Oleh: Ifanko Putra
Sebagai salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia, nama Muhammadiyah tentu amat familiar dalam lingkup kehidupan kita sehari-hari. Organisasi Islam yang didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan pada 18 November 1912 silam ini, telah menyebar ke seluruh pelosok negeri ini, bahkan hingga ke mancanegara.
Dengan semangat sosial yang diusung oleh KH. Ahmad Dahlan, setidaknya kini Muhammadiyah memiliki lebih dari 10 ribu lembaga pendidikan. Mulai dari Taman Kanak-kanak (TK), hingga Perguruan Tinggi. Organisasi yang lahir pertama kali di Yogyakarta ini juga memiliki amal usaha di bidang kesehatan yang amat banyak, juga bidang lainnya. Eksistensi organisasi besar ini cukup diperhitungkan di kancah nasional maupun internasional. Itulah sekilas gambaran tentang Muhammadiyah.
Dengan latar belakang sejarah yang amat panjang, Muhammadiyah tentu punya beragam cerita yang menarik untuk diulas, ia ibarat lembaran kitab yang tidak habis-habisnya untuk dibaca.
Penulis akan mengulas sedikit tentang perkembangan awal-awal Muhammadiyah di Minangkabau.
Di Minangkabau, atau Provinsi Sumatera Barat, tanah kelahiran penulis, Muhammadiyah memiliki sejarah panjang dan telah mengakar hingga ke setiap pelosok sejak lama.
Daerah yang memiliki semboyan Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah (Adat bersendikan Agama, Agama bersendikan Kitabullah/Alqur'an) ini, merupakan daerah kedua setelah Yogyakarta tempat menyebarnya Muhammadiyah. Berikut ini beberapa nama tokoh Minangkabau yang turut menjadi perintis dan membesarkan nama Muhammadiyah:
Haji Abdul Karim Amrullah
Kehadiran Muhammadiyah di Minangkabau pertama kali diperkenalkan oleh ulama Minang yang cukup masyur kala itu, yaitu Haji Abdul Karim Amrullah atau dikenal dengan Haji Rasul bersama menantunya A.R Sutan Mansur. Haji Rasul sendiri adalah ayah kandung dari ulama dan sastrawan besar Hamka.
Haji rasul dikenal sebagai pendiri Sumatra Thawalib di Pandang Panjang yang merupakan salah satu sekolah Islam modern pertama di Indonesia, beliau juga merupakan salah satu orang Indonesia yang pertama-tama meraih gelar doktor kehormatan dari Universitas Al-azhar, Mesir. Gelar yang kemudian hari juga diperoleh oleh putranya, Buya Hamka.
Bermula dari lawatan Haji Abdul Karim Amrullah ke tanah Jawa, beliau bertemu dengan sejumlah tokoh di Jawa. Termasuk diantaranya, KH. Ahmad Dahlan. Meski belum pernah bertemu sebelumnya, namun hubungan antara kedua tokoh ini terjalin secara emosional dengan sangat baik melalui kesamaan pandangan soal Islam dan pendidikan. K.H Ahmad Dahlan mengenal Haji Rasul lewat tulisan-tulisanya di majalah Al-Munir. Dalam bukunya, Ayahku, Buya Hamka mengisahkan, K.H. Ahmad Dahlan menjemput langsung kedatangan Haji Rasul di Stasiun Tugu Yogyakarta. Ia menjadi tamu Kiai Dahlan dan banyak bertukar pikiran dengan pendiri Muhammadiyah itu selama di Yogyakarta.
“Kiai Haji Ahmad Dahlan meminta Izin kepada Ayah untuk menyalin karangan-karangan Ayah dalam al-Munir ke dalam bahasa jawa untuk diajarkan kepada murid-muridnya. Beliau mengajar di sekolah-sekolah kepunyaan Gubernamen Belanda. Tiga hari lamanya beliau (Haji Abdul Karim Amrullah) menjadi tetamu K.H. Ahmad Dahlan. Siapa menyangka kedua orang inilah yang akan dicatat sebagai mujaddid Islam di Jawa dan Sumatera.” (Hamka, 1950: 136).
Jika ditelusuri lagi berdasarkan banyak literatur, KH. Ahmad Dahlan sang pendiri Muhammadiyah, Haji Abdul Karim Amrullah bersama dengan KH. Hasyim Asyari pendiri Nahdlatul Ulama adalah sama-sama murid dari Syaikh Ahmad Khathib Al-Minangkabawi yang merupakan ulama besar Indonesia asal Minangkabau yang menjadi Imam di Masjidil Haram.
Pada tahun 1925, cabang Muhammadiyah mulai didirikan di Minangkabau. Dan ini menjadi yang pertama di luar Jawa. Berkat perjuangan Haji Rasul, Muhammadiyah kemudian dengan cepat menyebarluas di tanah Minang. Meski beberapa literatur menyebutkan Haji Rasul tidak tercatat bergabung secara struktural di persyarikatan Muhammadiyah, namun sejarah mencatat, ia memiliki peran besar dalam pengembangan persyarikatan Muhammadiyah di Minangkabau.
Buya A.R Sutan Mansyur
Besarnya Perkembangan Muhammadiyah tentu saja tidak luput dari peran besar Buya A.R Sutan Mansyur, tokoh yang kemudian menjadi Ketua PB Muhammadiyah dua periode. A.R Sutan Mansur lahir di Maninjau, 15 Desember 1895. Ia merupakan anak salah seorang ulama kenamaan di Maninjau ketika itu yang bernama Abdul Somad Al-Kusaij.
Lelaki yang memiliki nama lengkap Ahmad Rasyid Sutan Mansyur ini sendiri merupakan murid yang kemudian menjadi menantu dari Haji Rasul.
Bersama dengan Haji Rasul, AR, Sutan Mansur mengembangkan Muhammadiyah secara luas di tanah Sumatera dan perannya di Muhammadiyah berlanjut hingga menjadi pimpinan Muhammadiyah. Lewat A.R. Sutan Mansur inilah sebenarnya Haji Rasul mengenal lebih dekat gerakan Muhammadiyah. Sebab, A.R Sutan Mansur yang semula merantau dan berdomisili di tanah jawa telah lebih dahulu bergabung di Muhammadiyah dan mengenal baik pendiri serta ulama-ulama Muhammadiyah.
Bersama Haji Rasul, tokoh ini mengembangkan dan membesarkan Muhammadiyah di Minangkabau, kepiawaiannya berdakwah membuatnya mudah diterima oleh masyarakat.
Sebagaimana tokoh lainnya, A.R Sutan gemar menelurkan pikirannya lewat tulisan. Selama kiprahnya, beberapa buku yang yang berkaitan dengan Muhammadiyah berhasil dikarang oleh A.R Sutan Mansyur
Diantaranya: Pokok-pokok Pergerakan Muhammadiyah, dan Penerangan Asas Muhammadiyah. Beberapa karangan lainnya adalah Hidup di Tengah Kawan dan Lawan, Tauhid Membentuk Pribadi Muslim, Ruh Islam, Jihad dan lain-lain.
Buya HAMKA
Selain Haji Rasul dan Buya A.R Sutan Mansur, Buya Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka) juga memiliki peran besar membesarkan Muhammadiyah di tanah Minang. Tokoh kharismatik ini turut andil dalam mengukir sejarah Muhammadiyah. Dalam buku Ayahku karangan Irfan Hamka, diceritakan betapa hingga akhir hayatnya, Buya Hamka aktif dan berkontribusi di Muhammadiyah.
Sejak awal Muhammadiyah hadir di tanah Minang, Hamka mendampingi A.R. Sutan Mansur mendirikan cabang Muhammadiyah ke berbagai daerah. Dengan A.R Sutan Mansur ini pula Hamka banyak belajar.
Pada tahun 1928, Hamka diangkat menjadi ketua Cabang Muhammadiyah Padang Panjang. Ketika itu, usianya baru 21 tahun. Tahun 1931, ia kemudian ditunjuk menjadi Mubaligh Muhammadiyah di Makassar, lalu ditunjuk sebagai Anggota Majelis Konsul Muhammadiyah Sumatera Tengah, dan sejumlah jabatan penting lainnya.
Berbicara tentang Hamka dan keluarga ahli ilmu ini, bak lautan nan tak bertepi. Bersama dengan sejumlah tokoh ulama lainnya, tokoh asal Maninjau Sumatra Barat ini memberi nuansa baru terhadap peradaban Islam di tanah Minang.
Hamka, begitu nama yang familiar dengannya, kemudian menjadi tokoh besar dan negarawan yang hingga kini selalu dikenang berkat karya-karyanya. Hamka banyak berkiprah dalam dunia tulis menulis. Karya tulis Hamka diantaranya, Tafsir Al-Azhar, tafsir Al-Qur'an yang beliau rampungkan di dalam penjara karna beliau menjadi tahanan politik zaman orde lama. Buku lain, Falsafah Hidup, Tasawuf Modern dan sejumlah karya besar lainnya serta sejumlah roman dan novel populer yang berhasil dibuat oleh tangan dinginnya. Hamka dikenal luas sebagai ulama, tokoh politik, wartawan, penulis dan pengarang.
Sosok ini menjadi Inspirasi bagi penulis sejak dulu, beberapa bukunya telah penulis baca sejak masih di Sekolah Menengah Pertama.
Dalam perjalanannya, Buya Hamka pernah menjabat sebagai Ketua MUI yang pertama. Berkat karya-karyanya, beliau mendapatkan gelar doktor kehormatan dari Universitas AL-Azhar seperti ayahnya Haji Abdul Karim Amrullah atau Haji Rasul. Kemudian Buya Hamka juga mendapat gelar doktor dari Universitas Nasional Malaysia.
Nama Hamka kemudian disematkan untuk salah satu Universitas milik Muhammadiyah, yakni Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka (UHAMKA). Karna jasanya terhadap negara, Buya Hamka kemudian masuk dalam daftar Pahlawan Nasional Indonesia.
Buya Syafii Maarif
Satu lagi tokoh Muhammadiyah asal minang yang memiliki peran besar adalah Prof. Dr. H. Ahmad Syafi'i Ma'arif. Beliu merupakan mantan ketua umum PP Muhammadiyah yang terkenal akan kedalaman ilmunya. Sosok bersahaja itu menjadi tokoh tempat bertanya dan tempat berdiskusi oleh para elit politik tanah air.
Mantan Presiden World Conference on Religion for Peace (WCRP) dan pendiri Maarif Institute ini, lahir di Nagari Nagari Calau, Sumpur Kudus, Kabupaten Sijunjung.
Sebelum dikenal luas sebagai akademisi, dan cendekiawan terkemuka, Buya Syafii pernah menjadi wartawan di majalah Suara Muhammadiyah.
Buya Syafii menamatkan pendidikan Magister dan Doktoralnya di Amerika Serikat, yakni di Ohio State University dan University of Chicago.
Berkat dedikasinya, Buya Syafii pernah diganjar penghargaan Ramon Magsaysay Award pada tahun 2008.
Karena kedalaman ilmu dan wawasannya, semasa hidupnya, Buya Syafi'i Maarif menjadi tempat bertanya dan berdiskusi para tokoh bangsa.
Yang paling menarik dari beliau adalah kehidupannya yang sederhana dan bersahaja, meski setumpuk jabatan telah diembannya dan banyak prestasi yang beliau torehkan.
Demikianlah beberapa tokoh dari sekian banyak tokoh Muhammadiyah asal minang yang tidak bisa disebutkan satu per satu. Mereka turut berperan membesarkan Muhammadiyah, tidak hanya di daerahnya saja, tetapi dalam skala nasional.
Saat ini, Muhammadiyah memiliki basis yang sangat kuat di Sumatra Barat dan Sumatra umumnya. Semoga tujuan para tokoh dan pendahulu organisasi yang mulia ini tercapai untuk mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya, serta tercapainya generasi penerus bangsa yang berpendidikan, berilmu pengetahuan dan berbudi luhur.**
Discussion about this post