Oleh: Adji Prakoso
Biaya honorarium advokat merupakan tanggung jawab pribadi dari pihak yang menunjuknya sebagai kuasa hukum dalam suatu penyelesaian perkara perdata dan bukanlah tanggung jawab pihak lawannya, meskipun kalah dalam putusan perdata.
Dalam penyelesaian sengketa perdata di pengadilan, dimana subjek hukum dapat menunjuk seorang atau lebih advokat, sebagai kuasa hukum. Hak untuk menunjuk kuasa hukum sendiri, dijamin peraturan perundang-undangan, sebagaimana ketentuan Pasal 123 Ayat 1 HIR/Pasal 147 Ayat 1 Rbg.
Pemberian kuasa khusus kepada seorang advokat atau lebih, teknisnya merujuk kepada ketentuan SEMA Nomor 6 Tahun 1994 tentang Surat Kuasa Khusus dan SEMA Nomor 7 Tahun 2012 tentang Rumusan Hukum Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan.
Selain itu, pemberian kuasa khusus dapat menggunakan akta dibawah tangan dan tidak harus melalui akta autentik, sebagaimana ketentuan Pasal 1793 KUHPerdata. Kemudian menurut ketentuan Pasal 1800 KUHPerdata, advokat yang diberikan kuasa khusus guna mewakili kepentingan pemberi kuasa di pengadilan, berkewajiban menyelesaikan tugasnya sampai berakhirnya kuasa dan tidak dilaksanakan tugas yang diperjanjikan dalam pemberian kuasa, maka advokat penerima kuasa dapat dibebankan segala biaya, kerugian dan bunga yang timbul.
Hal tersebut, selaras kewajiban advokat untuk melaksanakan isi dari pemberian kuasa khusus yang diberikan oleh kliennya dan mengabaikannya, termasuk tindakan dilarang dan dapat diberikan sanksi oleh dewan kehormatan organisasi profesi advokat, sebagaimana ketentuan Pasal 6 Huruf a dan Pasal 7 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat.
Namun, penunjukan kuasa khusus untuk mewakili penyelesaian sengketa perdata di pengadilan, umumnya tidak dilakukan secara cuma-cuma. Advokat yang ditunjuk sebagai penerima kuasa, berhak mendapatkan honorarium.
Pihak penanggung honorarium advokat, dalam penyelesaian perkara perdata adalah pemberi kuasa itu sendiri. Besarnya nominal honorarium, ditetapkan secara wajar dan berdasarkan persetujuan bersama antara advokat dengan kliennya, sesuai ketentuan Pasal 21 Ayat 1 dan 2 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat.
Praktek penyelesaian sengketa perdata di pengadilan, tidak sedikit ditemukan dalil pembebanan biaya ganti kerugian yang ditujukan kepada tergugat, dalam gugatan, memasukan biaya honorarium advokat.
Apakah sah secara hukum pembebanan honorarium advokat yang ditunjuk penggugat, sebagai biaya ganti kerugian yang dibebankan kepada tergugat? Guna menjawab persoalan tersebut, penulis akan menguraikan kaidah hukum Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 218 K/Pdt/1952 tanggal 2 Februari 1956, yang menjadi landmark decision dan dapat diakses melalui Kompilasi Kaidah Hukum Putusan MA RI Hukum Acara Perdata Masa Setengah Abad (M. Ali Boediarto, 2006; 184)
Merujuk kaidah hukum pertimbangan Putusan MA RI dimaksud, tidak terdapat ketentuan hukum dalam hukum acara perdata (HIR/Rbg), yang mewajibkan subjek hukum berperkara, meminta bantuan dari advokat. Sehingga, honorarium advokat tidak dapat dibebankan kepada pihak lawan.
Pertimbangan Putusan MA RI Nomor 218 K/Pdt/1952, juga diikuti oleh berbagai Putusan lainnya, seperti Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 3557 K/Pdt/2015 tanggal 29 Maret 2016.
Dengan demikian, secara tegas biaya honorarium advokat merupakan tanggung jawab pribadi dari pihak yang menunjuknya sebagai kuasa hukum dalam suatu penyelesaian perkara perdata dan bukanlah tanggung jawab pihak lawannya, meskipun kalah dalam putusan perdata.
Semoga ulasan kaidah hukum landmark decision dimaksud, dapat menjadi referensi bagi para hakim dalam menangani perkara perdata, yang memohonkan honorarium advokat ditetapkan sebagai bagian dari ganti kerugian dan menjadi tambahan pengetahuan bagi para pembaca lainnya. (Marinews)
Discussion about this post