Lebak, Radarhukum.id – Sekitar 62 ribu Keluarga Penerima Manfaat (KPM) di Kabupaten Lebak dinonaktifkan dari berbagai program bantuan sosial, seperti Program Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan (PBI-JK), Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT), dan Program Keluarga Harapan (PKH). Hal ini menyisakan kebingungan di tengah masyarakat, yang sebelumnya terdaftar sebagai penerima manfaat.
Penonaktifan ini didasarkan pada Surat Keputusan Kementerian Sosial (Kemensos) Nomor 80 Tahun 2025 serta Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 4 Tahun 2025 tentang Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN). Salah satu alasan yang menjadi sorotan adalah pemeringkatan status kesejahteraan berdasarkan sistem desil, yang banyak tidak dipahami masyarakat.
Jefri, staf bidang sosial di Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Lebak, menjelaskan bahwa klasifikasi desil—dari satu (1) hingga sepuluh (10)—didasarkan pada hasil verifikasi data yang dilakukan oleh pendamping PKH, lalu diolah oleh Badan Pusat Statistik Nasional.
“BPS menggunakan metode Proxy Means Test (PMT) untuk mengelompokkan tingkat kesejahteraan masyarakat. Metode ini dinilai lebih komprehensif dibanding metode lama yang hanya mengacu pada tingkat pengeluaran,” ujarnya, Kamis (3/7/2025).
Ia menambahkan bahwa dalam metode PMT, selain pengeluaran, sejumlah variabel turut dipertimbangkan seperti kepemilikan aset, jenis tempat tinggal, luas bangunan, hingga fasilitas sanitasi rumah tangga.
“Variabel-variabel itu yang menentukan posisi desil seseorang, dan dari sanalah penilaian kelayakan menerima bantuan ditentukan,” jelasnya.
Sementara itu, saat media ini mencoba mengonfirmasi ke Kantor Koordinator PKH Kabupaten Lebak, Koordinator Kabupaten PKH, Mukhtarudin, tidak berhasil ditemui. Salah satu Koordinator Kecamatan (Korcam) PKH yang enggan disebut namanya membenarkan keresahan masyarakat akibat penonaktifan tersebut.
“Pak Mukhtar sedang bertugas ke wilayah Lebak Selatan. Memang keresahan ini terjadi karena hasil pemeringkatan desil dan masa kepesertaan KPM,” ujarnya.
Ia menjelaskan bahwa para pendamping PKH hanya menjalankan instruksi pusat untuk melakukan verifikasi dan validasi data berdasarkan data dari Kemensos, khususnya dalam proses transisi dari basis data lama, DTKS, ke sistem baru DTSEN.
“Kami tidak memiliki wewenang untuk mengubah data. Tugas kami hanya melakukan ground check atau verifikasi lapangan. Tapi memang, survei yang kami masukkan ke aplikasi SIGMA kadang mengubah status desil KPM,” terangnya.
Lebih lanjut, ia menyatakan bahwa banyak masyarakat menyangka penonaktifan terjadi karena kesalahan pendamping. Padahal, lanjutnya, pendamping tidak memiliki otoritas penuh atas perubahan data yang masuk dalam sistem.
“Masyarakat menganggap pendamping yang merubah status mereka, padahal kami hanya mencatat data sesuai fakta lapangan. Namun hasilnya tetap bisa mengubah status desil. Kami pun merasa bingung, karena yang kami laporkan adalah data riil,” tutupnya.
Pihak pendamping mengaku masih menunggu instruksi lebih lanjut dari Kementerian Sosial mengenai tindak lanjut program bantuan tersebut.
Discussion about this post