Lucu juga ya kalau dipikir-pikir. Di negeri ini, ada profesi yang tetap digaji meski tidak bekerja: jadi anggota DPR nonaktif. Statusnya berhenti sementara, tapi rekening masih terus terisi. Kalau rakyat biasa sih, nonaktif itu artinya langsung waswas mikirin uang kontrakan.
Fraksi Nasdem mencoba bikin gebrakan dengan bilang, “Stop gaji dan tunjangan Sahroni–Nafa Urbach!” Kedengarannya heroik, meski kita semua tahu perjuangan menghentikan aliran tunjangan di Senayan ibarat mencoba menguras kolam renang dengan sendok. Semangatnya bagus, tapi realitanya… yah, kita tunggu saja siapa yang lebih keras: desakan partai atau kenyamanan dompet.
Masalahnya ada di aturan DPR yang memang manis-manis getir. Anggota nonaktif masih boleh menerima gaji penuh. Jadi kalau ditanya, apa bedanya anggota DPR aktif dengan nonaktif? Jawabannya simpel: aktif bisa selfie di ruang sidang, nonaktif bisa selfie di rumah—tapi sama-sama digaji.
Kalau begitu, enak sekali jadi anggota DPR. Rakyat yang protes malah harus kerja lembur demi bayar cicilan, sementara wakilnya bisa santai menikmati tunjangan komunikasi. Ironis, bukan? Yang komunikasi saja sudah bikin gaduh, malah tetap dapat tunjangan komunikasi.
Dari sini terlihat, yang butuh direstorasi bukan hanya moral partai, tapi juga logika aturan. Kalau nonaktif saja masih dapat fasilitas, mungkin ke depan ada inovasi baru: “anggota DPR tidur” tetap dapat uang makan, “anggota DPR jalan-jalan” tetap dapat tunjangan transport.
Maka, mari kita akhiri lawakan ini. Nonaktif itu harusnya artinya berhenti bekerja, dan berhenti bekerja ya berhenti digaji. Kalau DPR mau dihormati rakyat, mulailah dengan hal sederhana: jangan jadi profesi yang enaknya cuma di Senayan, tapi bebannya ditanggung seluruh Indonesia (***)



























Discussion about this post