Oleh: Prof. Dr. Hardi Fardiansyah
– Di lingkup Asia Tenggara, Indonesia masih perlu mengejar ketertinggalan pembangunan di antara negeri tetangga, baik dari sisi infrastruktur, ekonomi, maupun sosial. Dengan demikian Indonesia diharuskan terus membangun. Namun, pembangunan ini sangat membutuhkan komitmen kuat dan perencanaan matang dari pemerintah.
Untuk menjadi negara maju dan sejahtera, pembangunan di Indonesia perlu dilakukan secara berkesinambungan atau terus menerus. Olehnya itu, setiap tahun pemerintah menyusun Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM PPKF) sebagai fondasi kuat bagi proses pembangunan secara berkelanjutan. Tahun ini pemerintah menyusun KEM PPKF untuk tahun 2025.
Menurut saya desain kebijakan fiskal tahun 2025 diarahkan untuk mengakselerasi pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan. Kebijakan fiskal tahun 2025 disusun di masa transisi oleh pemerintahan saat ini dan dapat dilanjutkan oleh pemerintahan yang baru dibawah Presiden terpilih Prabowo Subianto Wakil Presiden terpilih Gibran Rakabuming Raka.
Baca Juga: Pelaku Pasar Fokus pada Laporan Ketenagakerjaan AS, Rupiah Menguat
Masa transisi pemerintahan memiliki nilai strategis untuk memastikan keberlanjutan dan penguatan agenda-agenda pembangunan, memperkuat fungsi-fungsi kebijakan fiskal, serta menjaga momentum reformasi untuk transformasi ekonomi dalam upaya mencapai target pertumbuhan ekonomi tinggi, inklusif dan berkelanjutan, untuk mencapai visi Indonesia Emas 2045.
Maka itu, kebijakan fiskal perlu diperkuat fungsi-fungsinya, agar mampu berfungsi menahan guncangan pada perekonomian dan mendukung transformasi ekonomi untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi, dan di saat yang sama perlu dijaga kesinambungannya.
Mengapa demikian, karena kebijakan fiskal memiliki tiga fungsi utama, yaitu alokasi, distribusi, dan stabilisasi. Menurut saya, fungsi alokasi terkait erat dengan peran anggaran untuk memperbaiki efisiensi ekonomi dan bekerjanya mekanisme pasar secara baik.
Fungsi distribusi dibutuhkan untuk menciptakan pemerataan dan keadilan baik dalam proses maupun hasil pembangunan, baik antar kelompok pendapatan maupun antarwilayah. Fungsi stabilisasi harus terus diperkuat sebagai shock absorber untuk meredam berbagai gejolak, khususnya gejolak dari eksternal, sehingga berdampak pada perekonomian domestik serta masyarakat miskin dan rentan relatif minimal.
Strategi kebijakan fiskal ditempuh melalui dua strategi utama, yaitu strategi jangka menengah-panjang dan strategi jangka pendek. Strategi jangka menengah-panjang dengan fokus untuk mendukung transformasi ekonomi-sosial melalui penguatan Sumber Daya Manusia (SDM), melanjutkan pembangunan infrastruktur pendukung transformasi ekonomi, hilirisasi dan transformasi ekonomi hijau untuk meningkatkan nilai tambah dan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, penguatan inklusivitas, serta penguatan kelembagaan dan simplifikasi regulasi. Sementara itu, strategi jangka pendek difokuskan untuk akselerasi pertumbuhan ekonomi, penguatan well-being, serta penguatan konvergensi antardaerah.
Baca Juga: Pertumbuhan Ekonomi 5,11%, BI: Indonesia Tetap Berdaya Tahan
Upaya akselerasi pertumbuhan ekonomi juga akan ditempuh dengan melanjutkan program hilirisasi, dengan memperluas cakupan dan memperbaiki kekurangan-kekurangan yang selama ini muncul, termasuk terkait dengan menjaga kualitas lingkungan. Peningkatan investasi berorientasi ekspor perlu terus diupayakan di tengah situasi global yang penuh tantangan, termasuk melalui diversifikasi komoditas dan tujuan ekspor.
Untuk mewujudkan hal tersebut, dibutuhkan dukungan tenaga kerja yang berkualitas, infrastruktur konektivitas yang memadai, serta perbaikan birokrasi dan sistem regulasi untuk mendorong efisiensi dan daya saing investasi. Dengan upaya-upaya tersebut, pertumbuhan ekonomi tidak hanya tinggi, namun juga bersifat inklusif dan berkelanjutan.
Dengan adanya perubahan dari sisi pertumbuhan sejak adanya program hilirisasi, terutama di sisi investasi manufaktur dan ekspor manufaktur. Dari sisi struktur ekspor, ada peningkatan ekspor manufaktur, khususnya dari produk turunan nikel, besi, dan baja.
Jadi apabila dilihat dari yang sudah terjadi dalam beberapa tahun terakhir sejak ada program hilirisasi perlu diakui bahwa ada efek positif terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Jika program hilirisasi ingin diteruskan, maka pemerintah perlu memperluas program hilirisasi, tidak hanya di nikel tetapi juga di komoditas lainnya, misalnya tembaga, aluminium, dan produk selain hasil tambang.
Penulis adalah Pengamat Ekonomi Nasional, Dosen dan Praktisi Hukum
Discussion about this post