Oleh: Ifanko Putra
Di era digital ini, media sosial telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Facebook, TikTok, YouTube, dan platform lainnya memudahkan kita untuk berbagi atau menikmati informasi dan hiburan. Namun, di balik kemudahan tersebut, tersembunyi bahaya yang tak kalah mengancam: konten sampah. Konten yang tidak bermanfaat, bahkan “beracun” tersebar luas di platform-platform ini. Tidak jarang, konten tersebut diciptakan oleh individu-individu yang kehidupannya “bermasalah.”
Cobalah sesekali melihat riwayat pencarian Anda di TikTok. Riwayat ini biasanya terekam otomatis berdasarkan apa yang sering Anda tonton, tanpa perlu Anda ketik sendiri. Dari sana, Anda akan mengetahui jenis konten apa yang sering menarik perhatian Anda. Tidak jarang, kita tanpa sadar terpapar konten yang sebenarnya hanya berisi drama kehidupan pribadi orang lain, yang seringkali tidak memiliki nilai positif atau edukatif.
Atau cobalah sejenak melihat apa yang Anda bagikan atau yang dibagikan oleh teman-teman Anda di Facebook. Contoh sederhana, mungkin Anda menemukan seseorang yang membagikan ulang konten misalnya berisi narasi ciri-ciri suami atau istri durhaka, atau penyebab rezeki suami seret dan semacamnya dimana kebanyakan dibuat oleh orang yang tidak kompeten tanpa sumber rujukan yang jelas. Mereka membagikan ulang ini barangkali agar dilihat pasangan mereka. Selain itu, ada pula yang curhat mengumbar aibnya sendiri yang cukup sensitif di Facebook. Hal ini, salah satu sebabnya adalah komunikasi yang mandek, terutama bila berkaitan dengan keluarga. Komunikasi yang tidak lancar menyebabkan mereka curhat di media sosial agar dilihat oleh yang dituju. Namun, ternyata itu dilihat oleh mata lain yang seharusnya tidak perlu tahu. (Berbeda misalnya dengan emak-emak konten kreator Fb pro, yang secara rutin membagikan kesehariannya, selama itu bermuatan positif).
Di TikTok atau reel Facebook, Kita dapat melihat banyak sekali akun media sosial yang tanpa ragu mengumbar masalah pribadi mereka ke publik, sampah dalam otaknya diserakan ke ruang publik. Mereka menyindir saudara, pasangan, mertua, atau kerabat lainnya secara terbuka. Konten semacam ini bukan hanya tidak etis, tetapi juga sebenarnya mencerminkan kehidupan pembuatnya yang bermasalah. Hati dan pikiran mereka dipenuhi dengan konflik, dan sayangnya, ini dituangkan ke dalam konten yang mereka buat. Selain itu, ada pula beberapa yang hanya konten rekayasa bertujuan menarik dan memancing penonton. Konten tersebut sering kali menjadi konsumsi banyak orang.
Sedikit demi sedikit, tanpa disadari, paparan konten negatif ini bisa saja mencemari pikiran penontonnya termasuk mereka yang pada dasarnya memiliki kehidupan baik-baik saja dan keluarga harmonis.
Hal ini menjadi masalah serius karena informasi yang kita konsumsi secara tidak langsung tentu memengaruhi pola pikir dan perilaku kita. Konten negatif dan tidak bermanfaat dapat menurunkan kualitas mental kita. Ini berbahaya terutama bagi generasi muda yang sangat rentan terhadap pengaruh media sosial. Ini bisa menjadi pembenaran bagi perasaan negatif mereka yang mungkin mengalami situasi yang hampir serupa dengan postingan tersebut, atau mereka bisa saja meniru perilaku negatif yang mereka lihat atau menganggap bahwa konflik dan drama tak elok itu adalah hal yang normal dalam kehidupan sehari-hari.
Sebagai pengguna media sosial yang bijak, kita perlu lebih selektif dalam mengonsumsi konten. Tidak semua yang viral atau populer layak untuk ditonton, apalagi dijadikan panutan. Perlu ada kesadaran untuk memfilter informasi yang masuk, memastikan bahwa yang kita konsumsi adalah konten yang positif dan bermanfaat. Kita juga harus lebih kritis terhadap apa yang kita lihat dan dengar di media sosial. Penting untuk bisa membedakan mana informasi yang benar-benar bernilai dan mana yang hanya sekadar sampah.
Kita semua memiliki tanggung jawab untuk menciptakan lingkungan media sosial yang lebih baik. Mulai dari diri sendiri, kita bisa mengurangi konsumsi konten negatif dan berkontribusi pada penyebaran informasi yang positif dan edukatif. Hanya dengan cara inilah kita bisa melindungi diri dan generasi mendatang dari dampak buruk sampah informasi di media sosial. Selain itu, jagalah privasi sebaik mungkin. Jangan sampai urusan pribadi kita menjadi konsumsi publik yang tidak perlu. Bijaklah dalam berkomunikasi di dunia maya, agar kita bisa menjaga kebersihan pikiran dan lingkungan digital kita. Mari bersama-sama menciptakan ruang yang lebih sehat dan bermanfaat bagi kita semua.
Dengan langkah sederhana seperti ini, kita tidak hanya menyelamatkan diri dari polusi digital, tetapi juga berkontribusi pada kesehatan mental kolektif masyarakat. Teruslah edukasi diri dan orang-orang di sekitar Anda mengenai pentingnya etika bermedia sosial. Ingatlah bahwa kualitas hidup kita salah satunya ditentukan oleh kualitas informasi yang kita konsumsi. Mari bijak, mari selektif, dan mari menjaga kebersihan media sosial kita.
Discussion about this post