Oleh: Ifanko Putra
Di Afrika, ada cara sederhana namun efektif untuk menangkap monyet yang telah digunakan selama berabad-abad. Caranya, mereka menggali lubang di tanah dan meletakkan kacang-kacang di dalamnya. Monyet-monyet yang tamak dan penasaran tidak bisa menahan godaan, mereka segera memasukkan tangan mereka ke dalam lubang untuk mengambil kacang-kacang tersebut. Namun, ketika mereka mencoba menarik tangan mereka keluar, mereka terjebak. Tangan mereka yang menggenggam kacang tidak bisa keluar dari lubang sempit itu. Keserakahan mereka untuk tidak melepaskan kacang-kacang itu menjadi jebakan yang mematikan.
Strategi sederhana ini ternyata bisa menjadi cermin dari bagaimana kekuasaan dijalankan di banyak negeri. Para penguasa yang cerdik memahami bahwa untuk mengendalikan mereka yang memiliki pengaruh dan kekuatan, seperti petinggi partai misalnya atau pimpinan organisasi besar, diperlukan umpan yang menggiurkan—sesuatu yang membuat mereka tidak bisa melepaskannya. Jabatan tinggi, kekuasaan, dan wewenang, dan pemberian lainnya sering kali menjadi “kacang” yang disodorkan. Siapa yang tidak tergoda dengan kekuasaan dan materi? Dengan memberikan akses terhadap hal-hal ini, para penguasa membiarkan mereka yang diberi kekuasaan, materi dan sejenisnya tersebut menjadi tamak, terus menginginkan lebih dan lebih, sambil berusaha keras untuk mempertahankan apa yang sudah mereka peroleh.
Namun, di balik pemberian kekuasaan ini, ada strategi yang lebih licik dan berbahaya. Penguasa tahu bahwa dengan membiarkan para pejabat dan orang-orang berpengaruh tersebut bebas melakukan apa saja, termasuk tindakan-tindakan korupsi, mereka sebenarnya sedang menggali lubang untuk mereka sendiri. Para pejabat yang tamak akan terus mempertahankan kekuasaan mereka, tidak peduli seberapa kotor cara yang digunakan. Mereka akan terus menggenggam kekuasaan itu, seperti monyet yang tidak mau melepaskan kacangnya.
Saat mereka sudah terlalu dalam terperangkap dalam kekuasaan yang korup, saat itulah penguasa menarik tali kendali. Mereka yang sebelumnya merasa berkuasa, kini menjadi terjebak dalam permainan yang dirancang oleh penguasa. Mereka dipaksa tunduk, mengikuti perintah, dan akhirnya, seperti monyet yang terperangkap dalam lubang, mereka tidak bisa melarikan diri.
Inilah permainan kekuasaan yang licik, di mana keserakahan menjadi alat utama untuk mengendalikan “bawahan”. Penguasa cukup memberikan kekuasaan, uang atau akses terhadap uang, dan membiarkan keserakahan melakukan sisanya. Seperti permainan catur yang penuh perhitungan, setiap langkah sudah direncanakan dengan cermat, dan pada akhirnya, semua bidak berada di bawah kendali penuh penguasa.
Dalam kondisi ini, mereka yang tamak sering kali tidak menyadari bahwa mereka sedang dimainkan dalam skenario besar yang licik. Mereka merasa kuat, merasa memiliki kendali, padahal pada kenyataannya, mereka hanyalah pion-pion yang bisa digerakkan sesuka hati. Pada akhirnya, mereka akan menemukan diri mereka terjebak dalam lubang, tidak mampu melepaskan diri, dan sepenuhnya berada di bawah kendali penguasa yang lebih cerdik.
Keserakahan, yang sering dianggap sebagai pendorong untuk meraih lebih banyak, bisa menjadi kelemahan terbesar. Dalam dunia kekuasaan, keserakahan adalah pisau bermata dua—yang satu bisa menuntun pada puncak, yang lain justru bisa menjerumuskan ke dalam jurang kehancuran.**
Discussion about this post