke dalam politik. Namun, Erdoğan berulang kali menekankan bahwa Turki akan tetap menjadi negara sekuler yang memberikan kebebasan kepada warganya untuk mempraktikkan keyakinan mereka tanpa intervensi negara (Alkan, 2021).
Selain kebijakan terkait kebebasan beragama, Erdoğan juga mendorong kebijakan pendidikan yang mencerminkan pandangan politik Islam modern. Di bawah kepemimpinannya, pemerintah Turki memperkenalkan lebih banyak materi pendidikan agama ke dalam kurikulum nasional, terutama melalui peningkatan jumlah sekolah imam hatip, yang memberikan pendidikan berbasis agama Islam. Meski kebijakan ini disambut baik oleh kelompok konservatif, para pengkritik menuduh bahwa Erdoğan menggunakan pendidikan untuk mempromosikan agenda Islamisasi. Erdoğan membantah tuduhan tersebut, dengan mengatakan bahwa tujuan kebijakan tersebut adalah untuk memberikan pilihan pendidikan yang lebih beragam bagi masyarakat Turki, sambil tetap mempertahankan komitmen terhadap prinsip-prinsip demokrasi (Kuru, 2020).
Kebijakan ekonomi dalam negeri Erdoğan juga mencerminkan integrasi antara nilai-nilai Islam dan modernitas. Erdoğan memimpin pertumbuhan ekonomi Turki dengan mendorong liberalisasi ekonomi dan menarik investasi asing, tetapi ia juga memperkenalkan program-program kesejahteraan sosial yang berlandaskan pada prinsip-prinsip keadilan sosial dalam Islam. Melalui berbagai program bantuan sosial, Erdoğan berhasil menarik dukungan dari kalangan masyarakat miskin dan kelas pekerja, yang melihat Erdoğan sebagai pemimpin yang memperhatikan kesejahteraan mereka. Kebijakan-kebijakan ini, seperti bantuan tunai untuk keluarga miskin dan peningkatan akses terhadap layanan kesehatan, menunjukkan bagaimana Erdoğan berusaha menjaga keseimbangan antara ekonomi pasar bebas dan tanggung jawab sosial yang diilhami oleh nilai-nilai Islam (Zubaida, 2019).
Dalam politik luar negeri, Erdoğan telah mengembangkan kebijakan yang mencerminkan pandangan politik Islam modern dengan mencoba memposisikan Turki sebagai pemimpin dunia Muslim. Salah satu contoh utamanya adalah dukungan Erdoğan terhadap Palestina, di mana ia secara terbuka mengkritik Israel dan mendukung perjuangan rakyat Palestina. Sikap proaktif Erdoğan terhadap isu-isu yang melibatkan dunia Muslim, seperti konflik di Suriah dan Yaman, menunjukkan upayanya untuk memperkuat hubungan diplomatik Turki dengan negara-negara Muslim, sementara tetap mempertahankan hubungan strategis dengan kekuatan Barat. Erdoğan sering kali menggambarkan Turki sebagai jembatan antara Timur dan Barat, sebuah negara yang mampu memediasi konflik dan memperjuangkan hak-hak umat Muslim di kancah internasional (Alkan, 2021).
Namun, kebijakan luar negeri Erdoğan tidak selalu diterima dengan baik, terutama oleh negara-negara Barat. Setelah percobaan kudeta yang gagal pada tahun 2016, hubungan Turki dengan Uni Eropa dan Amerika Serikat semakin tegang. Erdoğan menuduh kekuatan-kekuatan Barat terlibat dalam kudeta tersebut dan menggunakan situasi darurat untuk memperkuat cengkeramannya terhadap kekuasaan. Ia juga melakukan pembersihan besar-besaran terhadap lawan-lawan politiknya, termasuk anggota militer, jurnalis, dan aktivis yang dianggap terlibat dalam kudeta. Meskipun demikian, Erdoğan berhasil mempertahankan dukungan domestik yang kuat, terutama di kalangan basis konservatifnya, yang melihat tindakan-tindakannya sebagai langkah yang diperlukan untuk menjaga stabilitas dan kedaulatan Turki (Kuru, 2020).
Pengaruh Erdoğan terhadap gerakan politik Islam global juga signifikan. Erdoğan sering kali dipandang sebagai pemimpin yang berhasil memadukan nilai-nilai Islam dengan sistem demokrasi modern, yang menjadikannya inspirasi bagi banyak pemimpin dan gerakan politik Islam di berbagai negara. Di banyak negara Muslim, Erdoğan dipandang sebagai contoh bagaimana Islam dapat diterapkan dalam sistem politik modern tanpa harus meninggalkan prinsip-prinsip demokrasi dan pluralisme. Pandangan politik Erdoğan yang pragmatis, di mana ia menyeimbangkan antara nilai-nilai agama dan realitas politik, telah menjadi model bagi banyak gerakan Islamis moderat di seluruh dunia (Haddad, 2019).
Erdoğan juga dikenal sebagai pendukung dialog antarperadaban, yang ia promosikan sebagai cara untuk mengurangi ketegangan antara dunia Islam dan Barat. Di berbagai forum internasional, Erdoğan sering kali menyerukan agar umat Islam tidak mengisolasi diri dari dunia luar, tetapi sebaliknya terlibat aktif dalam dialog dengan kekuatan-kekuatan internasional untuk mempromosikan perdamaian dan stabilitas. Pandangan ini mencerminkan politik Islam modern yang inklusif, di mana keterlibatan dengan dunia internasional dianggap penting untuk mencapai tujuan politik dan ekonomi. Ini berbeda dengan gerakan Islamis yang lebih ekstrem, yang cenderung menolak nilai-nilai Barat dan mendukung isolasi dari pengaruh luar (Alkan, 2021).
Pengaruh Erdoğan terhadap politik Islam global juga terlihat dalam cara ia memanfaatkan media untuk memperluas pengaruhnya di dunia Muslim. Erdoğan sering kali menggunakan media sosial dan saluran berita internasional untuk mempromosikan kebijakan-kebijakannya dan memperkuat citranya sebagai pemimpin dunia Muslim. Melalui strategi komunikasi yang canggih, Erdoğan berhasil membangun narasi bahwa Turki di bawah kepemimpinannya adalah contoh sukses dari negara Muslim modern yang mampu menghadapi tantangan global sambil tetap setia pada nilai-nilai Islam (Zubaida, 2019).
Namun, pengaruh Erdoğan di dunia Islam tidak lepas dari kontroversi. Beberapa pihak menuduh bahwa Erdoğan terlalu otoriter dan menggunakan agama sebagai alat politik untuk memperkuat kekuasaannya. Tuduhan ini semakin kuat setelah kudeta yang gagal pada 2016, di mana banyak pengamat internasional menilai bahwa Erdoğan menggunakan situasi tersebut untuk membungkam oposisi politik dan memperluas kendali pemerintahannya. Meskipun demikian, banyak gerakan politik Islam di berbagai negara masih menganggap Erdoğan sebagai model yang berhasil dalam memadukan Islam dan politik modern, terutama dalam konteks negara-negara Muslim yang berjuang untuk menemukan keseimbangan antara agama dan negara (Kuru, 2020).
Secara keseluruhan, kebijakan dalam dan luar negeri Erdoğan mencerminkan pandangan politik Islam modern yang mencoba menyeimbangkan antara nilai-nilai agama dan prinsip-prinsip demokrasi modern. Melalui kebijakan-kebijakan yang mempromosikan kebebasan beragama, pembangunan ekonomi yang inklusif, serta peran proaktif di kancah internasional, Erdoğan telah membangun reputasi sebagai salah satu pemimpin dunia Muslim yang paling berpengaruh. Meskipun menghadapi banyak kritik, baik dari dalam maupun luar negeri, pengaruh Erdoğan terhadap gerakan politik Islam global tetap besar, dengan banyak pemimpin dan gerakan politik Islam yang melihatnya sebagai contoh sukses dari integrasi Islam dalam pemerintahan modern.
Perbandingan Pemikiran Jamaluddin Al-Afghani dan Recep Tayyip Erdoğan
Kesamaan Pemikiran
Jamaluddin Al-Afghani dan Recep Tayyip Erdoğan merupakan dua tokoh penting dalam sejarah pemikiran politik Islam, meskipun keduanya hidup di zaman dan konteks yang berbeda. Pemikiran mereka memiliki banyak kesamaan dalam hal pandangan tentang kebangkitan umat Muslim melalui politik serta peran Islam dalam membentuk kekuatan politik yang berdaulat. Kedua pemikir ini, dengan cara mereka masing-masing, berusaha mengintegrasikan Islam ke dalam kehidupan politik, baik di tingkat lokal maupun global. Meskipun latar belakang sejarah mereka berbeda—Al-Afghani sebagai seorang aktivis politik dan intelektual di era kolonialisme, dan Erdoğan sebagai seorang politisi modern yang memimpin negara dengan warisan sekuler—kesamaan dalam visi mereka untuk kebangkitan Islam di kancah politik tetap kuat (Black, 2019; Toprak, 2021).
Jamaluddin Al-Afghani menekankan pentingnya kebangkitan umat Muslim melalui politik dalam konteks kolonialisme yang menaklukkan dunia Islam pada abad ke-19. Menurut Al-Afghani, umat Muslim harus bersatu di bawah panji Islam untuk melawan dominasi Barat. Ia meyakini bahwa kemunduran politik dan intelektual di dunia Islam merupakan faktor utama yang menyebabkan jatuhnya negara-negara Muslim di bawah kekuasaan kolonial. Untuk itu, ia mendorong kebangkitan politik Islam sebagai cara untuk mengatasi ketertinggalan tersebut. Al-Afghani percaya bahwa politik harus didasarkan pada nilai-nilai Islam, dan melalui persatuan politik yang kuat, umat Muslim bisa mengembalikan kejayaan mereka. Gagasan Pan-Islamisme yang ia usung berakar dari keyakinan bahwa hanya dengan bersatu, umat Muslim dapat menghadapi tantangan eksternal dan mengembalikan kedaulatan politik mereka (Adams, 2018).
Pemikiran Erdoğan tentang kebangkitan politik Islam memiliki kesamaan dengan visi Al-Afghani, meskipun dalam konteks yang berbeda. Erdoğan juga melihat pentingnya Islam dalam membentuk kebijakan politik dan memajukan umat Muslim di era modern. Namun, Erdoğan tidak menyerukan persatuan politik Islam lintas batas seperti Al-Afghani. Sebaliknya, ia fokus pada pembangunan kekuatan politik di dalam negaranya, Turki, dengan menekankan bahwa Islam dan demokrasi bisa berjalan beriringan. Erdoğan meyakini bahwa melalui kebijakan politik yang inklusif terhadap nilai-nilai Islam, umat Muslim di Turki dapat memulihkan identitas religius mereka tanpa harus bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi modern. Ini terlihat dalam kebijakannya yang memperkenalkan reformasi di sektor publik, seperti mencabut larangan berjilbab di institusi pemerintah dan pendidikan, serta memperkuat peran agama di bidang pendidikan dan kebijakan sosial (Alkan, 2021).
Kesamaan lain antara Al-Afghani dan Erdoğan adalah pandangan mereka tentang peran Islam dalam membentuk kekuatan politik yang berdaulat. Bagi Al-Afghani, Islam bukan hanya agama yang mengatur aspek spiritual kehidupan, tetapi juga ideologi politik yang dapat mempersatukan dan memperkuat umat Muslim. Ia percaya bahwa hanya dengan menjadikan Islam sebagai landasan politik, umat Muslim bisa membangun kekuatan yang cukup untuk melawan kolonialisme dan menjaga kedaulatan politik mereka. Dalam pemikiran Al-Afghani, Islam adalah sumber kekuatan politik yang harus dimanfaatkan oleh umat Muslim untuk melawan dominasi asing dan menjaga keutuhan dunia Islam (Haddad, 2019).
Erdoğan, meskipun tidak berada dalam konteks perlawanan terhadap kolonialisme, juga menganggap Islam sebagai sumber penting dalam membangun kekuatan politik yang berdaulat. Ia melihat bahwa Islam bisa menjadi dasar moral bagi kebijakan publik di negara sekuler seperti Turki. Meskipun Turki telah lama menjadi negara sekuler yang ketat sejak era Mustafa Kemal Atatürk, Erdoğan memperkenalkan kebijakan-kebijakan yang mempromosikan nilai-nilai Islam dalam politik dan kehidupan sosial tanpa harus merombak prinsip-prinsip sekularisme. Dengan demikian, Erdoğan berupaya menjaga keseimbangan antara nilai-nilai Islam dan prinsip-prinsip sekuler, yang membuatnya berbeda dari banyak gerakan Islamis radikal yang menolak sekularisme. Erdoğan percaya bahwa Islam dapat berperan dalam menciptakan tatanan politik yang adil dan berdaulat, sambil tetap menjaga komitmen terhadap demokrasi dan hak asasi manusia (Kuru, 2020).
Sementara Al-Afghani menekankan pentingnya persatuan politik umat Muslim di seluruh dunia sebagai cara untuk melawan kolonialisme, Erdoğan lebih fokus pada pembangunan kekuatan politik dalam konteks nasional. Erdoğan berhasil memanfaatkan kekuatan politik di Turki untuk memperkuat peran Islam dalam pemerintahan, sementara tetap mempertahankan sistem demokrasi dan sekularisme yang sudah ada. Dalam hal ini, Erdoğan menunjukkan pragmatisme yang berbeda dengan Al-Afghani, yang lebih revolusioner dalam seruannya untuk persatuan umat Muslim global. Namun, kedua pemimpin ini memiliki kesamaan dalam visi mereka tentang bagaimana Islam dapat digunakan sebagai alat politik yang kuat untuk membentuk masyarakat yang adil dan berdaulat (Zubaida, 2019).
Kedua tokoh ini juga meyakini bahwa kebangkitan politik umat Muslim tidak hanya dapat dicapai melalui perlawanan fisik atau militer, tetapi juga melalui kebangkitan intelektual. Al-Afghani sangat menekankan pentingnya pendidikan dan ilmu pengetahuan sebagai cara untuk mengangkat umat Muslim dari ketertinggalan mereka. Ia mendorong umat Muslim untuk mempelajari ilmu pengetahuan modern tanpa meninggalkan ajaran Islam. Dalam pandangannya, hanya melalui kebangkitan intelektual yang dipadukan dengan kekuatan politik, umat Muslim dapat mengembalikan kejayaan mereka dan melawan penjajahan Barat (Adams, 2018).
Erdoğan juga mendorong kebangkitan intelektual di Turki melalui reformasi pendidikan yang memperkuat peran agama dalam kurikulum nasional. Di bawah kepemimpinannya, jumlah sekolah imam hatip, yang mengajarkan pendidikan agama bersama dengan pendidikan umum, meningkat pesat. Erdoğan percaya bahwa pendidikan yang berbasis pada nilai-nilai Islam akan membantu generasi muda Turki mempertahankan identitas mereka sambil tetap kompetitif di dunia modern. Namun, seperti halnya Al-Afghani, Erdoğan tidak menolak modernitas. Sebaliknya, ia mendorong penggabungan antara pendidikan agama dan ilmu pengetahuan modern sebagai cara untuk memperkuat posisi umat Muslim dalam politik dan ekonomi global (Kuru, 2020).
Meskipun ada banyak kesamaan dalam pandangan Al-Afghani dan Erdoğan tentang peran Islam dalam kebangkitan politik, ada juga perbedaan signifikan dalam pendekatan mereka. Al-Afghani adalah tokoh yang hidup di era kolonialisme, sehingga pemikirannya lebih terfokus pada perlawanan terhadap dominasi asing dan membangkitkan persatuan dunia Islam. Di sisi lain, Erdoğan hidup di era modern di mana tantangan utamanya adalah mempertahankan identitas Islam dalam kerangka demokrasi sekuler. Meski begitu, keduanya memiliki kesamaan visi tentang bagaimana Islam dapat menjadi sumber kekuatan politik dan moral dalam membangun masyarakat yang adil dan berdaulat.
Perbedaan Pemikiran
Jamaluddin Al-Afghani dan Recep Tayyip Erdoğan adalah dua tokoh politik Islam yang hidup di era dan konteks yang sangat berbeda. Perbedaan konteks historis dan politik ini sangat mempengaruhi pandangan masing-masing tokoh mengenai peran Islam dalam politik dan bagaimana mereka merumuskan strategi untuk kebangkitan umat Muslim. Al-Afghani hidup pada akhir abad ke-19, saat dunia Muslim sedang menghadapi tekanan kolonialisme Barat yang secara signifikan menggerus kedaulatan negara-negara Muslim. Sementara itu, Erdoğan memimpin Turki di era globalisasi dan demokrasi, di mana tantangan utama bukanlah kolonialisme langsung, melainkan bagaimana mempertahankan identitas Islam dalam dunia yang semakin terhubung dan sekuler (Moaddel, 2019; Barkey, 2020).
Salah satu perbedaan utama antara pemikiran Al-Afghani dan Erdoğan adalah konteks historis yang membentuk pandangan politik mereka. Al-Afghani hidup pada masa di mana dunia Islam berada di bawah ancaman dominasi kolonial, terutama dari Eropa Barat. Pada masa ini, negara-negara Muslim seperti Mesir, Persia, dan India berada di bawah kendali kekuatan kolonial Inggris dan Prancis, yang secara signifikan merusak kedaulatan politik dan identitas budaya negara-negara tersebut. Al-Afghani menyaksikan bagaimana kekuatan-kekuatan kolonial tidak hanya menguasai wilayah-wilayah Muslim, tetapi juga mengendalikan ekonomi dan politik lokal, sering kali dengan bantuan elite lokal yang bersedia bekerja sama dengan kekuatan asing (Adams, 2018). Dalam konteks ini, pemikiran politik Al-Afghani terfokus pada perlawanan terhadap kolonialisme dan seruan untuk persatuan umat Muslim melalui gerakan Pan-Islamisme.
Sebaliknya, Erdoğan hidup di era yang sangat berbeda, yaitu era globalisasi dan demokrasi. Di masa Erdoğan memimpin, Turki tidak lagi berada di bawah penjajahan langsung, melainkan menjadi bagian dari sistem politik global yang lebih kompleks. Tantangan yang dihadapi oleh Erdoğan bukanlah ancaman kolonialisme, melainkan bagaimana menavigasi hubungan antara Islam dan modernitas di tengah tekanan dari dunia internasional dan tuntutan domestik untuk mempertahankan sekularisme yang diwarisi dari Mustafa Kemal Atatürk, pendiri Republik Turki (Alkan, 2021). Dalam konteks ini, Erdoğan tidak berjuang melawan kekuatan kolonial, tetapi berusaha membangun kekuatan politik yang kuat di Turki dengan memadukan nilai-nilai Islam dan prinsip-prinsip demokrasi modern.
Selain itu, Al-Afghani menekankan perlawanan terhadap kekuatan asing sebagai elemen utama dalam pemikirannya. Bagi Al-Afghani, kolonialisme Barat adalah musuh utama yang harus dihadapi oleh umat Muslim. Ia mendorong negara-negara Muslim untuk bersatu di bawah satu panji politik Islam, sebagai cara untuk melawan dominasi Barat. Al-Afghani memandang kolonialisme tidak hanya sebagai bentuk dominasi politik, tetapi juga sebagai ancaman terhadap identitas budaya dan agama umat Muslim. Ia percaya bahwa perpecahan di antara negara-negara Muslim membuat mereka rentan terhadap dominasi asing, sehingga penting untuk menyatukan kekuatan politik umat Muslim di seluruh dunia (Haddad, 2019).
Berbeda dengan Al-Afghani, Erdoğan tidak berfokus pada perlawanan terhadap kekuatan asing, tetapi lebih pada memperkuat kedaulatan domestik melalui politik Islam moderat. Erdoğan meyakini bahwa Turki dapat memainkan peran penting di panggung internasional tanpa harus menolak nilai-nilai modernitas dan demokrasi. Dalam pandangan Erdoğan, Islam dapat bersinergi dengan prinsip-prinsip demokrasi, dan Turki dapat menjadi model bagi negara-negara Muslim lainnya yang ingin memadukan nilai-nilai Islam dengan sistem politik modern. Erdoğan tidak menyerukan persatuan politik lintas negara-negara Muslim seperti Al-Afghani, tetapi lebih berfokus pada memperkuat peran Islam dalam politik domestik Turki, sambil tetap mempertahankan hubungan baik dengan dunia Barat (Kuru, 2020).
Perbedaan lainnya terletak pada cara kedua tokoh ini melihat peran Islam dalam membangun kekuatan politik yang berdaulat. Al-Afghani memandang Islam sebagai kekuatan politik yang harus digunakan untuk melawan penjajahan dan mengembalikan kedaulatan negara-negara Muslim. Ia melihat bahwa umat Muslim harus menjadikan Islam sebagai fondasi utama dalam politik untuk membentuk kekuatan yang berdaulat dan mandiri. Al-Afghani juga percaya bahwa hanya dengan kembali kepada ajaran Islam yang murni dan persatuan politik, umat Muslim dapat mencapai kebangkitan dan kejayaan yang pernah mereka miliki di masa lalu (Adams, 2018).
Sementara itu, Erdoğan melihat Islam sebagai sumber moral dan etika yang dapat digunakan untuk memperkuat kehidupan politik modern, tetapi tidak dalam kerangka perlawanan terhadap dominasi asing. Erdoğan tidak mendukung penerapan syariah secara penuh, melainkan menekankan bahwa nilai-nilai Islam dapat diintegrasikan dengan sistem politik sekuler dan demokratis. Erdoğan mempromosikan model Islam moderat yang dapat hidup berdampingan dengan prinsip-prinsip demokrasi, hak asasi manusia, dan ekonomi pasar bebas. Dalam hal ini, Erdoğan mengambil pendekatan yang lebih pragmatis dibandingkan dengan Al-Afghani, yang lebih revolusioner dan radikal dalam seruannya untuk persatuan politik Islam global (Alkan, 2021).
Perbedaan besar lainnya adalah pendekatan masing-masing tokoh terhadap modernitas dan hubungan dengan Barat. Al-Afghani adalah seorang kritikus keras terhadap Barat, terutama karena pengalamannya dengan kolonialisme. Meskipun ia mendukung umat Muslim untuk mempelajari ilmu pengetahuan dan teknologi Barat, Al-Afghani tetap curiga terhadap nilai-nilai politik dan budaya Barat. Ia percaya bahwa Barat menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai alat untuk mendominasi dunia Muslim, dan oleh karena itu, umat Muslim harus berhati-hati dalam mengadopsi nilai-nilai Barat. Bagi Al-Afghani, ilmu pengetahuan Barat harus diambil dan digunakan untuk memperkuat dunia Islam, tetapi nilai-nilai politik dan budaya Barat harus ditolak (Haddad, 2019).
Di sisi lain, Erdoğan lebih terbuka terhadap nilai-nilai modernitas Barat, meskipun dengan beberapa batasan. Erdoğan mempromosikan demokrasi, hak asasi manusia, dan kebebasan individu sebagai prinsip-prinsip yang dapat berjalan selaras dengan nilai-nilai Islam. Ia berusaha menjadikan Turki sebagai contoh bagaimana negara Muslim dapat mengadopsi nilai-nilai modernitas Barat tanpa harus meninggalkan identitas Islam mereka. Meskipun Erdoğan sering kali mengkritik Barat, terutama dalam konteks hubungan internasional, ia tetap berupaya menjaga hubungan baik dengan negara-negara Barat, terutama dalam hal perdagangan dan investasi ekonomi. Erdoğan melihat bahwa Turki, sebagai negara dengan mayoritas Muslim, dapat menjadi jembatan antara dunia Muslim dan Barat, dan bahwa nilai-nilai demokrasi dan sekularisme Barat dapat diadaptasi sesuai dengan konteks lokal dan nilai-nilai Islam (Kuru, 2020).
Erdoğan juga beroperasi dalam konteks politik yang lebih demokratis dibandingkan dengan Al-Afghani. Di era Al-Afghani, banyak negara Muslim berada di bawah kekuasaan kolonial atau monarki absolut, yang membuat ruang politik untuk kebebasan dan demokrasi sangat terbatas. Al-Afghani menyerukan revolusi dan reformasi politik sebagai cara untuk mengatasi penindasan politik yang dialami oleh umat Muslim di bawah penjajahan. Sebaliknya, Erdoğan memimpin Turki di era modern di mana demokrasi sudah mapan, meskipun dengan berbagai tantangan. Erdoğan tidak menyerukan revolusi, melainkan mendorong reformasi politik melalui jalur demokrasi, dengan mengubah sistem pemerintahan Turki dari parlementer menjadi presidensial, yang memberinya kekuasaan lebih besar (Alkan, 2021).
Secara keseluruhan, perbedaan konteks historis dan politik antara Jamaluddin Al-Afghani dan Recep Tayyip Erdoğan sangat mempengaruhi pandangan dan pendekatan mereka terhadap kebangkitan umat Muslim dan peran Islam dalam politik. Al-Afghani, yang hidup di era kolonialisme, lebih berfokus pada perlawanan terhadap dominasi asing dan seruan untuk persatuan politik Islam global sebagai cara untuk mengembalikan kedaulatan umat Muslim. Sementara itu, Erdoğan, yang memimpin di era globalisasi dan demokrasi, mengambil pendekatan yang lebih pragmatis, dengan berusaha memadukan nilai-nilai Islam dengan sistem politik modern yang didominasi oleh demokrasi dan ekonomi pasar bebas. Meski berbeda dalam pendekatan, keduanya memiliki visi yang sama tentang pentingnya peran Islam dalam membentuk kekuatan politik yang berdaulat.
Relevansi Keduanya di Era Modern
Pemikiran Jamaluddin Al-Afghani dan Recep Tayyip Erdoğan terus relevan dalam konteks politik Islam modern, meskipun keduanya hidup dalam era yang sangat berbeda. Warisan intelektual Al-Afghani dan kepemimpinan politik Erdoğan sama-sama membentuk fondasi bagi banyak perdebatan tentang peran Islam dalam politik di dunia Muslim saat ini. Masing-masing tokoh menawarkan perspektif yang berbeda tentang bagaimana Islam dapat digunakan sebagai alat politik untuk membangkitkan umat Muslim dan menjaga kedaulatan negara. Relevansi pemikiran mereka tidak hanya terbatas pada sejarah, tetapi juga terus berpengaruh pada berbagai gerakan politik Islam dan kebijakan di banyak negara Muslim di era globalisasi (Aydin, 2021; Haddad, 2020).
Jamaluddin Al-Afghani adalah pelopor dalam perlawanan intelektual terhadap kolonialisme Barat di dunia Muslim. Pemikirannya tentang Pan-Islamisme, persatuan umat Muslim, dan kebangkitan Islam melalui pendidikan dan politik tetap relevan hingga saat ini. Al-Afghani melihat perpecahan di antara umat Muslim sebagai salah satu penyebab utama kelemahan dunia Islam di hadapan kekuatan kolonial Barat. Ide Pan-Islamisme yang ia gagas masih menjadi landasan bagi banyak gerakan politik Islam yang menginginkan persatuan umat Muslim melawan dominasi asing dan tantangan global modern (Adams, 2018). Meskipun kekuatan kolonialisme langsung sudah berakhir, tantangan dominasi ekonomi dan politik oleh kekuatan global, terutama dari Barat, masih menjadi isu yang dihadapi banyak negara Muslim. Dalam konteks ini, seruan Al-Afghani untuk persatuan dan solidaritas di antara negara-negara Muslim tetap relevan.
Pemikiran Al-Afghani tentang pentingnya pendidikan juga sangat relevan di era modern. Al-Afghani menekankan bahwa kebangkitan umat Muslim tidak hanya dapat dicapai melalui perlawanan fisik, tetapi juga melalui kebangkitan intelektual. Di banyak negara Muslim saat ini, pendidikan masih menjadi salah satu masalah utama yang harus dihadapi untuk menciptakan masyarakat yang mampu bersaing di kancah global. Gagasan Al-Afghani tentang pendidikan sebagai alat untuk membebaskan diri dari ketertinggalan dan dominasi asing telah mengilhami banyak reformasi pendidikan di dunia Muslim, terutama di negara-negara yang berusaha menggabungkan nilai-nilai tradisional Islam dengan ilmu pengetahuan modern (Haddad, 2019).
Recep Tayyip Erdoğan, di sisi lain, menghadirkan model kepemimpinan politik Islam yang lebih pragmatis di era modern. Erdoğan berusaha memadukan nilai-nilai Islam dengan demokrasi dan ekonomi pasar bebas, yang menjadikan model kepemimpinannya relevan bagi banyak negara Muslim yang ingin mempertahankan identitas Islam mereka sambil tetap berpartisipasi dalam sistem global yang didominasi oleh nilai-nilai sekuler. Relevansi Erdoğan terutama terlihat dalam bagaimana ia berhasil mengintegrasikan Islam ke dalam politik Turki yang sekuler tanpa menimbulkan konflik besar. Di banyak negara Muslim, di mana tantangan yang dihadapi bukan lagi kolonialisme, tetapi globalisasi dan sekularisme, model politik Erdoğan menawarkan solusi yang menarik (Alkan, 2021).
Erdoğan memanfaatkan politik Islam moderat untuk memperluas peran agama dalam kehidupan publik di Turki, tetapi ia juga menjaga komitmennya terhadap prinsip-prinsip demokrasi. Ini merupakan aspek penting yang menjadikan pemikiran Erdoğan relevan di dunia Muslim modern. Banyak negara Muslim saat ini sedang mencari cara untuk mengintegrasikan Islam ke dalam politik tanpa harus mengorbankan demokrasi dan kebebasan individu. Pendekatan Erdoğan yang menekankan bahwa Islam dan demokrasi dapat hidup berdampingan telah menjadi inspirasi bagi banyak gerakan politik di negara-negara seperti Mesir, Tunisia, dan Malaysia, di mana tantangan serupa dihadapi (Kuru, 2020).
Selain itu, Erdoğan juga relevan dalam konteks kebangkitan politik Islam di dunia internasional. Sebagai pemimpin negara Muslim yang kuat, Erdoğan berusaha memperkuat posisi Turki sebagai pemimpin dunia Islam, baik melalui diplomasi maupun kebijakan luar negeri yang proaktif. Sikap Erdoğan yang sering kali berani dalam menentang kebijakan-kebijakan Barat yang dianggap merugikan dunia Muslim, seperti dalam konflik Palestina dan Suriah, memperkuat citranya sebagai pemimpin Muslim yang berkomitmen pada nilai-nilai Islam di kancah global. Ini menjadikan Erdoğan relevan bagi banyak gerakan politik Islam yang merasa bahwa dunia Muslim perlu lebih vokal dan aktif dalam memperjuangkan kepentingan umat Islam di arena internasional (Zubaida, 2019).
Perbedaan utama antara relevansi pemikiran Al-Afghani dan Erdoğan terletak pada pendekatan mereka terhadap perubahan politik. Al-Afghani mendorong kebangkitan umat Muslim melalui persatuan politik lintas negara dan perlawanan terhadap kolonialisme. Meskipun kolonialisme langsung sudah berakhir, tantangan yang dihadapi negara-negara Muslim saat ini sering kali dalam bentuk neokolonialisme, di mana kekuatan global masih memiliki pengaruh besar dalam ekonomi dan politik negara-negara berkembang. Dalam konteks ini, seruan Al-Afghani untuk melawan dominasi asing tetap relevan, terutama di negara-negara yang berusaha memperkuat kedaulatan mereka di tengah tekanan dari kekuatan global (Adams, 2018).
Di sisi lain, Erdoğan lebih berfokus pada pembangunan kekuatan politik domestik dan menjaga keseimbangan antara nilai-nilai Islam dan prinsip-prinsip demokrasi. Relevansi pemikiran Erdoğan terutama terlihat dalam bagaimana ia berhasil memanfaatkan politik Islam untuk mempertahankan identitas nasional Turki sambil tetap menjaga hubungan yang baik dengan dunia internasional. Di era globalisasi, di mana negara-negara Muslim harus berhadapan dengan tantangan modernitas, sekularisme, dan tekanan ekonomi global, pendekatan Erdoğan memberikan solusi yang pragmatis bagi negara-negara yang ingin mempertahankan identitas Islam mereka sambil tetap berpartisipasi dalam sistem global yang lebih besar (Kuru, 2020).
Di banyak negara Muslim saat ini, seperti Indonesia, Malaysia, dan Tunisia, pemikiran Al-Afghani dan Erdoğan terus menjadi landasan bagi banyak gerakan politik Islam. Di Indonesia, misalnya, pengaruh pemikiran Pan-Islamisme Al-Afghani masih terasa dalam gerakan-gerakan Islam yang menyerukan persatuan umat Muslim di tengah tantangan global. Sementara itu, model politik Islam moderat Erdoğan sering kali dijadikan referensi oleh banyak politisi di negara-negara Muslim yang ingin memadukan demokrasi dengan nilai-nilai Islam (Haddad, 2019).
Relevansi pemikiran kedua tokoh ini juga terlihat dalam diskusi tentang bagaimana negara-negara Muslim harus menghadapi tantangan global seperti sekularisme, demokrasi, dan hak asasi manusia. Al-Afghani berpendapat bahwa umat Muslim harus menolak dominasi asing dan menjaga identitas Islam mereka dengan kembali ke ajaran-ajaran Islam yang murni. Ini relevan di era modern di mana banyak negara Muslim berjuang untuk mempertahankan identitas keagamaan mereka di tengah arus globalisasi yang sering kali mempromosikan nilai-nilai sekuler. Erdoğan, di sisi lain, berpendapat bahwa Islam tidak perlu bertentangan dengan modernitas, dan bahwa negara-negara Muslim dapat mengintegrasikan nilai-nilai Islam ke dalam sistem politik modern tanpa harus meninggalkan demokrasi dan hak asasi manusia. Pendekatan ini relevan bagi negara-negara Muslim yang ingin tetap berpartisipasi dalam sistem global sambil mempertahankan identitas Islam mereka (Zubaida, 2019).
Meski berbeda dalam pendekatan, relevansi pemikiran Al-Afghani dan Erdoğan di era modern mencerminkan perdebatan yang lebih luas tentang bagaimana Islam dapat berperan dalam politik dan pembangunan negara. Di satu sisi, Al-Afghani menawarkan visi tentang kebangkitan umat Muslim melalui persatuan politik global dan perlawanan terhadap dominasi asing. Di sisi lain, Erdoğan menawarkan model politik yang lebih pragmatis, yang memadukan nilai-nilai Islam dengan prinsip-prinsip demokrasi dan modernitas. Kedua pendekatan ini tetap menjadi sumber inspirasi bagi banyak gerakan politik Islam di dunia Muslim saat ini, yang menghadapi tantangan serupa dalam hal menjaga identitas Islam mereka di tengah tekanan global (Alkan, 2021).
Secara keseluruhan, pemikiran Jamaluddin Al-Afghani dan Recep Tayyip Erdoğan terus relevan dalam konteks politik Islam modern karena mereka menawarkan solusi yang berbeda tetapi saling melengkapi bagi tantangan yang dihadapi oleh negara-negara Muslim di era globalisasi. Al-Afghani mengajarkan pentingnya persatuan dan perlawanan terhadap dominasi asing, sementara Erdoğan menekankan pentingnya integrasi Islam ke dalam politik modern yang didasarkan pada demokrasi. Kedua pemikiran ini tetap menjadi landasan penting dalam perdebatan politik Islam saat ini, terutama di negara-negara yang berusaha menavigasi tantangan antara modernitas dan identitas keagamaan.
Kritik dan Tantangan terhadap Pemikiran Keduanya
Kritik terhadap Al-Afghani
Pemikiran Pan-Islamisme yang diperkenalkan oleh Jamaluddin Al-Afghani menghadapi tantangan besar dalam penerapannya di era modern. Konsep Pan-Islamisme yang menekankan persatuan umat Muslim di bawah satu kekuatan politik global pada awalnya dimaksudkan sebagai respon terhadap kolonialisme Barat yang menindas dunia Islam. Al-Afghani percaya bahwa persatuan umat Muslim adalah satu-satunya cara untuk melawan dominasi Barat dan mengembalikan kejayaan dunia Islam. Namun, dalam realitas modern, penerapan Pan-Islamisme menghadapi berbagai hambatan yang kompleks, mulai dari perpecahan politik dan sektarian di dunia Muslim hingga tantangan dari sistem internasional yang didominasi oleh negara-bangsa (nation-state) (Lapidus, 2019; Voll, 2020).
Salah satu kritik utama terhadap gagasan Pan-Islamisme Al-Afghani adalah kesulitannya untuk diimplementasikan dalam konteks negara-bangsa modern. Setelah jatuhnya Kekhalifahan Usmaniyah pada tahun 1924, dunia Muslim terpecah menjadi negara-negara bangsa yang berdaulat, yang masing-masing memiliki kepentingan nasional dan politik yang berbeda. Konsep Pan-Islamisme yang diajukan Al-Afghani sulit diterapkan dalam sistem internasional saat ini, di mana kedaulatan nasional menjadi prinsip dasar hubungan antarnegara. Negara-negara Muslim yang ada saat ini, seperti Arab Saudi, Mesir, Turki, dan Iran, memiliki perbedaan kepentingan yang sering kali menimbulkan ketegangan politik di antara mereka, sehingga sulit bagi mereka untuk bersatu dalam kerangka Pan-Islamisme (Haddad, 2019).
Selain itu, perpecahan sektarian di dunia Muslim, terutama antara Sunni dan Syiah, menjadi hambatan besar bagi implementasi Pan-Islamisme. Al-Afghani sendiri mengakui pentingnya persatuan di antara Sunni dan Syiah untuk mewujudkan Pan-Islamisme, tetapi dalam kenyataannya, perbedaan teologis dan politik di antara kedua kelompok ini telah menyebabkan perpecahan yang mendalam di dunia Muslim. Konflik sektarian yang terjadi di Irak, Suriah, dan Yaman menunjukkan bahwa persatuan politik umat Muslim sulit dicapai karena adanya persaingan kekuasaan antara kelompok-kelompok tersebut. Kritik terhadap Pan-Islamisme Al-Afghani sering kali menyebut bahwa gagasan ini terlalu idealis dan tidak memperhitungkan realitas politik yang ada di dunia Muslim (Adams, 2018).
Lebih lanjut, tantangan lain terhadap penerapan Pan-Islamisme di era modern adalah pengaruh kekuatan global, terutama negara-negara Barat dan organisasi internasional seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Sistem internasional saat ini sangat berbeda dengan era kolonialisme ketika Al-Afghani hidup. Meskipun negara-negara Muslim tidak lagi berada di bawah penjajahan langsung, banyak dari mereka masih bergantung pada kekuatan ekonomi dan politik global yang didominasi oleh negara-negara Barat. Ketergantungan ekonomi pada bantuan internasional, investasi asing, dan perdagangan global membuat banyak negara Muslim sulit untuk bersatu dalam satu kekuatan politik yang independen. Kritik terhadap Pan-Islamisme menyatakan bahwa gagasan ini tidak realistis dalam menghadapi dinamika ekonomi global yang kompleks (Kuru, 2020).
Di sisi lain, peran nasionalisme yang kuat di negara-negara Muslim juga menjadi tantangan bagi Pan-Islamisme. Setelah runtuhnya Kekhalifahan Utsmaniyah, nasionalisme menjadi ideologi yang dominan di banyak negara Muslim, menggantikan ide persatuan Islam sebagai dasar politik. Pemimpin-pemimpin nasionalis seperti Mustafa Kemal Atatürk di Turki, Gamal Abdel Nasser di Mesir, dan Raja Faisal di Arab Saudi membangun negara mereka berdasarkan identitas nasional, bukan identitas Islam global. Nasionalisme ini memperkuat identitas bangsa-bangsa Muslim yang terpisah, sehingga gagasan Pan-Islamisme yang diajukan oleh Al-Afghani menjadi semakin sulit diterima. Bahkan, beberapa pemimpin Muslim melihat Pan-Islamisme sebagai ancaman terhadap kedaulatan nasional mereka (Alkan, 2021).
Selain kritik dari perspektif politik, Pan-Islamisme juga menghadapi tantangan ideologis dari dalam dunia Islam sendiri. Gagasan modernitas dan sekularisme telah berkembang pesat di dunia Muslim, terutama di negara-negara seperti Turki, Mesir, dan Tunisia, yang mengalami reformasi besar-besaran pada abad ke-20. Banyak intelektual Muslim modern mengkritik Pan-Islamisme sebagai gagasan yang tidak relevan dengan kebutuhan politik dan sosial umat Muslim saat ini. Mereka berpendapat bahwa umat Muslim harus fokus pada pembangunan negara yang kuat secara ekonomi dan sosial daripada mengejar cita-cita persatuan politik yang sulit dicapai. Dalam hal ini, Pan-Islamisme sering dianggap sebagai konsep yang usang dan tidak sesuai dengan realitas modern (Zubaida, 2019).
Namun, meskipun Pan-Islamisme menghadapi banyak kritik, gagasan ini tetap memiliki pengikut di dunia Muslim. Beberapa gerakan politik Islam modern, seperti Ikhwanul Muslimin di Mesir dan Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) di Turki, mengadopsi elemen-elemen dari Pan-Islamisme Al-Afghani dalam retorika politik mereka. Meskipun mereka tidak menyerukan persatuan politik global, mereka tetap menekankan pentingnya solidaritas umat Muslim dalam menghadapi tantangan global. Dalam konteks ini, Pan-Islamisme masih relevan sebagai gagasan yang mendorong umat Muslim untuk bersatu dalam perjuangan melawan ketidakadilan global, meskipun dalam bentuk yang lebih terbatas daripada yang dibayangkan oleh Al-Afghani (Kuru, 2020).
Sebagai tambahan, kritik terhadap Pan-Islamisme juga berkaitan dengan tantangan internal di banyak negara Muslim. Banyak negara Muslim saat ini menghadapi masalah domestik yang serius, seperti korupsi, ketidakstabilan politik, kemiskinan, dan pelanggaran hak asasi manusia. Dalam kondisi ini, gagasan persatuan global umat Muslim sering kali dianggap sebagai tujuan yang terlalu jauh dan tidak relevan dengan kebutuhan mendesak masyarakat Muslim. Kritik terhadap Al-Afghani menyatakan bahwa pemikirannya terlalu fokus pada musuh eksternal—kolonialisme Barat—sementara mengabaikan tantangan internal yang dihadapi oleh dunia Islam (Alkan, 2021).
Dalam beberapa dekade terakhir, muncul juga tantangan baru yang terkait dengan terorisme dan ekstremisme di dunia Muslim. Beberapa kelompok ekstremis, seperti Al-Qaeda dan ISIS, mengklaim memperjuangkan gagasan Pan-Islamisme dengan tujuan mendirikan kembali Kekhalifahan Islam. Namun, tindakan kekerasan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok ini justru merusak citra Pan-Islamisme dan menyebabkan banyak orang di dunia Muslim dan internasional merasa skeptis terhadap gagasan persatuan politik umat Muslim. Kelompok-kelompok ekstremis ini sering kali menyalahgunakan retorika Pan-Islamisme untuk membenarkan kekerasan mereka, yang bertentangan dengan visi Al-Afghani tentang persatuan politik yang damai dan inklusif (Haddad, 2019).
Secara keseluruhan, Pan-Islamisme Al-Afghani menghadapi tantangan yang signifikan dalam konteks modern. Meskipun gagasan ini muncul sebagai respon terhadap kolonialisme Barat, implementasinya di era negara-bangsa dan globalisasi telah terbukti sangat sulit. Kritik terhadap Pan-Islamisme mencakup berbagai aspek, mulai dari perpecahan sektarian di dunia Muslim hingga tantangan ekonomi dan politik yang dihadapi negara-negara Muslim dalam sistem internasional saat ini. Namun, gagasan Pan-Islamisme tetap relevan dalam beberapa konteks, terutama dalam retorika solidaritas Muslim global yang digunakan oleh berbagai gerakan politik Islam modern. Meskipun tidak realistis untuk mengharapkan persatuan politik umat Muslim dalam skala global, semangat persatuan dan solidaritas yang dianjurkan oleh Al-Afghani tetap menjadi inspirasi bagi banyak orang yang ingin melihat dunia Muslim yang lebih kuat dan bersatu.
Kritik terhadap Erdoğan
Recep Tayyip Erdoğan adalah salah satu tokoh politik paling berpengaruh di Turki dan dunia Islam modern. Namun, sejak awal kepemimpinannya, kebijakannya telah menuai kritik, terutama terkait isu otoritarianisme dan hubungannya dengan demokrasi. Erdoğan dikenal dengan gaya kepemimpinannya yang kuat dan berani, tetapi juga dituduh oleh para pengkritiknya telah mengikis prinsip-prinsip demokrasi di Turki. Salah satu kritik terbesar yang dialamatkan kepadanya adalah tuduhan bahwa Erdoğan telah mengubah Turki dari negara yang relatif demokratis menjadi negara dengan ciri-ciri otoritarian, terutama setelah percobaan kudeta yang gagal pada tahun 2016 (Esen & Gumuscu, 2017; Yilmaz & Bashirov, 2018).
Salah satu titik kontroversial dalam kebijakan Erdoğan adalah penggabungan kekuasaan eksekutif melalui perubahan konstitusional. Pada tahun 2017, Turki mengadakan referendum yang menghasilkan perubahan sistem pemerintahan dari parlementer menjadi presidensial. Dalam sistem presidensial yang baru, presiden memiliki kekuasaan yang jauh lebih besar, termasuk kewenangan untuk mengeluarkan dekrit, mengangkat hakim, dan membubarkan parlemen. Banyak pengamat politik menganggap perubahan ini sebagai langkah yang mengarah pada otoritarianisme, di mana kekuasaan terpusat pada satu individu tanpa adanya kontrol dan keseimbangan yang memadai (Kuru, 2020). Dalam konteks ini, kebijakan Erdoğan dituduh merusak fondasi demokrasi Turki yang telah dibangun sejak jatuhnya Kekhalifahan Utsmaniyah dan pembentukan Republik oleh Mustafa Kemal Atatürk pada tahun 1923.
Kritik lainnya terkait dengan kontrol yang semakin ketat atas media dan kebebasan berpendapat. Selama beberapa tahun terakhir, pemerintahan Erdoğan dituduh mengekang kebebasan pers dengan menutup berbagai media yang kritis terhadap pemerintah, menangkap jurnalis, dan melakukan pengawasan ketat terhadap konten media sosial. Laporan dari berbagai organisasi internasional, seperti Reporters Without Borders, menunjukkan bahwa kebebasan pers di Turki telah menurun drastis di bawah pemerintahan Erdoğan. Turki saat ini sering digambarkan sebagai salah satu negara dengan tingkat penindasan tertinggi terhadap jurnalis. Langkah-langkah ini dianggap sebagai bagian dari strategi Erdoğan untuk mempertahankan kekuasaannya dan menghindari kritik terhadap kebijakannya (Alkan, 2021).
Selain kebebasan pers, kebijakan Erdoğan juga mendapatkan kritik terkait tindakan keras terhadap oposisi politik. Setelah percobaan kudeta tahun 2016, Erdoğan melakukan pembersihan besar-besaran terhadap orang-orang yang dianggap terlibat atau bersimpati kepada kelompok-kelompok yang mendukung kudeta. Ribuan orang, termasuk politisi, pejabat militer, guru, dan akademisi, ditahan atau diberhentikan dari pekerjaan mereka. Kelompok-kelompok hak asasi manusia mengkritik langkah-langkah ini sebagai bentuk penyalahgunaan kekuasaan, di mana Erdoğan menggunakan percobaan kudeta sebagai alasan untuk mengeliminasi lawan politik dan memperkuat kekuasaannya. Banyak dari mereka yang ditahan atau diberhentikan tidak diberi kesempatan yang adil untuk membela diri, yang menunjukkan bahwa penegakan hukum di bawah pemerintahan Erdoğan telah menjadi instrumen politik (Zubaida, 2019).
Dalam konteks demokrasi, Erdoğan sering kali mempromosikan Turki sebagai negara yang demokratis dan sejahtera, tetapi para kritikus melihat adanya kontradiksi antara retorikanya dan kebijakan-kebijakannya. Meskipun Erdoğan telah memenangkan beberapa pemilihan umum dengan mayoritas suara, para pengkritiknya menuduh bahwa kemenangan ini sebagian besar disebabkan oleh kontrol yang ketat terhadap media, manipulasi sistem pemilu, dan tekanan terhadap oposisi. Sebagai contoh, dalam pemilu tahun 2018, ada laporan yang menunjukkan bahwa partai oposisi dan para kandidat independen mengalami berbagai kesulitan untuk melakukan kampanye, termasuk penangkapan beberapa kandidat dan penutupan akses terhadap media bagi oposisi. Ini menimbulkan pertanyaan tentang sejauh mana proses demokrasi di Turki masih berlangsung secara bebas dan adil di bawah kepemimpinan Erdoğan (Kuru, 2020).
Selain itu, kebijakan Erdoğan juga dikritik karena cenderung memusatkan kekuasaan pada dirinya sendiri, yang bertentangan dengan prinsip demokrasi yang mengharuskan adanya pemisahan kekuasaan dan checks and balances. Sejak transisi ke sistem presidensial, Erdoğan telah memperluas kekuasaan eksekutifnya, sementara kekuasaan legislatif dan yudikatif semakin dilemahkan. Banyak pengamat menilai bahwa ini merupakan ciri khas dari rezim otoriter, di mana kekuasaan negara terpusat pada satu individu atau kelompok yang dominan. Dalam konteks ini, Turki sering kali dibandingkan dengan negara-negara lain yang telah mengalami kemunduran demokrasi, seperti Rusia dan Hongaria, di mana pemimpin menggunakan kekuasaan eksekutif untuk mempertahankan kendali politik mereka dan menghambat oposisi (Alkan, 2021).
Meskipun demikian, Erdoğan tetap populer di kalangan pendukungnya, yang melihatnya sebagai pemimpin kuat yang telah membawa stabilitas dan kemajuan ekonomi bagi Turki. Bagi banyak orang, terutama di kalangan kelas pekerja dan masyarakat konservatif, Erdoğan adalah sosok yang memperjuangkan kepentingan nasional Turki di tengah tekanan dari dunia internasional. Dalam banyak pidatonya, Erdoğan menekankan bahwa kebijakan-kebijakan yang ia ambil diperlukan untuk melindungi negara dari ancaman internal dan eksternal, termasuk terorisme, kekuatan asing, dan kelompok-kelompok yang ingin merusak stabilitas negara. Pendukung Erdoğan sering kali memuji keberaniannya dalam menghadapi tekanan dari negara-negara Barat dan organisasi internasional yang mengkritik kebijakan domestiknya (Kuru, 2020).
Di sisi lain, kebijakan Erdoğan juga mendapatkan kritik dalam konteks kebijakan luar negeri, terutama terkait hubungannya dengan negara-negara Barat dan Uni Eropa. Di awal kepemimpinannya, Erdoğan berusaha mendekatkan Turki dengan Uni Eropa, bahkan mendorong aplikasi Turki untuk menjadi anggota Uni Eropa. Namun, seiring dengan waktu, hubungan antara Turki dan Uni Eropa semakin memburuk, terutama setelah pembersihan politik pasca-kudeta 2016. Banyak negara-negara Eropa mengkritik Erdoğan atas pelanggaran hak asasi manusia dan otoritarianisme di Turki, yang menyebabkan hubungan diplomatik menjadi tegang. Kritik ini juga mencerminkan kekhawatiran tentang masa depan demokrasi di Turki di bawah pemerintahan Erdoğan, di mana nilai-nilai demokrasi tampaknya semakin ditinggalkan (Zubaida, 2019).
Kontroversi lain seputar otoritarianisme Erdoğan adalah caranya menggunakan agama sebagai alat politik untuk memperkuat basis dukungan di kalangan konservatif Muslim. Erdoğan sering kali menekankan identitas Islam dalam kebijakan-kebijakan domestiknya, seperti pencabutan larangan berjilbab di lembaga-lembaga publik dan peningkatan peran agama dalam pendidikan. Namun, para pengkritik menuduh bahwa Erdoğan menggunakan agama untuk memanipulasi dukungan politik, bukan sebagai komitmen ideologis yang tulus. Langkah-langkah ini dianggap sebagai bagian dari strategi Erdoğan untuk memperkuat kendali politiknya dengan memainkan kartu identitas Islam di hadapan masyarakat konservatif, yang semakin menjauhkan Turki dari prinsip-prinsip sekularisme yang menjadi fondasi negara sejak era Atatürk (Alkan, 2021).
Namun, meskipun Erdoğan mendapat banyak kritik atas kecenderungan otoritarianismenya, ia tetap memiliki pengaruh yang besar di dunia Islam. Banyak pemimpin Muslim dan gerakan politik di berbagai negara melihat Erdoğan sebagai contoh bagaimana Islam dan politik modern dapat bersinergi. Di beberapa negara Muslim, seperti Mesir dan Tunisia, Erdoğan dipandang sebagai sosok yang berhasil memperkuat identitas Islam dalam pemerintahan tanpa sepenuhnya meninggalkan prinsip-prinsip demokrasi. Hal ini membuat kebijakan Erdoğan tetap relevan dalam perdebatan tentang peran Islam dalam politik di dunia Muslim, meskipun kritik terhadap otoritarianismenya terus mengemuka (Zubaida, 2019).
Secara keseluruhan, kebijakan otoritarianisme Erdoğan menimbulkan kontroversi besar, terutama terkait hubungan antara Islam, demokrasi, dan kekuasaan politik. Para pengkritiknya menuduh bahwa Erdoğan telah mengikis prinsip-prinsip demokrasi di Turki melalui konsolidasi kekuasaan, pengawasan terhadap media, dan penindasan terhadap oposisi. Di sisi lain, para pendukungnya melihat Erdoğan sebagai pemimpin yang kuat dan visioner yang telah membawa stabilitas dan kemajuan bagi Turki di tengah tekanan internasional. Kritik terhadap kebijakan Erdoğan ini menunjukkan tantangan besar yang dihadapi oleh negara-negara Muslim modern dalam menyeimbangkan antara nilai-nilai demokrasi dan kebutuhan akan stabilitas politik di era globalisasi.
Tantangan Global Terhadap Politik Islam
Tantangan global terhadap politik Islam semakin kompleks di era modern, terutama di tengah tekanan global yang meningkat terhadap politik berbasis agama dan pengaruh modernisasi yang semakin meluas. Negara-negara dengan mayoritas Muslim, termasuk negara-negara yang menerapkan politik Islam secara formal atau informal, sering kali berada dalam situasi sulit antara mempertahankan identitas agama dan beradaptasi dengan tuntutan modernisasi, globalisasi, dan tata kelola internasional yang sekuler. Tekanan global ini tidak hanya berasal dari kekuatan ekonomi dan politik Barat, tetapi juga dari perkembangan internal di dunia Muslim sendiri, termasuk meningkatnya tuntutan terhadap demokratisasi, hak asasi manusia, dan partisipasi dalam sistem ekonomi global yang lebih liberal (Volpi, 2020; Cesari, 2018).
Salah satu tantangan utama yang dihadapi politik Islam dalam konteks global adalah tekanan terhadap agama yang digunakan sebagai landasan politik. Negara-negara Barat yang dominan dalam tatanan internasional cenderung mendukung pemisahan antara agama dan negara, yang bertentangan dengan prinsip politik Islam yang mengintegrasikan agama ke dalam sistem pemerintahan. Dalam banyak kasus, tekanan ini diterjemahkan ke dalam bentuk dukungan terhadap gerakan-gerakan sekuler di dunia Muslim, baik melalui kebijakan luar negeri, bantuan ekonomi, atau tekanan diplomatik. Di beberapa negara Muslim, tekanan untuk mengadopsi tata kelola yang lebih sekuler datang dalam bentuk tuntutan untuk menghormati hak asasi manusia, kebebasan beragama, dan kebebasan berekspresi, yang sering kali dilihat oleh kelompok politik Islam sebagai tantangan terhadap hukum syariah dan nilai-nilai tradisional Islam (Kuru, 2020).
Tekanan global ini juga sering kali didorong oleh dinamika geopolitik, terutama dalam hubungan antara dunia Muslim dan kekuatan besar seperti Amerika Serikat, Uni Eropa, dan organisasi internasional seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Misalnya, selama beberapa dekade terakhir, Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya telah mendukung gerakan demokrasi di negara-negara Muslim seperti Irak, Mesir, dan Afghanistan, sering kali dengan harapan bahwa perubahan rezim akan menghasilkan sistem pemerintahan yang lebih demokratis dan sekuler. Namun, upaya-upaya ini sering kali menghasilkan ketidakstabilan politik yang memperburuk konflik antara kelompok-kelompok Islamis dan sekuler di negara-negara tersebut. Di Irak, misalnya, invasi Amerika Serikat pada tahun 2003 yang berujung pada penggulingan Saddam Hussein tidak hanya menciptakan kekosongan kekuasaan, tetapi juga memicu konflik sektarian yang dalam, memperburuk ketegangan antara Sunni dan Syiah, serta menghidupkan kembali kelompok-kelompok ekstremis seperti Al-Qaeda dan ISIS (Haddad, 2019).
Pengaruh modernisasi juga menjadi tantangan besar bagi politik Islam. Modernisasi, yang sering kali dikaitkan dengan sekularisme, individualisme, dan ekonomi pasar bebas, telah menjadi kekuatan global yang mempengaruhi hampir semua negara, termasuk negara-negara dengan mayoritas Muslim. Modernisasi sering kali dipandang oleh banyak intelektual Muslim sebagai ancaman terhadap nilai-nilai tradisional Islam, terutama karena modernisasi cenderung mendorong pemisahan antara agama dan politik. Sebagai contoh, di banyak negara Muslim, modernisasi telah menyebabkan perubahan dalam peran keluarga, sistem pendidikan, dan gaya hidup, yang sering kali tidak sejalan dengan nilai-nilai Islam tradisional (Alkan, 2021).
Di beberapa negara, modernisasi juga membawa tantangan dalam bentuk tuntutan untuk liberalisasi ekonomi, yang sering kali memaksa pemerintah untuk menyesuaikan kebijakan ekonomi mereka dengan tuntutan global. Dalam beberapa kasus, ini berarti penerapan reformasi pasar bebas yang dapat bertentangan dengan prinsip-prinsip keadilan sosial dalam Islam. Di negara-negara seperti Mesir dan Tunisia, tekanan untuk melakukan reformasi ekonomi yang didorong oleh institusi internasional seperti Dana Moneter Internasional (IMF) sering kali menghadapi perlawanan dari kelompok-kelompok Islamis yang menentang liberalisasi ekonomi dan privatisasi, karena dianggap merusak kesejahteraan sosial dan menambah kesenjangan ekonomi (Zubaida, 2019).
Tekanan lain datang dalam bentuk globalisasi media dan teknologi informasi. Di era digital saat ini, ide-ide dan informasi dari seluruh dunia dapat dengan mudah diakses oleh masyarakat Muslim, yang sering kali menimbulkan tantangan baru bagi pemerintah yang menerapkan politik berbasis agama. Internet dan media sosial telah membuka ruang bagi debat publik yang lebih luas tentang peran agama dalam politik, dan dalam beberapa kasus, platform-platform ini digunakan oleh kelompok-kelompok oposisi untuk menantang otoritas politik yang berbasis agama. Contoh paling menonjol dari fenomena ini adalah Arab Spring pada tahun 2011, di mana media sosial memainkan peran penting dalam mengorganisir protes massal terhadap rezim-rezim otoriter di Timur Tengah, termasuk di negara-negara yang mempraktikkan politik Islam (Kuru, 2020).
Tekanan global ini juga mencerminkan perdebatan internal di dunia Muslim tentang bagaimana seharusnya Islam diterapkan dalam politik. Sementara beberapa kelompok Islamis mendukung penerapan penuh hukum syariah dalam pemerintahan, yang lain berpendapat bahwa Islam harus diadaptasi untuk menghadapi tantangan modernitas dan globalisasi. Debat ini sering kali mencerminkan perbedaan antara kelompok-kelompok Islamis yang lebih konservatif dan kelompok-kelompok reformis yang mendukung Islam moderat yang kompatibel dengan demokrasi dan hak asasi manusia. Di Turki, misalnya, Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) yang dipimpin oleh Recep Tayyip Erdoğan telah mempromosikan model politik Islam moderat yang menekankan kompatibilitas antara Islam dan demokrasi. Namun, model ini juga mendapat kritik dari kelompok-kelompok yang menuduh Erdoğan semakin otoriter dan mengikis prinsip-prinsip demokrasi di Turki (Alkan, 2021).
Selain itu, tantangan global terhadap politik Islam juga muncul dalam bentuk kebijakan luar negeri negara-negara Muslim yang sering kali harus menyeimbangkan antara kepentingan nasional dan solidaritas agama. Misalnya, negara-negara seperti Arab Saudi, Iran, dan Turki sering kali harus menyeimbangkan hubungan mereka dengan negara-negara Muslim lain dengan kepentingan geopolitik yang lebih luas, termasuk hubungan dengan negara-negara Barat. Konflik di Suriah, Yaman, dan Palestina menunjukkan bahwa meskipun ada solidaritas agama di antara negara-negara Muslim, kepentingan politik dan ekonomi sering kali lebih dominan dalam kebijakan luar negeri mereka. Dalam konteks ini, politik Islam sering kali menghadapi dilema antara memperjuangkan kepentingan agama dan mempertahankan hubungan dengan kekuatan global yang sekuler (Haddad, 2019).
Tantangan global terhadap politik Islam juga semakin kompleks dengan meningkatnya ketegangan antara kelompok-kelompok Islamis dan kekuatan-kekuatan internasional yang menganggap politik Islam sebagai ancaman terhadap stabilitas regional dan global. Setelah serangan terorisme 11 September 2001, kebijakan luar negeri banyak negara Barat menjadi lebih skeptis terhadap gerakan politik Islam, yang sering kali diasosiasikan dengan ekstremisme dan terorisme. Ini menyebabkan meningkatnya tekanan terhadap negara-negara yang mendukung atau dianggap mendukung gerakan-gerakan politik Islam radikal. Di negara-negara seperti Arab Saudi dan Mesir, pemerintah menghadapi dilema dalam menyeimbangkan antara menjaga hubungan baik dengan negara-negara Barat dan menanggapi tuntutan domestik dari kelompok-kelompok Islamis yang menginginkan penerapan hukum syariah secara penuh (Kuru, 2020).
Namun, meskipun politik Islam menghadapi banyak tantangan global, gerakan-gerakan politik Islam tetap bertahan dan bahkan berkembang di beberapa bagian dunia Muslim. Salah satu alasan mengapa politik Islam tetap relevan adalah karena banyak umat Muslim melihat Islam sebagai sumber identitas dan moralitas yang penting dalam menghadapi ketidakpastian global. Di tengah ketidakstabilan politik dan ekonomi, banyak orang mencari jawaban dalam agama, dan politik Islam sering kali menawarkan visi alternatif untuk mengatasi masalah-masalah sosial dan ekonomi yang dihadapi oleh banyak negara Muslim. Di negara-negara seperti Pakistan, Indonesia, dan Malaysia, politik Islam terus memainkan peran penting dalam pemilu dan kebijakan pemerintah, meskipun sering kali dalam bentuk yang lebih moderat (Alkan, 2021).
Dalam konteks ini, tantangan global terhadap politik Islam tidak hanya menjadi ancaman, tetapi juga membuka ruang bagi transformasi dan adaptasi. Di beberapa negara, gerakan politik Islam telah berusaha mengadaptasi ide-ide mereka untuk lebih sesuai dengan realitas global dan tuntutan demokrasi modern. Misalnya, di Tunisia, Partai Ennahda yang berbasis Islam telah mengadopsi pendekatan yang lebih inklusif terhadap politik, yang menekankan pada pluralisme dan partisipasi demokratis, sementara tetap mempertahankan nilai-nilai Islam sebagai landasan moralitas dalam pemerintahan. Pendekatan ini menunjukkan bahwa politik Islam dapat beradaptasi dan berkembang meskipun dihadapkan pada tekanan global (Zubaida, 2019).
Secara keseluruhan, tantangan global terhadap politik Islam mencakup berbagai aspek, mulai dari tekanan untuk memisahkan agama dari politik, hingga pengaruh modernisasi dan globalisasi. Meskipun banyak tantangan ini berasal dari luar dunia Muslim, ada juga dinamika internal yang memperumit hubungan antara Islam dan politik. Gerakan politik Islam menghadapi tekanan untuk beradaptasi dengan dunia modern yang semakin terhubung secara global, tetapi pada saat yang sama, mereka juga terus mencari cara untuk mempertahankan identitas agama di tengah perubahan global. Masa depan politik Islam di era modern akan sangat bergantung pada kemampuan gerakan-gerakan ini untuk menavigasi tantangan-tantangan global sambil tetap mempertahankan relevansi mereka di dunia Muslim.
Kesimpulan
Jamaluddin Al-Afghani dan Recep Tayyip Erdoğan adalah dua tokoh berpengaruh yang memberikan sumbangsih besar terhadap perkembangan politik Islam, meskipun mereka hidup dalam konteks sejarah yang berbeda. Al-Afghani, sebagai pelopor modernisme Islam, menekankan pentingnya persatuan umat Muslim untuk melawan dominasi kolonial Barat. Melalui gagasan Pan-Islamisme, ia mengusulkan bahwa hanya dengan bersatu, dunia Islam bisa bangkit kembali dan mengembalikan kejayaannya. Sementara itu, Erdoğan, yang memimpin Turki di era modern, telah membangun jembatan antara Islam dan demokrasi, serta menghadapi tantangan global dengan pendekatan pragmatis yang memadukan nilai-nilai Islam dengan sistem politik modern. Keduanya, meski berbeda pendekatan, berbagi visi bahwa Islam harus memainkan peran penting dalam kehidupan politik, baik di tingkat nasional maupun global.
Pemikiran politik Islam yang diperkenalkan oleh kedua tokoh ini tetap relevan dalam menjawab tantangan-tantangan politik global modern. Dalam dunia yang semakin terhubung secara global dan dipengaruhi oleh tekanan sekularisasi, politik Islam menghadapi tantangan yang tidak kecil. Namun, melalui gagasan Al-Afghani tentang kebangkitan umat Muslim dan persatuan politik, serta model kepemimpinan Erdoğan yang berusaha menyeimbangkan antara demokrasi dan identitas Islam, politik Islam terus berkembang dan beradaptasi dengan tuntutan zaman. Al-Afghani mengajarkan pentingnya kebangkitan intelektual dan politik sebagai cara untuk melawan kekuatan asing, sementara Erdoğan memberikan contoh bagaimana negara Muslim dapat tetap berpartisipasi dalam sistem global tanpa harus mengorbankan nilai-nilai agama.
Relevansi pemikiran kedua tokoh ini di masa depan juga sangat signifikan. Politik Islam terus menjadi bagian integral dari dinamika politik di banyak negara Muslim, baik melalui gerakan politik yang menuntut penerapan hukum syariah maupun partai politik yang berusaha mengintegrasikan Islam ke dalam kebijakan negara. Tantangan yang dihadapi oleh dunia Islam saat ini, seperti meningkatnya tekanan global terhadap politik berbasis agama, pengaruh modernisasi, dan ketegangan antara kelompok Islamis dan sekuler, menuntut adanya solusi yang seimbang. Di sini, pemikiran Al-Afghani dan Erdoğan dapat menjadi pedoman dalam mencari jalan tengah yang memungkinkan Islam tetap relevan dalam dunia modern tanpa harus mengorbankan prinsip-prinsip fundamentalnya.
Masa depan politik Islam akan sangat bergantung pada bagaimana gerakan-gerakan politik Islam beradaptasi dengan perubahan global dan domestik. Dalam konteks globalisasi yang semakin cepat, serta meningkatnya peran media dan teknologi informasi, politik Islam akan terus menghadapi tantangan baru yang memerlukan inovasi dan fleksibilitas. Pemikiran politik Islam yang inklusif, seperti yang diajukan oleh Erdoğan, atau semangat persatuan yang ditekankan oleh Al-Afghani, akan menjadi landasan penting bagi gerakan politik Islam di masa depan. Kedua tokoh ini telah menunjukkan bahwa meskipun politik Islam berhadapan dengan tantangan dari modernitas dan globalisasi, ia tetap memiliki kapasitas untuk bertransformasi dan tetap menjadi kekuatan politik yang signifikan di dunia Muslim.
Discussion about this post