Mendekati akhir masa jabatannya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) semakin sering membuat keputusan yang memicu perdebatan publik. Aktivitasnya yang tampak intens di penghujung masa kepemimpinan menimbulkan berbagai spekulasi, terutama di tengah persiapan transisi kepada Prabowo Subianto yang telah terpilih sebagai presiden berikutnya. Langkah-langkah Jokowi, seperti perombakan kabinet dan pembentukan lembaga baru, dianggap lebih dari sekadar menyelesaikan tugas, melainkan mencerminkan ambisi untuk tetap memegang kendali atas dinamika politik Indonesia.
Salah satu keputusan paling menonjol adalah pencopotan beberapa menteri yang dianggap tidak mendukung koalisi Prabowo. Contohnya adalah Yasonna Laoly dari PDIP, yang dicopot dan digantikan oleh Supratman Andi Agtas dari Partai Gerindra. Keputusan ini menimbulkan kesan bahwa Jokowi sedang menata ulang kabinetnya untuk memudahkan jalannya pemerintahan baru. Namun, langkah tersebut justru mengundang kritik karena dianggap sebagai intervensi yang berlebihan dalam politik yang seharusnya menjadi otoritas presiden terpilih.
Langkah ini semakin memperkuat anggapan bahwa Jokowi tidak hanya mempersiapkan transisi kekuasaan, tetapi juga ingin memastikan kendali politik tetap berada di tangannya. Bukannya memberikan keleluasaan bagi Prabowo untuk membentuk kabinet sesuai dengan visinya, Jokowi tampak ingin menyiapkan fondasi politik yang sulit diubah oleh pemerintahan mendatang. Ini menimbulkan pertanyaan: Apakah Jokowi benar-benar ingin membantu memfasilitasi transisi, ataukah ia sedang memastikan warisan politiknya tetap bertahan?
Selain perombakan kabinet, Jokowi juga mengambil langkah-langkah seperti membentuk lembaga baru, seperti Badan Gizi Nasional dan Kantor Komunikasi Kepresidenan. Keputusan ini menambah kesan bahwa Jokowi sedang menyiapkan jejak politik yang sulit diabaikan oleh penerusnya. Lembaga-lembaga baru ini kemungkinan akan menghambat presiden terpilih, Prabowo, dalam menjalankan kebijakan-kebijakan yang berbeda dari pemerintahan sebelumnya. Hal ini berpotensi menciptakan tantangan besar bagi Prabowo dalam beberapa bulan pertama masa kepemimpinannya.
Langkah Jokowi yang paling banyak menuai kontroversi adalah percepatan proses pemilihan komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pada Mei 2024, Jokowi membentuk panitia seleksi komisioner KPK, meskipun masa jabatan komisioner yang ada baru akan berakhir pada Desember 2024. Banyak yang berpendapat bahwa ini seharusnya menjadi hak Prabowo sebagai presiden terpilih. Keputusan Jokowi ini dianggap melanggar etika politik karena seharusnya pemilihan tersebut berada di bawah otoritas presiden yang baru.
Banyak pihak menduga bahwa langkah Jokowi ini bertujuan untuk menjaga agar KPK tetap berada di bawah pengaruhnya, bahkan setelah ia meninggalkan kursi kepresidenan. Selama dua periode kepemimpinannya, Jokowi dihadapkan pada berbagai tuduhan penyimpangan. Dalam situasi ini, Jokowi tampaknya ingin memastikan bahwa KPK tidak akan menjadi ancaman bagi dirinya atau keluarganya di masa depan.
Dalam dunia politik, pemimpin yang sudah berada di penghujung masa jabatan biasanya mengurangi intervensi strategis untuk memberikan ruang bagi pemimpin yang baru. Tradisi ini penting untuk menjaga stabilitas politik dan menghormati proses transisi kekuasaan yang sehat. Namun, dalam kasus Jokowi, tampaknya prinsip ini tidak menjadi acuan. Sebaliknya, ia terus mengambil langkah-langkah yang memiliki dampak strategis, bahkan di saat kekuasaannya hampir habis.
Jokowi tampaknya tidak ingin sepenuhnya menyerahkan kendali politik kepada penggantinya. Beberapa pengamat melihat ini sebagai bentuk politik warisan, di mana seorang pemimpin berusaha meninggalkan jejak atau agenda politik yang akan terus berdampak setelah masa jabatannya berakhir. Dalam hal ini, Jokowi mungkin berusaha memastikan kebijakan-kebijakannya tetap bertahan, meskipun ia tidak lagi berada di tampuk kekuasaan.
Jika langkah-langkah Jokowi terus berlanjut, ada kekhawatiran bahwa transisi kekuasaan tidak akan berjalan dengan mulus. Sebagai pemimpin yang telah memimpin Indonesia selama dua periode, Jokowi diharapkan mampu menunjukkan kebesaran hati dalam menghadapi masa transisinya. Sebuah transisi yang damai dan teratur merupakan bagian penting dari demokrasi yang sehat, di mana pemimpin lama memberikan ruang bagi presiden terpilih untuk menjalankan pemerintahannya sesuai dengan visi dan misinya.
Tindakan-tindakan Jokowi di masa transisi ini juga menimbulkan kekhawatiran akan konsolidasi kekuasaan, di mana seorang pemimpin menggunakan sisa kekuasaannya untuk memperkuat cengkeramannya terhadap aspek-aspek penting dalam pemerintahan. Ini bisa dilihat sebagai bentuk strategi untuk memastikan bahwa warisan politiknya tidak akan mudah dibongkar oleh pemerintahan baru. Meskipun langkah ini mungkin diambil dengan niat baik, dampaknya bisa mempersulit pemerintahan Prabowo dalam menegakkan visi baru yang mungkin berbeda dari pemerintahan Jokowi.
Ke depan, keputusan-keputusan Jokowi selama beberapa bulan terakhir masa jabatannya akan memainkan peran penting dalam menentukan bagaimana ia akan dikenang. Jika ia terus terlibat dalam dinamika politik dan membuat keputusan-keputusan strategis yang mempengaruhi pemerintahan baru, ia bisa dikenang sebagai pemimpin yang tidak siap melepaskan pengaruhnya. Namun, jika ia memilih untuk mengelola transisi dengan bijaksana, Jokowi akan dikenang sebagai presiden yang menghormati proses demokrasi dan mampu menyerahkan kekuasaan dengan martabat.
Reputasi Jokowi di masa mendatang sangat bergantung pada langkah-langkah yang diambilnya di penghujung masa kepemimpinannya. Apakah ia akan dikenang sebagai sosok yang mampu menjaga integritas proses transisi, atau sebagai pemimpin yang terlalu khawatir akan kehilangan pengaruh? Jawaban atas pertanyaan ini akan terbentuk seiring waktu dan tergantung pada kebijaksanaan Jokowi dalam menyikapi sisa masa jabatannya (***)
Discussion about this post