Dalam beberapa waktu terakhir, wacana untuk mengembalikan Ujian Nasional (UN) sebagai bagian dari sistem pendidikan di Indonesia kembali menjadi sorotan. UN yang sempat dihapuskan kini muncul lagi sebagai opsi untuk menilai kompetensi siswa secara nasional. Namun, perlu dipertimbangkan apakah pengembalian UN merupakan langkah maju atau justru mundur dalam pendidikan nasional.
Penghapusan UN sebelumnya menandai pergeseran paradigma dalam pendidikan di Indonesia, dari sekadar penilaian berbasis angka ke pendekatan yang lebih inklusif dan berpusat pada siswa. Paradigma baru ini mendorong siswa untuk belajar dengan motivasi dari dalam dirinya, tidak hanya karena tuntutan lulus ujian, tetapi karena dorongan untuk mengembangkan diri dan keterampilan yang relevan di dunia nyata. Pendekatan ini mendorong siswa belajar tanpa paksaan dan dalam suasana yang menyenangkan, sehingga mereka lebih mampu memahami dan mengaplikasikan pengetahuan secara mandiri.
Pada dasarnya, penilaian dalam pendidikan bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai perkembangan siswa, bukan hanya untuk menentukan kelulusan. Penilaian idealnya berfungsi sebagai alat untuk memahami kekuatan dan kelemahan siswa, serta sebagai dasar bagi para pendidik untuk memberikan bimbingan lebih lanjut. Dengan demikian, penilaian yang ideal tidak hanya mengandalkan satu metode atau satu ujian, tetapi memperhatikan berbagai aspek, seperti kemampuan berpikir kritis, partisipasi, keterampilan sosial, serta kemampuan siswa dalam memecahkan masalah nyata. Pendekatan multi-aspek ini memberikan hasil penilaian yang lebih adil dan seimbang, serta mendorong siswa untuk mengembangkan seluruh potensi mereka.
Memahami paradigma penilaian ini penting bagi semua pihak dalam dunia pendidikan, baik itu pemerintah, sekolah, maupun siswa dan orang tua. Kembali pada UN tanpa memperhatikan perubahan paradigma dapat mengakibatkan kemunduran, di mana siswa hanya belajar untuk ujian tanpa benar-benar memahami materi. UN yang berfokus pada hasil akhirnya saja bisa menimbulkan kecemasan berlebihan, tekanan, dan ketidakjujuran dalam proses belajar mengajar. Ini bertentangan dengan semangat pendidikan yang sebenarnya, yaitu menumbuhkan minat belajar dan kemandirian dalam belajar pada setiap siswa.
Penting bagi sistem pendidikan untuk menyadari bahwa penilaian bukan hanya alat untuk mengevaluasi, tetapi juga untuk memotivasi dan mengembangkan bakat dan minat siswa. Jika UN harus diberlakukan kembali, maka sebaiknya ia tidak menjadi satu-satunya alat untuk menentukan kelulusan, melainkan sebagai bagian dari evaluasi yang lebih luas dan menyeluruh. Dengan paradigma ini, UN berfungsi sebagai alat pemetaan yang memberikan data tentang kondisi pendidikan nasional, tetapi tidak menekan siswa dan sekolah hanya untuk mengejar angka.
Oleh karena itu, pemahaman akan paradigma penilaian yang baru ini sangat penting bagi sistem pendidikan kita. Hanya dengan cara inilah, kita dapat memastikan bahwa setiap siswa mendapatkan pengalaman belajar yang bermakna dan pendidikan yang membentuk mereka menjadi pribadi yang berintegritas dan siap menghadapi tantangan di masa depan (***)
Discussion about this post