
Jakarta, radarhukum.id – Bendungan Lau Simeme, yang diresmikan oleh Presiden RI Joko Widodo pada 16 Oktober 2024, masih menyisakan permasalahan bagi warga terdampak pembangunan proyek tersebut. Bendungan seluas 480,5 hektare yang menjadi bagian dari Proyek Strategis Nasional (PSN) di Kecamatan Sibiru-Biru, Kabupaten Deli Serdang, Provinsi Sumatera Utara, dinilai tidak memberikan keadilan bagi masyarakat setempat selaku pemilik lahan.
Dalam rilis yang diterima radarhukum.id, Sabtu (14/12/2024), warga yang terdampak langsung dari proyek ini menyuarakan keluhan mereka atas ketidakadilan terkait ganti rugi lahan yang dinilai jauh dari layak.
Muliana Pinem, S.H., selaku perwakilan warga Kecamatan Sibiru-Biru, menyebutkan bahwa pembangunan Bendungan Lau Simeme telah berdampak langsung pada enam desa, yakni Desa Kuala Dekah, Desa Sari Laba Jahe, Desa Rumah Gerat, Desa Mardinding Julu, Desa Siria-ria, dan Desa Penen.
“Kami sebagai korban terus berjuang untuk mendapatkan perhatian dan keadilan hukum terkait proses ganti rugi tanah yang tidak layak. Sampai saat ini, lahan kami yang diambil untuk keperluan bendungan belum dibayarkan dengan adil,” ujar Muliana.
Ia menambahkan, pihaknya telah menempuh berbagai cara untuk mencari keadilan, termasuk menggelar aksi damai di Gedung DPR RI dan Istana Presiden, Jakarta, pada 10 dan 11 Desember 2024.
“Kami datang ke Jakarta bersama 100 orang perwakilan dari lima desa dengan menyewa dua bus, menempuh perjalanan darat selama tiga hari dua malam. Perjuangan ini kami lakukan karena harga ganti rugi tanah kami hanya dihargai Rp15.000 per meter, jauh dari harga pasaran yang mencapai Rp400.000 per meter,” ungkapnya.
Dalam aksi tersebut, warga menuntut pemerintah, khususnya Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming, untuk mengambil langkah tegas dalam memberantas praktik mafia tanah yang dianggap telah merugikan masyarakat.
“Kami berharap pemerintah dapat memberantas mafia tanah yang telah merampas hak-hak kami. Penentuan harga ganti rugi yang variatif, mulai dari Rp15.000 hingga Rp200.000 per meter, sama sekali tidak mencerminkan rasa keadilan,” tegas Muliana.
Lebih lanjut, warga juga menyoroti pengambilalihan tanah makam yang dianggap sebagai situs budaya, namun hingga kini belum mendapatkan ganti rugi yang layak.
“Aksi damai ini murni perjuangan hak kami sebagai warga negara. Kami meminta pemerintah dan DPR RI untuk memberikan keadilan berdasarkan sila kelima Pancasila, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia,” pungkasnya.
Discussion about this post