Usulan Wakil Ketua Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat (Baleg DPR) Ahmad Doli Kurnia agar pencalonan dalam pemilihan kepala desa (pilkades) menggunakan sistem partai politik menjadi topik menarik untuk dikaji. Usulan ini didasarkan pada pengamatannya bahwa pilkades sebenarnya sudah melibatkan semacam “partai-partai” dalam bentuk kelompok-kelompok politis di desa, yang oleh masyarakat setempat diberi nama-nama kocak seperti “partai nangka” atau “partai pepaya.” Secara tersirat, Doli berpendapat bahwa kehadiran partai politik resmi dalam pilkades dapat memperkuat sistem politik nasional hingga ke akar rumput. Namun, benarkah partai politik akan memberi dampak positif jika dihadirkan dalam pilkades?
Dari segi keuntungan, integrasi partai politik dalam pilkades bisa jadi memberikan wadah bagi masyarakat desa untuk mengenal dan terlibat lebih dalam dengan sistem politik. Saat ini, partai politik dianggap masih berjarak dengan masyarakat desa, yang bisa berdampak pada rendahnya kesadaran politik di tingkat akar rumput. Dengan adanya partai, keterlibatan masyarakat dalam politik lokal diharapkan menjadi lebih struktural dan sistematis, sehingga aspirasi mereka lebih terwakili secara formal. Doli juga menganggap bahwa melibatkan partai politik bisa menghilangkan stigma bahwa partai politik adalah entitas yang eksklusif. Masyarakat desa yang selama ini merasa di luar “pusaran kekuasaan” bisa lebih merasakan dampak keberadaan partai politik dan menjadi bagian dari perubahan politik di lingkungannya.
Namun, tentu saja, penerapan sistem partai politik dalam pilkades bukan tanpa risiko. Salah satu kekhawatiran utama adalah potensi meningkatnya gesekan politik di tingkat desa. Partai politik sering kali membawa isu-isu besar yang dapat memperkuat perpecahan, bukan menyatukan masyarakat. Di desa, di mana hubungan sosial antarwarga biasanya erat dan dipengaruhi faktor kekeluargaan dan kekerabatan, kehadiran partai politik yang seringkali punya warna ideologis berbeda bisa memicu perselisihan di antara warga yang sebelumnya hidup harmonis. Situasi ini dikhawatirkan bisa memperburuk dinamika sosial desa, apalagi mengingat pilkades kerap kali berujung pada konflik terbuka, bahkan kekerasan, seperti yang diungkapkan oleh Doli bahwa korban jiwa dalam pilkades lebih banyak daripada di pemilihan legislatif atau pemilihan kepala daerah.
Tak hanya itu, adanya partai politik dalam pilkades juga dikhawatirkan akan meningkatkan biaya politik di tingkat desa. Jika sebelumnya pilkades lebih banyak menggunakan pendekatan sederhana dan melibatkan tokoh-tokoh lokal yang relatif dikenal warga, maka dengan partai politik, pilkades bisa menjadi ajang persaingan politik yang lebih besar, dengan biaya kampanye yang lebih tinggi. Hal ini bisa membuat calon kepala desa yang memiliki keterbatasan sumber daya kesulitan untuk bersaing, karena tidak memiliki dukungan dari partai politik yang kuat. Akibatnya, pilkades bisa saja kehilangan esensinya sebagai ajang memilih pemimpin lokal yang benar-benar memahami permasalahan desa, dan malah beralih menjadi “miniatur” politik nasional.
Sebagai penutup, jika partai politik resmi terlibat dalam pilkades, maka sistem kepartaian nasional secara otomatis akan diperluas hingga tingkat paling bawah. Ini bisa berdampak pada peran Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai lembaga penyelenggara pemilu. Selama ini, pilkades diselenggarakan oleh pemerintah daerah, tetapi jika partai politik masuk, tidak menutup kemungkinan bahwa KPU harus turut mengawasi dan menyelenggarakan pilkades sebagai bagian dari tanggung jawabnya dalam pemilihan. Perubahan ini tentu menimbulkan kebutuhan akan anggaran dan tenaga kerja yang lebih besar bagi KPU, serta memicu perdebatan tentang kelayakan KPU sebagai lembaga adhoc atau permanen.
Akhirnya, usulan untuk melibatkan partai politik dalam pilkades membawa beragam konsekuensi yang perlu dipertimbangkan dengan matang. Di satu sisi, ada potensi untuk memperkuat kesadaran politik masyarakat desa. Namun, di sisi lain, efek samping berupa polarisasi masyarakat, biaya politik yang tinggi, dan beban tambahan bagi KPU juga harus menjadi perhatian (***)
Discussion about this post