Dalam dunia pemberantasan korupsi, Operasi Tangkap Tangan (OTT) adalah salah satu senjata pamungkas yang digunakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk membongkar kejahatan kerah putih yang sering kali sulit diusut. Namun, pernyataan calon Ketua KPK, Johanis Tanak, yang berencana meniadakan OTT jika terpilih memunculkan pro dan kontra di masyarakat. Dari sudut pandang kriminologi, usulan ini membuka ruang diskusi tentang efektivitas pendekatan represif seperti OTT dibandingkan dengan langkah pencegahan korupsi yang lebih sistemik.
Dalam kajian kriminologi, OTT adalah contoh nyata dari deterrence theory, yang menekankan bahwa ancaman hukuman yang cepat, pasti, dan berat dapat mencegah seseorang melakukan kejahatan. Dengan keberhasilan OTT yang sering diberitakan, publik dan pelaku korupsi memahami bahwa risiko tertangkap KPK itu nyata. Namun, jika OTT dihapuskan, pertanyaannya adalah: apakah langkah ini akan mengurangi tingkat korupsi atau justru memberikan ruang bagi koruptor untuk bertindak lebih leluasa?
Tanak berargumen bahwa pendekatan preventif, seperti memperkuat sistem pengawasan dan membangun budaya antikorupsi, lebih efektif daripada OTT. Dalam teori social control, pendekatan ini memang masuk akal. Sistem yang kuat dan nilai-nilai moral yang tertanam dalam masyarakat dapat mencegah individu tergoda untuk korupsi. Namun, kenyataannya, Indonesia memiliki persoalan institusional yang kompleks. Ketika sistem pengawasan sering kali turut dikorupsi, OTT menjadi “alarm darurat” yang menandai bahwa pengawasan internal belum berjalan optimal.
OTT juga memiliki dimensi simbolis yang penting dalam konteks pemberantasan korupsi. Setiap kali pejabat tertangkap tangan, ada pesan kuat yang disampaikan kepada publik bahwa hukum masih berfungsi. Dalam labelling theory, OTT memberikan label yang jelas kepada pelaku sebagai koruptor, sehingga ada efek sosial berupa sanksi moral. Jika OTT ditiadakan, akankah pesan ini tetap tersampaikan dengan cara lain yang sama efektifnya?
Namun, kritik terhadap OTT juga tidak bisa diabaikan. Dalam beberapa kasus, OTT dianggap terlalu fokus pada output atau hasil instan, bukan outcome berupa perubahan sistemik jangka panjang. Kajian strain theory menunjukkan bahwa korupsi sering kali merupakan hasil dari tekanan struktural, seperti ketimpangan kekuasaan atau peluang yang tersedia. Jika akar masalah ini tidak ditangani, OTT hanya akan menjadi solusi tambal sulam yang tidak menyentuh inti permasalahan.
Dari perspektif politik, penghapusan OTT juga memunculkan pertanyaan mengenai independensi KPK. Apakah langkah ini mencerminkan upaya reformasi institusional, atau justru kompromi dengan kepentingan tertentu? Conflict theory mengingatkan bahwa hukum sering kali mencerminkan kepentingan kelompok yang berkuasa, dan jika OTT dihapuskan, kekhawatiran muncul bahwa ini adalah upaya untuk melemahkan KPK secara keseluruhan.
Di sisi lain, mengandalkan OTT tanpa pembenahan sistem juga bukan solusi yang ideal. Penggunaan OTT yang terlalu sering dapat mengarah pada efek jangka panjang yang kontraproduktif, seperti munculnya rasa takut berlebihan di kalangan pejabat atau justru menciptakan strategi baru untuk menghindari penindakan. Dalam routine activity theory, kejahatan terjadi ketika ada pelaku, target, dan absennya pengawasan. Dengan pendekatan yang lebih sistemik, dua elemen terakhir bisa diminimalkan tanpa terlalu mengandalkan OTT.
Dengan demikian, langkah untuk meniadakan OTT tidak semestinya diambil secara ekstrem tanpa kajian mendalam. Sebagai wakil KPK, Johanis Tanak seharusnya mempertimbangkan pendekatan hibrida, yaitu mengombinasikan langkah represif seperti OTT dengan strategi pencegahan yang lebih terintegrasi. Dalam konteks kriminologi, pemberantasan korupsi yang efektif memerlukan keseimbangan antara upaya penindakan dan penguatan sistem. Keputusan ini akan menentukan masa depan pemberantasan korupsi di Indonesia—apakah akan terus maju atau justru mundur ke belakang (***)
Discussion about this post