Pertemuan antara Presiden Prabowo Subianto dan Presiden ke-7 RI Joko Widodo di Solo (3/11/2024) menimbulkan berbagai spekulasi tentang lanskap politik Indonesia ke depan. Sebagai figur penting di negeri ini, interaksi antara keduanya memiliki arti strategis dalam percaturan politik nasional. Dalam konteks politik, pertemuan di angkringan Omah Semar itu tampak sederhana, namun justru menjadi simbol penting yang menggambarkan relasi politik Prabowo dan Jokowi saat ini, termasuk potensi pengaruh Jokowi terhadap kepemimpinan Prabowo yang baru berjalan.
Prabowo saat ini berada dalam posisi yang unik. Meski sudah menjadi presiden, ia tidak bisa begitu saja lepas dari bayang-bayang pemerintahan Jokowi yang sudah membentuk banyak aspek kebijakan dalam negeri. Kebijakan ekonomi, infrastruktur, hingga diplomasi yang dirintis oleh Jokowi selama dua periode tentu masih berdampak. Mengubah arah kebijakan yang sudah berjalan pun bukan pilihan mudah, terlebih dengan berbagai kepentingan yang sudah terjalin selama kepemimpinan Jokowi. Di sinilah Prabowo menghadapi tantangan untuk membangun identitas politiknya sendiri sebagai presiden.
Sejak awal, perjalanan politik Prabowo dan Jokowi telah menjadi salah satu tema sentral dalam politik Indonesia. Rivalitas mereka dalam dua kali pemilihan presiden lalu menunjukkan bahwa keduanya memiliki basis dukungan politik yang berbeda. Ketika akhirnya Prabowo bergabung dalam kabinet Jokowi, narasi rivalitas itu mulai berubah menjadi kemitraan politik yang tak terduga. Kemitraan ini membawa dinamika baru, tetapi tetap menimbulkan pertanyaan apakah Prabowo bisa benar-benar lepas dari pengaruh Jokowi atau justru akan terus bergantung pada dukungan Jokowi dalam memimpin negara.
Dalam politik, warisan kebijakan sering kali memengaruhi pemimpin selanjutnya, terlebih jika pemimpin baru masih dalam lingkaran yang sama dengan pendahulunya. Prabowo, yang sebelumnya menjadi bagian dari kabinet Jokowi, tidak lepas dari situasi ini. Dia mewarisi kebijakan-kebijakan Jokowi, khususnya dalam bidang infrastruktur dan hubungan internasional yang menjadi sorotan selama masa kepemimpinan Jokowi. Bagi Prabowo, menjalin keberlanjutan kebijakan ini bukan sekadar pilihan strategis, tetapi juga cara untuk menjaga stabilitas politik dan ekonomi Indonesia.
Sebagai figur yang memiliki pengalaman panjang di bidang militer dan politik, Prabowo mungkin memiliki visi tersendiri untuk Indonesia. Namun, jika visi ini bertentangan terlalu tajam dengan jalur yang telah dirintis Jokowi, Prabowo berisiko menghadapi resistensi politik, baik dari para pendukung Jokowi yang masih berpengaruh maupun dari publik yang sudah terbiasa dengan pendekatan Jokowi. Dengan demikian, Prabowo tampaknya akan memilih pendekatan kompromi, yakni mempertahankan arah yang sudah ada sambil perlahan memperkenalkan program-program baru yang sejalan dengan gaya kepemimpinannya.
Pertemuan di Solo ini, yang berlangsung tanpa pernyataan publik yang mendalam, memberi kesan bahwa keduanya sengaja menjaga keseimbangan kekuasaan. Prabowo mungkin tidak ingin terlihat terlalu bergantung pada Jokowi, namun kehadiran Jokowi di sisi Prabowo memperlihatkan bahwa pengaruh Jokowi masih sangat signifikan. Dalam politik Indonesia, simbol semacam ini penting karena menunjukkan dukungan yang implisit tetapi kuat, sesuatu yang dibutuhkan Prabowo dalam memperkuat posisinya sebagai presiden.
Di sisi lain, pertemuan ini juga menunjukkan Jokowi tetap berperan dalam percaturan politik, meski kini berada di luar lingkar kekuasaan formal. Dengan tidak memberi pernyataan apa pun, Jokowi tampak memilih sikap tenang, membiarkan Prabowo menjadi pusat perhatian. Sikap diam ini mungkin bentuk dukungan simbolis, tetapi juga sinyal bagi kalangan politik bahwa Jokowi masih hadir dan memiliki kekuatan, yang bisa saja memengaruhi langkah-langkah Prabowo, terutama dalam isu-isu yang bersinggungan langsung dengan warisan kebijakan Jokowi.
Kemungkinan ketergantungan Prabowo pada Jokowi ini bukan hanya soal keberlanjutan kebijakan, tetapi juga soal stabilitas politik. Jokowi memiliki pengaruh besar di kalangan elite politik dan masyarakat, sesuatu yang sangat dibutuhkan Prabowo dalam menjaga stabilitas pemerintahannya. Dengan mempertahankan hubungan baik dengan Jokowi, Prabowo bisa memanfaatkan jejaring Jokowi untuk memastikan dukungan politik tetap kuat. Namun, terlalu dekat dengan Jokowi juga bisa menciptakan persepsi bahwa Prabowo sekadar melanjutkan “era Jokowi”, tanpa inovasi baru yang mencerminkan kepemimpinannya sendiri.
Selain itu, Prabowo perlu mempertimbangkan bahwa loyalitas pendukung Jokowi belum tentu akan otomatis beralih kepadanya. Sebagian pendukung Jokowi mungkin melihat Prabowo sebagai sosok yang berbeda dan belum tentu sejalan dengan harapan mereka. Di sinilah Prabowo harus pandai-pandai memainkan perannya. Ia harus mampu menjaga hubungan baik dengan pendukung Jokowi, sambil menarik dukungan baru yang lebih sesuai dengan visinya sendiri, tanpa membuat friksi politik yang terlalu mencolok.
Pertemuan singkat di angkringan Solo ini adalah representasi dari dinamika kompleks dalam politik nasional. Prabowo dan Jokowi yang dulu pernah berseteru kini harus menghadapi kenyataan baru sebagai mitra dalam transisi kekuasaan. Pertemuan ini menjadi pengingat bahwa meskipun Prabowo kini memegang kendali negara, pengaruh Jokowi belum benar-benar berakhir. Suka atau tidak, Prabowo masih harus memperhitungkan Jokowi sebagai bagian dari percaturan politik Indonesia yang terus bergerak dinamis (***)
Discussion about this post