Penetapan tersangka terhadap mantan Menteri Perdagangan, Thomas Trikasih Lembong atau Tom Lembong, oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi impor gula menimbulkan banyak tanda tanya di kalangan publik. Kasus ini mencuat ketika Tom diduga mengizinkan impor gula murni pada 2015, padahal Indonesia tengah mengalami surplus gula. Langkah ini dipandang menyalahi aturan, apalagi disebutkan bahwa keputusan tersebut tidak melalui koordinasi yang memadai dengan kementerian atau lembaga lain yang berwenang, termasuk Kementerian Perindustrian yang bertugas merekomendasikan kebijakan terkait stok gula nasional.
Publik bertanya-tanya apakah keputusan Tom pada masa itu memang murni kelalaian atau justru bagian dari upaya untuk menguntungkan pihak tertentu. Meski sejauh ini belum ditemukan bukti adanya aliran dana langsung yang menguntungkan Tom, kasus ini tetap menarik perhatian luas. Banyak yang bertanya-tanya tentang kemungkinan adanya niat tersembunyi atau pengaruh pihak ketiga yang menginginkan perizinan impor tersebut diloloskan tanpa mengikuti aturan standar.
Menariknya, kasus ini mencuat tidak lama setelah Pilpres 2024, di mana Tom diketahui berada di kubu yang mendukung Anies Baswedan, yang kalah dalam kontestasi tersebut. Kejadian ini mendorong munculnya spekulasi bahwa ada unsur politis di balik kasus hukum yang sedang berjalan ini. Dalam konteks politik, kasus hukum yang menjerat seseorang dari kubu yang kalah dalam pemilihan umum sering kali menimbulkan asumsi bahwa penegakan hukum digunakan sebagai alat untuk memperlemah lawan politik.
Namun demikian, tidak semua pihak sependapat dengan anggapan tersebut. Bagi sebagian pihak, penetapan status tersangka terhadap Tom justru dianggap sebagai langkah yang wajar untuk menjaga integritas hukum dan menegakkan supremasi hukum. Menurut mereka, jika benar ada pelanggaran hukum dalam keputusan impor gula tersebut, maka sudah seharusnya aparat penegak hukum menjalankan tugasnya tanpa pandang bulu. Prinsip keadilan harus ditegakkan tanpa memandang latar belakang politik individu yang terlibat.
Tom Lembong sendiri, dalam pernyataan publiknya pascamenjadi tersangka, menyatakan bahwa ia menyerahkan sepenuhnya proses hukum ini kepada Tuhan dan mengharapkan keadilan yang sebenar-benarnya. Ia juga mengisyaratkan bahwa dirinya siap mengikuti prosedur hukum yang berlaku, terlepas dari segala asumsi dan tuduhan yang diarahkan kepadanya. Sikap ini menunjukkan bahwa Tom ingin menjaga kredibilitasnya sebagai tokoh publik dan bersikap kooperatif dalam menghadapi tuduhan yang tengah dialamatkan kepadanya.
Meski begitu, publik tetap terpecah dalam menanggapi kasus ini. Sebagian masyarakat masih meragukan objektivitas proses hukum yang melibatkan tokoh-tokoh politik. Dalam konteks Indonesia, kasus hukum yang menjerat tokoh dari kubu oposisi atau lawan politik kerap dianggap rentan terhadap bias. Apalagi, isu impor pangan, seperti gula, sering kali melibatkan kepentingan ekonomi yang besar serta koneksi antara pemerintah dan kelompok pengusaha tertentu.
Fenomena ini juga menunjukkan kompleksitas dalam menyeimbangkan kepentingan politik dan penegakan hukum di Indonesia. Jika memang ada unsur politis yang terlibat, maka hal ini bisa berimplikasi negatif pada kredibilitas institusi penegak hukum. Di sisi lain, jika tuduhan ini murni untuk menegakkan keadilan, maka penting bagi Kejaksaan Agung untuk menyampaikan bukti dan argumen yang jelas sehingga publik dapat memahami latar belakang penetapan tersangka ini.
Sebagai negara yang berlandaskan hukum, Indonesia seharusnya mampu menjamin bahwa proses hukum berjalan tanpa tekanan atau pengaruh dari pihak-pihak yang memiliki kepentingan politik. Kasus seperti ini seharusnya dapat menjadi pembelajaran untuk meningkatkan transparansi dalam penanganan perkara yang melibatkan tokoh publik, apalagi jika isu tersebut terkait dengan kebijakan ekonomi yang berdampak luas bagi masyarakat.
Akhirnya, yang dibutuhkan publik saat ini adalah kejelasan mengenai dasar hukum dan bukti yang ada dalam kasus ini. Publik berhak mengetahui apakah benar keputusan impor gula yang diambil Tom Lembong pada 2015 itu melanggar aturan atau justru bagian dari kebijakan ekonomi yang saat itu dianggap perlu. Terlepas dari hasil akhirnya, kasus ini mengajarkan pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam setiap keputusan yang diambil oleh pejabat publik.
Jika transparansi dapat dijaga, kasus ini bisa menjadi landasan untuk memperbaiki proses kebijakan di masa depan agar lebih tertib, akuntabel, dan bebas dari kepentingan tersembunyi. Tanpa transparansi, dikhawatirkan kasus ini akan tetap meninggalkan jejak politis yang pada akhirnya mencederai kepercayaan publik terhadap lembaga hukum di Indonesia (***)
Discussion about this post