Pembubaran diskusi publik di Hotel Grand Kemang, Jakarta Selatan, pada 28 September 2024 lalu menimbulkan kehebohan besar. Insiden ini tidak hanya menyisakan kisah kekerasan oleh sekelompok preman, tetapi juga membuka kembali perdebatan tentang kebebasan berpendapat di Indonesia. Bagaimana mungkin di era keterbukaan seperti sekarang, sebuah forum diskusi dapat dibubarkan dengan brutal oleh kelompok-kelompok yang tak memiliki otoritas resmi?
Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo bersikap tegas. Menurut pernyataan Karopenmas Divisi Humas Polri Brigjen Trunoyudo Wisnu Andiko, Kapolri tidak mentolerir aksi premanisme semacam itu. “Menginstruksikan seluruh jajaran untuk menindak tegas dan tidak akan mentolerir segala bentuk tindakan premanisme dan anarkis,” tegas Trunoyudo. Bagi kepolisian, insiden tersebut adalah pelanggaran serius terhadap kebebasan berekspresi yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945.
Namun, di lapangan, kenyataan yang terjadi tampak berbeda. Din Syamsuddin, mantan Ketua Umum Muhammadiyah, yang turut hadir dalam diskusi tersebut, mengungkapkan bahwa kelompok preman sudah berada di lokasi sejak pagi. Meski polisi juga ada di tempat, Din menyoroti minimnya respons dari aparat keamanan. Menurutnya, polisi tidak terlihat mengambil langkah pencegahan ketika kelompok preman mulai membubarkan diskusi secara brutal.
Dalam keterangan resminya, polisi menyatakan telah menetapkan dua tersangka terkait pembubaran diskusi tersebut. Mereka dijerat Pasal 170 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang pengeroyokan dan perusakan. Hukuman maksimal yang bisa dijatuhkan untuk tindakan semacam ini adalah penjara selama 5 tahun 6 bulan. Jika tindakan mereka mengakibatkan luka-luka, hukuman itu bisa meningkat menjadi 7 hingga 9 tahun.
Namun, bagi para aktivis dan pengamat politik, kasus ini memunculkan kekhawatiran yang lebih luas. Ketika kebebasan berpendapat yang seharusnya dilindungi oleh hukum justru dibungkam oleh kekerasan, maka ruang demokrasi bisa terancam. Jika insiden seperti ini terus terjadi, bagaimana publik bisa merasa aman menyuarakan pendapat mereka? Kebebasan berekspresi yang dijamin oleh konstitusi tampaknya belum sepenuhnya terwujud dalam praktik.
Kekerasan semacam ini tidak hanya menjadi ancaman bagi hak-hak individu, tetapi juga menciptakan iklim ketakutan di kalangan masyarakat. Mereka yang ingin berbicara di ruang publik harus berpikir dua kali, khawatir akan tindakan represif yang mungkin terjadi. Dalam situasi ini, rasa takut menjadi senjata efektif untuk membungkam suara-suara kritis.
Dalam konteks politik, insiden ini mencerminkan adanya kelompok-kelompok yang merasa memiliki kekuasaan di luar hukum. Mereka menganggap diri sebagai penegak moral atau pembela kepentingan tertentu, padahal tindakan mereka justru melanggar hukum dan merusak tatanan sosial. Penggunaan kekerasan sebagai alat untuk membubarkan diskusi hanya akan memperkuat sikap intoleran dalam masyarakat.
Kepolisian memang berjanji untuk menindak tegas pelaku premanisme. Namun, publik menuntut lebih dari sekadar janji. Mereka ingin melihat tindakan nyata yang menunjukkan bahwa hukum ditegakkan secara adil dan tanpa pandang bulu. Ketika aparat penegak hukum gagal melindungi warga negara dari kekerasan, maka kredibilitas dan legitimasi mereka akan dipertanyakan.
Insiden ini juga mengingatkan kita pada pentingnya dialog dan perbedaan pendapat dalam demokrasi. Diskusi publik, seperti yang terjadi di Kemang, seharusnya menjadi ajang bertukar pikiran secara damai, bukan arena untuk menyebarkan kebencian atau kekerasan. Tindakan premanisme ini justru merusak esensi dari kebebasan berpendapat yang menjadi pilar utama demokrasi.
Di tengah situasi ini, masyarakat menunggu sikap tegas dari pemerintah dan aparat keamanan. Perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, termasuk kebebasan berekspresi, harus menjadi prioritas utama. Tanpa tindakan nyata untuk mencegah dan menindak kekerasan semacam ini, cita-cita demokrasi yang diinginkan mungkin hanya akan menjadi sekadar retorika kosong (***)
Discussion about this post