Revisi Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia kembali menjadi sorotan publik. Salah satu isu yang mencuat dalam revisi ini adalah wacana perpanjangan batas usia pensiun anggota Polri. Pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Bambang Rukminto, mengkritisi wacana ini sebagai upaya yang hanya akan mengaburkan substansi revisi UU Polri yang sebenarnya lebih mendesak.
Menurut Bambang Rukminto, urgensi revisi UU Kepolisian seharusnya difokuskan pada bagaimana memastikan Polri menjalankan kewenangannya dengan benar sesuai harapan masyarakat. Tantangan utama Polri bukan terletak pada usia pensiun, tetapi lebih pada bagaimana lembaga ini dapat menjadi instrumen negara yang berfungsi dengan baik dan tidak menjadi alat kelompok atau golongan tertentu. Pandangan ini menekankan bahwa kepercayaan masyarakat terhadap Polri harus ditingkatkan melalui reformasi institusional yang mendalam dan substansial.
Anggota Komisi Hukum DPR, Sarifuddin, menyatakan bahwa revisi UU Kepolisian sedang dalam proses harmonisasi di Badan Legislasi. Hal ini menunjukkan bahwa legislator juga melihat pentingnya pembaruan undang-undang ini, meskipun mungkin berbeda pandangan mengenai prioritas utama yang harus diatur dalam revisi tersebut. Dalam draf revisi yang diterima, terdapat rencana perpanjangan usia pensiun maksimal anggota Polri dari 58 tahun menjadi 60 tahun. Bahkan, usia pensiun ini bisa diperpanjang lagi hingga 62 tahun bagi anggota yang memiliki keahlian khusus dan dianggap sangat dibutuhkan.
Selain itu, untuk pejabat fungsional, usia pensiun diatur maksimal hingga 65 tahun. Usia pensiun perwira tinggi bintang empat atau Kapolri akan ditetapkan melalui Keputusan Presiden setelah mendapat pertimbangan dari DPR. Perpanjangan usia pensiun ini mungkin dimaksudkan untuk memanfaatkan pengalaman dan keahlian anggota senior dalam menjalankan tugasnya. Namun, kebijakan ini perlu ditelaah lebih dalam mengenai dampaknya terhadap dinamika organisasi Polri, regenerasi kepemimpinan, serta efektivitas kinerja institusi.
Ada beberapa pertimbangan kritis yang perlu dikemukakan terkait perubahan batas usia pensiun ini. Pertama, regenerasi dalam tubuh Polri dapat terhambat. Anggota muda yang berbakat mungkin akan memiliki peluang karier yang terbatas jika posisi senior tetap dipegang oleh anggota yang sudah berusia lanjut. Kedua, usia lanjut tidak selalu identik dengan pengalaman yang bermanfaat. Ada risiko penurunan kinerja dan produktivitas yang perlu diantisipasi. Polri membutuhkan tenaga yang enerjik dan adaptif terhadap tantangan keamanan yang terus berkembang.
Ketiga, ada kekhawatiran bahwa perpanjangan usia pensiun bisa menjadi alat untuk mempertahankan kekuasaan bagi kelompok tertentu. Hal ini bisa berpotensi merusak netralitas dan profesionalisme Polri. Keempat, setiap perubahan kebijakan harus dilandasi oleh kebutuhan organisasi, bukan semata-mata oleh keinginan individu atau kelompok tertentu. Evaluasi menyeluruh terhadap kebutuhan Polri harus menjadi dasar dalam memutuskan batas usia pensiun.
Revisi UU Polri merupakan langkah penting untuk memperkuat institusi kepolisian di Indonesia. Namun, fokus utama seharusnya pada peningkatan profesionalisme, akuntabilitas, dan kepercayaan publik terhadap Polri. Perubahan batas usia pensiun memang memiliki beberapa keuntungan, tetapi juga membawa risiko yang perlu dipertimbangkan secara matang.
Dalam konteks ini, memastikan Polri berfungsi dengan baik dan menjadi institusi yang dipercaya masyarakat jauh lebih mendesak dibandingkan sekadar memperpanjang usia pensiun. Oleh karena itu, revisi UU Polri harus difokuskan pada pembenahan struktural dan operasional yang mendalam, sehingga dapat menciptakan Polri yang profesional, netral, dan berorientasi pada pelayanan publik (****)
Discussion about this post