Cerpen oleh: Ifanko P.
Dia dikenal sebagai sosok yang santun sejak belia. Ia tumbuh dalam lingkungan keluarga berada, terhormat, dan agamis yang membentuknya menjadi seorang pemuda berbudi.
Saat menempuh pendidikan di kampus, dia orator ulung, aktivis gerakan mahasiswa yang cukup diperhitungkan, piawai berpidato serta menggerakkan massa dengan kata-kata yang memikat.
Singkatnya, Bahar adalah pemuda yang baik. Tak hanya dihormati karena kebaikan dan ilmunya, ia juga aktif dalam berbagai organisasi masyarakat di daerahnya, selalu muncul di muka membantu masyarakat. Wajahnya yang teduh, dengan sorot mata penuh ketulusan, membuat orang-orang percaya bahwa dia pantas sebagai sosok pemimpin. Mulailah dia digadang-gadang maju sebagai calon legislatif. Bahkan, beberapa partai besar memberi laluan kepadanya.
Hinga pada tahun pesta demokrasi yang tepat, ia mencoba peruntungan lewat jalur politik, mendaftarkan diri sebagai calon legislatif. segala upaya dia lakukan agar menang. Nasib mujur, ketika itu, meski baru pertama kali maju nyaleg, kemenangan mutlak diraihnya.
Melihat rekam jejak dan sepak terjangnya selama ini, masyarakat meyakini bahwa Bahar adalah pilihan terbaik, sosok yang mampu membawa perubahan dengan kepedulian tinggi dan nilai-nilai religi yang kokoh. Selain sosoknya yang memang sesuai di hati masyarakat, partai yang mengusungnya pula turut mendongkrak elektabilitasnya. Tidak terasa, periode pertama Bahar di legislatif tuntas dengan kesan dan citra yang amat positif
Ketika periode keduanya tiba, tak ada yang meragukan kemampuan Bahar. Ia lantas terpilih kembali. Suara yang ia peroleh justru semakin tinggi. Selama menjabat, melalui berbagai program dan lewat dana aspirasi, ia membangun banyak fasilitas di daerah pemilihannya. Jalan-jalan diperbaiki, jembatan, lapangan olahraga dibangun, serta bantuan-bantuan lainnya yang membuat masyarakat semakin yakin bahwa Bahar adalah pemimpin yang amanah.
Namun, di balik senyum kharismatik yang terpampang di baliho-baliho besar, sebetulnya ada sisi lain yang tak diketahui banyak orang. Di rumah Bahar sedikit berlain, dengan yang tampak. Meski tak terlalu fatal, namun dia sama sekali berbeda dari yang dikenal oleh orang banyak. Tentu istrinya yang paling tahu. Bila tampak di luar amat penyabar, Di rumah Bahar agak ketus, namun tetap bertanggungjawab. Ketika muncul dimana mana dengan penuh senyum, periang, dan suka menghibur orang. Dirumah dia orang serius dan dingin. Itu sedikit perbedaannya. Pada istrinya, Sinta, ia bicara seperlunya saja.
Namun, hal tersebut bukan apa-apa. Itu masih tahap wajar, karena bagi sebagian orang citra diri di hadapan publik itu amat penting. Para politisi memang mesti pandai memoles diri di hadapan orang banyak buat mencari simpati, untuk menjaga nama baik, menunjukkan kesan positif dan sebagainya.
Bukan perbedaan sikapnya antara di rumah dengan di hadapan publik itu yang menjadi soal. Ada hal lain yang lebih serius. Segala sesuatunya benar-benar berbeda sejak suatu pagi. Ketika Bahar mendapati hal aneh yang amat mengusik nalarnya.
Pagi itu, ia berdiri di depan cermin kamar mandi. Mata masih mengantuk. Tapi yang tampak dalam bayangan cermin membuatnya terbelalak seketika. Telinganya berubah panjang, berat, dan menggantung seperti telinga binatang. Hidungnya menjorok ke depan, membulat, mengilap. Rahangnya membesar. Bahar menatap pantulan itu, lalu menyentuh wajahnya. Kulitnya masih kulit manusia, tapi bentuknya sudah bukan wajah manusia. Dia kaget bukan kepalang.
“Sinta! Ke sini, cepat!”
Istrinya datang tergesa. Bahar menunjuk wajahnya. “Lihat ini, lihat wajah mas. Ada yang aneh, kan?”
Sinta menatapnya. Lama. “Tidak ada yang berubah, mas. Wajah mas seperti biasa, memangnya ada yang sakit atau gimana?”
“Tak ada yang sakit. Tapi coba lihat baik-baik.”
“Tidak ada apa-apa, seperti wajah biasanya, apa yang mas rasakan?” timpal istrinya heran.
Bahar tercekat. Ketika ia menatap cermin lagi, kepala babi itu telah lenyap. Wajahnya kembali seperti semula. Dia tidak melanjutkan cerita kepada istrinya. Tapi ketakutan itu tertinggal, membekas dalam benaknya.
Keesokan paginya, hal serupa terulang. Bahkan lebih jelas. Ia bisa melihat gurat-gurat kasar di kulitnya, kilau minyak di ujung hidung, bahkan bisa mendengar dengus napas berat khas babi hutan. Ia gemetar. Tapi saat Sinta datang, lagi-lagi ia tidak melihat perbedaan apa-apa pada suaminya itu.
Tiga kali dalam seminggu Bahar menemui psikolog berbeda. Bahkan dia sempat pergi ke dukun. Tapi tak satu pun yang bisa menjelaskan kenapa wajah babi itu terus muncul di cermin tiap pagi, selama beberapa menit, lalu hilang perlahan.
Semua itu membuat Bahar semakin gelisah. Bahkan setiap malam ia dihantui mimpi-mimpi. Dalam tidurnya, ia melihat perempuan-perempuan muda seksi yang dulu ia sewa dan panggil diam-diam dalam perjalanan dinas. Mereka menertawakannya dengan suara serak dan mencemoohnya dengan kata-kata yang mengiris harga dirinya.
Ia kadang juga bermimpi melihat uang-uang proyek, uang rakyat, komisi-komisi haram yang pernah diterimanya melayang di sekelilingnya seperti daun gugur, lalu berubah menjadi abu dan menutup wajahnya. Bahkan, dalam satu mimpi, ia terperangkap di dalam kandang besi. Dari luar, orang-orang memandangnya jijik seperti binatang kotor yang patut dijauhi.
Namun, dunia nyata tetap berjalan seolah tak ada yang terjadi. Orang lain tidak melihat ada perubahan apa pun pada diri Bahar. Ia tetap hadir di rapat-rapat penting, memimpin sidang, menyampaikan pidato tentang moral, integritas, dan keadilan dan segala macamnya. Orang-orang tetap mencium tangannya, memujinya sebagai pemimpin idaman.
Hingga suatu hari, Bahar menerima undangan dari seorang menteri yang juga petinggi partai untuk menghadiri jamuan khusus di hotel berbintang. Bahar datang mengenakan setelan terbaiknya, berusaha menjaga wibawa meski dadanya terasa penuh sesak oleh gangguan yang terjadi belakangan ini.
**
Ruang jamuan itu mewah dan megah, tentu tamunya juga orang-orang penting dan orang-orang hebat. Saat tiba di lokasi, Ia langsung menuju kursi yang diarahkan. Tentu saja, bersebelahan dengan tamu terhormat lain. Tapi sesaat setelah ia duduk, tubuhnya membeku. Pemandangan di hadapannya seperti mimpi buruk yang menjelma nyata.
Para undangan anggota dewan, bupati, wali kota, para menteri, penegak hukum, hingga pengusaha banyak sekali dari yang hadir memiliki kepala yang sama yaitu kepala babi. Mereka berbadan manusia, bersetelan jas rapi, dengan dasi-dasi mewah. Mereka tertawa, bercakap ringan, membahas proyek, urusan pribadi, hingga urusan kenegaraan dengan tenang, seolah tak ada yang ganjil.
Salah satu dari mereka, seorang menteri yang terkenal tajam dan vokal mendekati dan menepuk bahu Bahar. “Hei Bahar. Kita sama sekarang,” ujarnya, tersenyum lebar dengan moncong merah muda. “Selamat datang.” Dia kemudian tertawa terkekeh-kekeh, ditimpali oleh yang lain.
Bahar ingin bangkit, ingin lari. Tapi tubuhnya terlalu berat. Ia melihat sekeliling. Yang berwajah manusia tidak menyadari ada yang aneh. Namun tampaknya yang berkepala babi saling mengetahui satu sama lain. Ruangan dipenuhi orang-orang berkepala babi, beberapa menteri dan penegak hukum yang amat dia hormati ternyata berkepala babi yang lebih menyeramkan, taring mereka panjang seperti babi hutan.
Seolah dalam ruangan itu disesaki orang dengan kepala-kepala babi yang licik dan lihai, yang doyan berkubang lumpur kotor, tapi pandai membawakan diri. Doyan memakan apa saja dari meja rakyat, yang bisa mencium aroma uang dari jarak bermil-mil.
Dan Bahar sadar, cermin selama ini bukan ilusi belaka. Cermin telah menunjukkan jati dirinya yang sejati. Ia bukan Bahar yang dulu. Ia kini bagian dari kawanan manusia berkepala babi.
Di luar, di pertemuan-pertemuan, masyarakat masih bersorak menyebut namanya. Baliho besar menampilkan wajahnya yang teduh, dengan slogan “Bersih, Amanah, Peduli Rakyat”. Mereka menyambutnya dengan senyum dan harapan. Mereka tak tahu apa yang ada di balik kulit itu.
Tapi Bahar tahu.
Setiap kali ia menatap cermin, ia tahu.
Ia bukan lagi orang betulan.
Discussion about this post