Sarolangun, Radarhukum.id — Dugaan praktik pungutan liar (pungli) mencuat di ruas jalan milik Pemda Sarolangun yang berada di wilayah Pauh Timur. Temuan ini terungkap berdasarkan investigasi Tim Ikatan Wartawan Sarolangun (IWS), Senin, (30/6/2025).
Jalan tersebut merupakan akses utama menuju enam desa di Kecamatan Pauh, seperti Desa Lubuk Napal, Sigatal, Sepintun, dan Danau Serdang. Jalan itu sebelumnya dibangun oleh Pemkab Sarolangun dengan anggaran lebih dari Rp30 miliar melalui dana APBD. Namun, kini kondisinya rusak parah akibat digunakan sebagai jalur hauling angkutan batu bara milik PT AJC.
Ratusan truk jenis colt diesel milik PT AJC melintas setiap hari dari stockpile perusahaan di Km 19 menuju Jalan Lintas Sarolangun-Tembesi, tepatnya di Simpang Pitco. Selain merusak badan jalan, aktivitas hauling ini juga menyebabkan polusi debu batu bara yang mengganggu kenyamanan dan membahayakan kesehatan pengguna jalan, terutama pengendara motor.
Yang lebih mengkhawatirkan, di sepanjang jalan tersebut kini bermunculan pos-pos karang taruna yang diduga melakukan pungli terhadap sopir truk pengangkut batu bara. Setiap truk disebutkan harus membayar Rp5.000 di setiap pos. Total terdapat delapan pos yang aktif melakukan pungutan tersebut. Praktik serupa juga disebut terjadi terhadap mobil pick-up pengangkut minyak hasil illegal drilling dari wilayah Pauh Timur.
Salah satu narasumber yang tidak ingin identitasnya dipublikasikan menyebutkan, pungutan tersebut dilakukan atas kesepakatan antara pihak desa dan perusahaan. Ia menjelaskan bahwa ada dua titik pos di Semaran, yakni di pintu masuk awal dan di simpang bekas Swamil Haji ABC. Pos lainnya berada di Km 5 Kelurahan Pauh, Desa Danau Serdang, dan Desa Lubuk Napal, tepat di sekitar area tambang PT AJC.
Ketika ditanya apakah ada dasar hukum berupa Peraturan Desa (Perdes) atau Surat Keputusan Bersama (SKB) terkait pungutan ini, narasumber menyatakan kemungkinan besar tidak ada.
“Setahu kami, ini dilakukan atas persetujuan pemdes dan pihak perusahaan,” ujarnya.
Pihak perusahaan, saat dikonfirmasi melalui Legal HRD PT AJC, Brahman Triya Rindu, menyampaikan bahwa dirinya tidak memiliki kewenangan menjawab soal pungutan tersebut.
“Humas kami sedang tidak di tempat. Saya izinkan menjawab sebatas yang saya tahu, karena saya bertugas di bidang HRGA, bukan mengurusi hal ini. Saya tidak tahu soal perjanjian A, B, atau C. Nanti akan saya sampaikan ke Humas Pak Jamil,” ucap Brahman.
Ia menambahkan bahwa pos Simpang Pitco sudah lama berdiri, sementara pos-pos lain baru saja dibangun. Namun ia enggan memastikan apakah ada kerja sama resmi antara perusahaan dan pihak desa.
“Kalau soal pos itu saya tahu, tapi soal kerja samanya, saya tidak berani bicara karena bukan ranah saya,” tambahnya.
Seorang sopir truk colt diesel yang sedang melintas mengaku bahwa dirinya harus menyetor uang sebesar Rp5.000 di setiap pos. “Total pengeluaran dari stockpile sampai ke jalan lintas bisa sampai Rp100 ribu per hari,” ungkap sopir tersebut.
Sementara itu, Kepala Desa Lubuk Napal tidak berada di tempat saat hendak dikonfirmasi. Menurut staf desa, sang kades sedang berada di Jambi. Namun, salah satu perangkat desa, membenarkan adanya kerja sama antara karang taruna dan pihak desa.
“Memang ada kerja sama dengan kepala desa. Uang pungutan Rp5.000 itu digunakan untuk menggaji petugas harian di pos. Jika terkumpul selama satu bulan, hasilnya dibagi dua, untuk karang taruna dan kepala desa,” ujar perangkat desa tersebut kepada awak media IWS.
Discussion about this post