Batam, Radarhukum.id — Teriakan kemanusiaan bergema dari jantung Kota Batam. Seorang perempuan muda, Intan (20), yang merantau dari Indonesia Timur untuk mengadu nasib sebagai asisten rumah tangga (ART), mengalami kekerasan yang tak terbayangkan.
Tak hanya disiksa secara fisik dan psikis, Intan bahkan dipaksa meminum air septiktank dan makan kotoran anjing oleh majikannya di kawasan elite Sukajadi, Batam
Peristiwa memilukan ini tak hanya mengguncang hati masyarakat, tetapi juga membangkitkan kemarahan tokoh-tokoh adat dan masyarakat lintas etnis di Batam.
Yang Mulia Dato' Wira Setia Utama Raja Muhammad Amin, Ketua Lembaga Adat Melayu (LAM) Provinsi Kepri Kota Batam, menyatakan geram dan menuntut keadilan ditegakkan sekeras-kerasnya.
“Tak seorang pun boleh menyiksa saudaranya sesama manusia di Bumi Melayu ini. Rasulullah memuliakan Bilal bin Rabah, seorang budak yang sendalnya saja terdengar di Surga. Lalu bagaimana kita bisa membiarkan perlakuan biadab seperti ini terjadi di tengah kita?” tegasnya kepada wartawan.
Dato' Raja Muhammad Amin menekankan, kekerasan terhadap manusia, apalagi terhadap seorang perempuan muda yang datang mencari penghidupan, adalah penghinaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan adat Melayu itu sendiri.
“Bumi Melayu ini dijunjung dengan marwah, bukan dinodai dengan kelaliman. Saya mendesak aparat hukum bertindak tegas. Hukum pelaku seberat-beratnya,” serunya, di Batam, Selasa (24/6/2025).
Disiksa, Dipaksa Makan Kotoran Anjing, dan Tak Pernah Digaji
Kasus ini mencuat setelah komunitas Flobamora menerima laporan warga dan menggerebek rumah tempat Intan bekerja, Minggu (22/6/2025).
Saat ditemukan, kondisi Intan sangat mengenaskan: tubuh lemah, wajah membengkak, dipenuhi luka-luka, dan mengalami trauma berat. Ia langsung dirujuk ke RS Elisabeth Batam untuk perawatan intensif.
“Intan sempat harus transfusi darah karena kekurangan gizi dan darah. Luka-lukanya kombinasi lama dan baru,” ungkap Romo Chrisanctus Paschalis Saturnus, perwakilan keluarga yang mendampingi korban.
Menurut Romo Paschal, Intan bekerja selama setahun tanpa pernah menerima gaji sepeser pun. Gajinya senilai Rp1,8 juta per bulan dipotong untuk kebutuhan rumah tangga majikannya, termasuk biaya listrik, sembako, hingga perawatan anjing peliharaan.
Tak hanya itu, korban juga mengalami penghinaan verbal, dipanggil dengan nama-nama hewan, dan disuruh menyakiti dirinya sendiri. Lebih tragis lagi, saudari kandung korban yang tinggal di rumah itu turut dipaksa ikut menyiksa karena mendapat tekanan dari sang majikan.
“Karena sudah tidak tahan, Intan nekat meminjam ponsel tetangga untuk mengirim foto kondisinya ke kampung. Dari situ kami bergerak,” kata Romo Paschal.
Polresta Barelang telah menetapkan dua tersangka dalam kasus ini: sang majikan berinisial R, dan satu ART lain berinisial M yang turut memukul korban karena tekanan.
“Tersangka R menyiksa korban karena geram melihat anjing peliharaannya terluka akibat kelalaian korban. Ia memukul korban dengan raket nyamuk dan memaksanya memakan kotoran anjing. Sementara tersangka M dipaksa turut menyiksa karena takut,” terang AKP Debby Tri Andrestian, Kasat Reskrim Polresta Barelang.
Keduanya kini dijerat Pasal 44 Ayat 2 UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Polisi masih mendalami kemungkinan pelaku lain.
Menurut Raja M Amin, Kasus Intan adalah luka kolektif bagi Batam, kota multikultural yang seharusnya menjadi rumah bagi semua perantau.
“Kita tidak bisa memilih di mana kita dilahirkan, tapi kita bisa memilih untuk memperlakukan sesama dengan hormat. Kalau bukan kita yang menjaga marwah negeri ini, siapa lagi?” pungkas Dato' Raja Muhammad Amin. (***)
Discussion about this post