Oleh: Ifanko Putra
Kasus pemerkosaan terhadap anak di bawah umur cukup tinggi di Indonesia. KemenPPA mencatat, kasus kekerasan seksual terhadap anak mencapai 9.588 kasus pada 2022. Sedangkan pada tahun 2021 terdapat 4.162 kasus. Hal ini menunjukan penikatan kasus yang cukup signifikan.
Pemerkosaan terhadap anak ini tidak saja menghancurkan secara fisik, tetapi juga mengganggu psikis mereka dalam jangka waktu yang panjang bahkan bisa seumur hidup.
Kondisi ini diperparah lagi jika pemerkosaan itu menyebabkan terjadinya kehamilan. Selain mempengaruhi korban pemerkosaan, juga berpotensi besar membawa pengaruh buruk terhadap kesehatan dan tumbuh kembang calon bayi yang dikandungnya.
Lantas, muncul pertanyaan, apakah korban pemerkosaan dapat melakukan aborsi terhadap kandungannya?
Aborsi sendiri termasuk tindakan ilegal di Indonesia. Hal ini sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 346, 347 dan 348 Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berbunyi:
Pasal 346 KUHP: Seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
Pasal 347 KUHP: Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita tanpa persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.
Pasal 348 KUHP: Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita dengan persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan.
Namun, ada pengecualian dalam tindakan aborsi. Hal ini tertuang dalam Undang- Undang Nomor 36 Tahun 2009, pasal 75 ayat 2.
Menurut Pasal 75 ayat 1, bahwa setiap orang dilarang melakukan aborsi.
Dalam pasal 75 ayat 2 disebutkan, “Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan berdasarkan:
a. Indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetic berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan; atau
Kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan.”
Berdasarkan pada UU tersebut, maka kondisi larangan aborsi dapat dikecualikan jika kehamilan terjadi akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis terhadap korban perkosaan.
Dalam situasi ini, dapat berlaku asas hukum Lex Specialis derogate Lex Generali, yakni hukum yang bersifat khusus akan mengesampingkan hukum yang bersifat umum. Sehingga, aturan larangan aborsi sebagaimana tertuang dalam Pasal 346, 347 dan 348 dapat dikesampingan oleh Pasal 75 ayat (2) UU Kesehatan.
Namun, tindakan aborsi tersebut tidak sembarangan dilakukan, karena ada batas dan aturan yang telah ditetapkan
Aborsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 hanya dapat dilakukan bila:
a. sebelum kehamilan berumur 6 (enam) minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir, kecuali dalam hal kedaruratan medis;
b. oleh tenaga kesehatan yang memiliki keterampilan dan kewenangan yang memiliki sertifikat yang ditetapkan oleh menteri;
c. dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan;
d. dengan izin suami, kecuali korban perkosaan;
e. penyedia layanan kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Menteri.
Jika tindakan aborsi dilakukan diluar ketentuan yang disebutkan diatas, maka tindakan aborsi akan jatuth kepada perbuatan pidana. Dan akan diterapkan pasal 346, 347 dan 348 KUHP.
Yang lebih pelik lagi adalah misalnya Jika masa kehamilan diketahui sudah lebih dari 3 bulan karena berbagai sebab, sehingga tidak boleh lagi untuk dilakukan aborsi sesuai hukum yang berlaku. Yang dapat dilakukan adalah melakukan pendampingan secara intensif dan secara serius kepada korban perkosaan hingga anaknya lahir. Setelah anaknya lahir diberi opsi agar anak tersebut dirawat oleh negara.
Selain dari hal tersebut, sejauh mana implementasi atau penerapan hukum ini di lapangan, memang perlu dikaji lagi secara komprehensif, mengingat besarnya dampak dikemudian hari yang ditimbulkan oleh kasus ini.
Discussion about this post