Oleh: Ifanko Putra
Mungkin pembaca pernah menyaksikan atau mendengar ini: Oknum anggota dewan dan pejabat pemerintah daerah (Pemda) diam-diam “bagi-bagi proyek.” Mirisnya proyek yang dikerjakan kadangkala spek dan mutunya diakali pula untuk meraup keuntungan besar.
Harta kekayaan oknum pejabat meningkat drastis secara tidak wajar.
Anggaran bocor di mana-mana namun tidak terpantau aparat penegak hukum.
Di satu instansi tertentu kerap diisi oleh beberapa orang yang masih memiliki hubungan kerabat. Pelayanan publik asal-asalan dan tak sesuai standar.
Oknum Aparatur Sipil Negara (ASN) asyik ngopi di kedai kopi saat jam kerja. Rombongan pegawai meninggalkan pekerjaan demi menghadiri hajatan sejawat mereka saat jam kerja.
Ketika berhadapan dengan masyarakat, pejabatnya kadang seolah-olah sudah seperti raja kecil di daerah, merasa berkuasa, dan memandang rendah rakyat jelata. Kendaraan milik pemerintah/negara leluasa dipakai untuk urusan pribadi, ada pula yang diakali dengan mengganti warna plat, bahkan dipakai oleh anak pejabat untuk pacaran.
Serta berbagai contoh lainnya yang tidak bisa disebut satu per satu.
Salah satu, beberapa, atau semua poin di atas dapat dijumpai, khususnya di daerah yang minim sorotan oleh Pers dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Lebih parah lagi jika lembaga legislatif dan eksektifnya kompak bak paduan suara, sehingga tidak ada fungsi pengawasan.
Sebagian masyarakat tidak mau tau karena tidak paham persoalan, sebagian lain tau yang dilihatnya pelanggaran tetapi tidak berani bersuara karena enggan berurusan dengan ‘orang penting'. Banyak juga masyarakat yang belum memahami tupoksinya yang bisa melakukan pengawasan atau bahkan ada yang merasa statusnya lebih rendah sehingga enggan pula bersuara jika ada pelanggaran.
Hal inilah yang memupuk Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN) di daerah. Kurangnya disiplin dan moral pejabat serta rendahnya pengawasan serta pemahaman masyarakat membuat perkara di atas menjadi langgeng.
Maaf, perlu sekali para pejabat, ASN dan yang bekerja di instansi pemerintahan lainnya, untuk tidak lupa bahwa tuan dan puan diberi gaji dan segala macam fasilitas dari hasil pajak masyarakat.
Gaji tuan dan puan sebagian besar berasal dari masyarakat, termasuk dari hasil titik peluh buruh yang dipotong gajinya untuk pajak, hasil keringat petani dan nelayan yang membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), membeli barang dikenai PPN dan lainnya. Jangankan menyeleweng, merasa angkuh sedikitpun tentu tidaklah patut.
Jabatan dan pekerjaan yang tuan dan puan kerjakan adalah amanah yang harus dijalankan dengan baik dan bersih. Semuanya akan diminta pertanggungjawabannya di hadapan Tuhan yang maha kuasa kelak. Tentu saja diantara yang tidak baik, masih banyak sekali para pejabat publik yang jujur dan lurus
Betapa kita mengidam-idamkan mental pejabat sekarang seperti banyak tokoh negarawan terdahulu.
Tengoklah Bung Hatta misalnya, alih-alih mau korupsi, tokoh bersahaja itu sama sekali tidak mau memakai fasilitas negara untuk kepentingan pribadi.
Ketika anaknya Gemala menempuh pendidikan di Sidney, Australia, suatu ketika pada bulan Maret 1975 ia ingin bersurat kepada ayahnya, namun sayangnya dia kehabisan amplop. Gemala terpaksa menggunakan amplop milik Konsulat Jenderal.
Tidak lama kemudian Gemala mendapat surat balasan dari ayahnya yang diantara isinya Bung Hatta menegur Gemala karena memakai fasilitas negara untuk urusan privat.
“Ada satu yang ayah mau peringatkan kepada Gemala. Kalau menulis surat kepada ayah dan lain-lainnya, janganlah dipakai kertas Konsulat Jenderal RI. Surat-surat Gemala kan privat, bukan surat dinas. Jadi tidak baik pakai kertas Konsulat,” tulis Hatta.
Hatta juga tidak membolehkan keluarganya menaiki mobil dinas, bahkan untuk sekedar menumpangkan anaknya. Bung Hatta juga tidak mau berhaji memakai uang negara, beliau naik haji dengan dana pribadi, serta banyak sekali keteladanan integritas yang ditunjukan oleh sosok satu ini.
Sejarah akan mencatat kelakuan kita hari ini dan dibaca oleh orang-orang yang akan datang, jika luput dari pantauan manusia, yang pasti malaikat jelas mencatat kelakuan kita untuk kemudian dipertanggungjawabkan kelak.
Bagaimana pula seharusnya dengan masyarakat?
Sebagai masyarakat, seharusnya kita bisa berperan aktif memantau tindak tanduk pejabat publik di daerah masing-masing yang berkaitan dengan tupoksinya sebagai pejabat publik itu sendiri. Masyarakat dapat melaporkan apabila melihat terjadi pelanggaran. Baik itu soal disiplin ASN, dugaan korupsi atau pelanggaran pelayanan publik.
Diantaranya, masyarakat bisa membuat laporan ke kantor Ombudsman setempat tentu saja dengan memiliki data atau bukti. Ombudsman adalah lembaga negara yang mempunyai kewenangan mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik. Selain melalui Ombudsman, banyak sekali cara untuk melaporkan pelanggaran, apalagi di zaman teknologi informasi yang berkembang pesat seperti sekarang, tinggal cari saja di internet mana saluran yang pas untuk melakukan pengaduan sesuai dengan pelanggan yang ditemukan.
Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Pengaduan Pelayanan Publik Pasal 1 ayat 8, pengaduan adalah penyampaian keluhan yang disampaikan pengadu kepada pengelola pengaduan pelayanan publik atas pelayanan pelaksana yang tidak sesuai dengan standar pelayanan, atau pengabaian kewajiban dan/atau pelanggaran larangan oleh penyelenggara. Peran pengawasan masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik Pasal 35 ayat (3) huruf a.
Masyarakat jangan terlalu mendewakan pejabat. Jangan merasa status lebih rendah, apalagi takut. Jika mendapati penyelewengan, jangan segan-segan untuk melaporkan. Keberlangsungan pemerintahan yang bersih, selain karena kesadaran moral pemangku kepentingan diperlukan pula peran pengawasan masyarakat.
Discussion about this post