Pencabutan sejumlah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (TAP MPR) yang menyangkut tiga mantan presiden Indonesia—Sukarno, Soeharto, dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur)—memunculkan kritik tajam. Dari sudut pandang kritis, tindakan ini lebih tampak sebagai upaya untuk memperkuat agenda politik tertentu daripada sebuah langkah menuju keadilan sejarah yang adil dan transparan. Keputusan ini, yang diambil oleh MPR RI, dianggap oleh pengamat sebagai revisi sejarah yang berpotensi membingkai ulang persepsi masyarakat terhadap masa lalu tanpa adanya diskusi publik yang komprehensif.
Rehabilitasi Nama atau Pengaburan Fakta?
Salah satu isu utama dari pencabutan TAP MPR ini adalah apakah langkah tersebut benar-benar bertujuan untuk memulihkan nama baik ketiga mantan presiden atau sekadar memanipulasi narasi sejarah demi kepentingan politik jangka pendek. Dalam kasus Abdurrahman Wahid (Gus Dur), pencabutan TAP yang terkait dengan pemakzulannya dari kursi presiden di tahun 2001 dilakukan di tengah dorongan kuat dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), partai yang secara historis terkait erat dengan Gus Dur. Kritik utama terhadap langkah ini adalah bahwa keputusan tersebut lebih didorong oleh kepentingan politik PKB untuk memperkuat posisinya di panggung politik ketimbang upaya tulus untuk merehabilitasi reputasi Gus Dur. Dengan pencabutan TAP ini, PKB berupaya memperkuat argumen untuk menjadikan Gus Dur sebagai pahlawan nasional, namun oposisi melihat ini sebagai upaya menciptakan narasi yang menguntungkan partai tanpa mempertimbangkan implikasi historis dan politik yang lebih luas.
Manipulasi Narasi Soeharto
Pencabutan nama Soeharto dari TAP MPR Nomor 11 Tahun 1998, yang berisi tentang pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), adalah bagian lain yang memicu kecurigaan oposisi. Dalam TAP tersebut, Soeharto secara eksplisit disebut sebagai pihak yang bertanggung jawab atas praktik KKN di masa pemerintahannya. Namun, pencabutan ini seolah memberikan perlindungan simbolis terhadap warisan politik Soeharto. Penulis menilai bahwa langkah ini dapat merusak upaya pemberantasan KKN yang hingga kini masih menjadi tantangan besar di Indonesia. Dengan mencabut nama Soeharto, pesan yang disampaikan kepada publik adalah bahwa sejarah tentang peran Soeharto dalam KKN sedang dihapus atau diperlunak, yang dapat melemahkan gerakan reformasi yang lahir dari keruntuhan rezim Orde Baru.
Pencabutan TAP Sukarno: Pengaburan Sejarah Kelam?
Dalam kasus Sukarno, pencabutan TAP MPRS Nomor XXXIII/MPRS/1967 yang menyebutnya gagal menjalankan mandat konstitusional serta melibatkan dirinya dalam peristiwa G30S/PKI juga dipandang sebagai usaha untuk menulis ulang sejarah yang kontroversial. Sukarno adalah sosok kompleks yang perannya dalam sejarah Indonesia tidak bisa dipisahkan dari kekacauan politik pada pertengahan 1960-an. Dengan mencabut TAP tersebut, pemerintah seakan menghapus salah satu bagian penting dari sejarah nasional tanpa menyelesaikan perdebatan terkait peran Sukarno dalam krisis tersebut. Ini bukan hanya tentang memulihkan nama Sukarno, tetapi tentang bagaimana negara memilih untuk memandang dan memahami masa lalu. Penulis menilai pencabutan ini sebagai bentuk pengaburan fakta sejarah yang akan menghalangi generasi mendatang untuk melihat sejarah secara objektif.
Mengapa Sekarang?
Satu pertanyaan mendasar yang sering diajukan oleh para pengkritik adalah: mengapa pencabutan TAP ini dilakukan sekarang? Apakah pencabutan ini benar-benar merupakan bagian dari upaya untuk memperbaiki kesalahan sejarah, atau hanya bagian dari strategi politik? Waktu pencabutan ini menimbulkan kecurigaan bahwa hal tersebut lebih terkait dengan kepentingan politik saat ini daripada agenda keadilan sejarah yang murni. Penulis melihat pencabutan ini sebagai langkah untuk menciptakan citra positif bagi para politisi atau partai-partai yang terkait dengan ketiga mantan presiden tersebut, sehingga mereka bisa mendapatkan keuntungan politik di masa mendatang.
Langkah Terburu-buru atau Strategi Politik?
Pencabutan TAP MPR yang terkait dengan Sukarno, Soeharto, dan Gus Dur telah menimbulkan kekhawatiran serius bahwa langkah tersebut lebih didasarkan pada kepentingan politik daripada upaya yang tulus untuk merehabilitasi sejarah. Penulis memandang bahwa pencabutan ini mengabaikan kompleksitas sejarah Indonesia dan lebih terfokus pada manipulasi narasi politik demi kepentingan kelompok-kelompok tertentu. Alih-alih memperbaiki kesalahan masa lalu, pencabutan ini justru berpotensi mengaburkan kebenaran sejarah, yang pada akhirnya akan merugikan proses demokratisasi dan reformasi di Indonesia (***)
Discussion about this post