Partai Persatuan Pembangunan (PPP), sebuah nama yang telah ada sejak era Orde Baru, harus meratapi kegagalan yang menyakitkan pada Pemilihan Legislatif (Pileg) DPR RI 2024. Bagi PPP, kegagalan ini bukan hanya sekadar kehilangan kursi di parlemen, tetapi juga mengakhiri partisipasi panjang mereka dalam kancah parlemen nasional.
Momen pahit ini terasa lebih menusuk karena PPP, seperti partai-partai lainnya, telah ikut merumuskan aturan ambang batas parlemen yang kini menjadi bumerang baginya. Ambang batas parlemen (parliamentary threshold/PT) sebesar 4 persen yang kini menjadi batu sandungan bagi PPP, adalah hasil kesepakatan politik yang mereka sendiri turut menyusun. Namun, besarnya ambang batas ini akhirnya menjadi belenggu bagi PPP sendiri.
Kegagalan PPP untuk melampaui PT tersebut menjadi buah pahit yang dipetik dari hasil rekapitulasi tingkat nasional yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI) pada malam Rabu, tanggal 20 Maret 2024 yang lalu. Dari 84 daerah pemilihan (dapil) yang tersebar di 38 provinsi dan 128 wilayah luar negeri, PPP hanya mampu mengumpulkan 5.878.777 suara. Angka yang seolah besar, namun ternyata tak cukup untuk melewati batas yang ditetapkan. PPP hanya berhasil meraih 3,87 persen suara dari total 151.796.630 suara sah yang masuk dalam perhitungan Pileg DPR RI 2024. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, menjadi belenggu yang tak terelakkan. Partai politik yang gagal meraih sedikitnya 4 persen suara sah nasional dipastikan tak akan mendapatkan kursi di Senayan.
Bagi PPP, kegagalan ini bukan hanya soal kursi di parlemen, melainkan juga soal eksistensi dan masa depan partai. Sebagai salah satu pilar politik Indonesia, kehadiran PPP selama puluhan tahun telah mencatatkan sejarah politik negeri ini. Namun, bagaimanapun juga, politik tak kenal belas kasihan. PPP mau tidak mau harus angkat kaki dari Senayan.
Rakyat Menghukum PPP?
Penilaian terhadap hasil Pemilihan Legislatif (Pileg) DPR RI 2024 yang tidak menguntungkan bagi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) bisa dianggap sebagai suatu bentuk hukuman dari rakyat. Rakyat telah memberikan suaranya, dan hasilnya menunjukkan bahwa PPP tidak mampu memperoleh dukungan yang cukup untuk melewati ambang batas parlemen.
Namun, apakah ini benar-benar hukuman atau bukan, tergantung pada sudut pandang yang diambil. Bagi PPP, hasil tersebut tentu menjadi pukulan keras, namun juga menjadi momentum penting untuk introspeksi diri. PPP harus melihat apakah selama ini kebijakan dan tindakannya telah sejalan dengan aspirasi dan kebutuhan rakyat, ataukah lebih bersifat untuk mempertahankan kekuasaan.
Proses berbenah menjadi krusial bagi PPP di masa mendatang. Mereka perlu merenungkan secara mendalam apakah sudah memberikan kontribusi yang signifikan bagi masyarakat, ataukah lebih terjebak dalam dinamika kekuasaan politik semata. Ini adalah kesempatan bagi PPP untuk memperbaiki citra dan membangun kembali kepercayaan rakyat dengan menunjukkan kesungguhan mereka dalam mewakili kepentingan rakyat.
Dengan demikian, hasil pemilu yang tidak menguntungkan bisa menjadi panggilan bagi PPP untuk melakukan transformasi yang lebih baik, yang pada akhirnya akan menghasilkan partai yang lebih responsif dan mampu memenuhi harapan serta keb utuhan rakyat (***)
Discussion about this post