Bengkulu, Radarhukum.id – Bijak dalam menggunakan media sosial dengan kemajuan teknologi sekarang ini, sangat diperlukan. Orang yang dulunya menggunakan pepatah “Mulutmu harimaumu”, namun dalam konteks ruang digital sekarang ini pepatah ini berubah menjadi “Jari-jarimu adalah harimaumu”. Media sosial tidaklah selalu memberikan manfaat yang berdampak positif.
Media sosial juga bisa menciptakan ruang bagi seseorang untuk melakukan suatu tindak pidana melalui jaringan internet. Pendapat dan ekspresi yang disampaikan melalui media sosial bisa jadi merupakan sebuah penyimpangan hukum yang mengganggu hak orang lain yang tak jarang dilakukan oleh seseorang melalui akun media sosialnya.
Terdakwa KA tak pernah menyangka bahwa unggahannya di grup Facebook Info Kepahiang pada Minggu, 17 Maret 2024, akan berujung pada proses hukum. Dalam unggahan tersebut, KA menuduh saksi korban SD memiliki utang kepadanya, meskipun tidak disertai bukti yang kuat. Tuduhan itu dengan cepat menyebar di kalangan warga Kabupaten Kepahiang dan membuat nama baik SD tercemar.
Merasa dirugikan secara moral, saksi korban SD melaporkan KA ke pihak kepolisian. Berbagai upaya mediasi telah dilakukan untuk menyelesaikan persoalan ini secara damai, namun tak membuahkan hasil.
Akhirnya, perkara ini disidangkan di Pengadilan Negeri Kepahiang. Sidang dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim Nunik Sri Wahyuni, S.H., M.H., bersama hakim anggota Lely Manullang, S.H., M.Kn., dan Anton Alexander, S.H., M.H. Perkara ini tercatat dalam register dengan Nomor: 45/Pid.Sus/2025/PN Kph.
Pencemaran nama baik melalui sistem elektronik, termasuk media sosial, merupakan perbuatan yang dilarang dan dapat dikenai sanksi pidana. Pelaku diancam hukuman penjara paling lama dua tahun dan/atau denda maksimal Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah), sebagaimana diatur dalam Pasal 27A jo Pasal 45 ayat (4) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Karena ancaman pidana dalam kasus ini kurang dari lima tahun, Majelis Hakim yang memeriksa perkara Terdakwa KA mempertimbangkan penggunaan pendekatan Keadilan Restoratif. Pendekatan ini merujuk pada pedoman Mahkamah Agung Republik Indonesia yang tertuang dalam Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pedoman Mengadili Perkara Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif.
Dalam persidangan perkara pidana yang mengedepankan pendekatan keadilan restoratif, setelah surat dakwaan dibacakan, terdakwa mengakui kesalahannya di hadapan Majelis Hakim. Ia juga menyampaikan permintaan maaf secara terbuka kepada saksi korban dan keluarganya, serta menyatakan kesediaan untuk bertanggung jawab atas perbuatannya.
Majelis Hakim kemudian berupaya memfasilitasi proses perdamaian dengan melibatkan semua pihak terkait, yakni terdakwa, korban, keluarga kedua belah pihak, serta pihak lainnya yang relevan. Pendekatan ini bertujuan untuk mencari penyelesaian yang adil dan menekankan pemulihan keadaan seperti semula, sesuai dengan prinsip Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pedoman Mengadili Perkara Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif.
Langkah tersebut mencerminkan perkembangan dalam sistem pemidanaan, yang tidak lagi semata-mata berfokus pada penghukuman terhadap pelaku, tetapi juga mengedepankan pemulihan hak korban dan tanggung jawab pelaku secara seimbang.
Dalam sidang, saksi korban menyatakan, telah terjadi perdamaian antara dirinya dan terdakwa. Majelis Hakim kemudian memverifikasi kesepakatan damai tersebut, yang mencakup video permintaan maaf dari terdakwa kepada korban melalui media sosial, serta pembayaran ganti rugi sebesar Rp4.000.000,00 (empat juta rupiah).
Perkara dengan terdakwa KA diputuskan pada Rabu (16/7). Majelis Hakim Pengadilan Negeri Kepahiang menjatuhkan pidana percobaan/bersyarat kepada terdakwa KA yang amar putusannya pada pokoknya menyatakan, apabila terdakwa melakukan tindak pidana kembali sebelum masa percobaan selama enam bulan berakhir maka terdakwa harus menjalani pidana penjara selama empat bulan.
Dalam pertimbangan putusannya, Majelis Hakim menilai, kesepakatan perdamaian antara terdakwa KA dan saksi korban, serta pelaksanaan seluruh isi perjanjian perdamaian oleh terdakwa, telah menciptakan pemulihan hubungan di antara keduanya dalam kehidupan bermasyarakat. Hal tersebut dijadikan sebagai alasan yang meringankan dalam menjatuhkan hukuman.
Atas dasar itu, Majelis Hakim memutuskan untuk memberikan pidana percobaan atau hukuman bersyarat kepada terdakwa KA.
Mendengar putusan tersebut, KA tampak terharu dan menyampaikan terima kasih kepada Majelis Hakim karena telah memutus perkara secara adil dan bijaksana.
Sebelum menutup persidangan, Ketua Majelis Hakim memberikan pesan penting kepada terdakwa KA: agar tidak mengulangi perbuatannya, bukan hanya selama masa percobaan, tetapi juga untuk seterusnya dalam kehidupan sehari-hari.
Putusan pidana percobaan yang dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana dengan menggunakan pendekatan berdasarkan keadilan restoratif tidaklah bertujuan untuk menghapuskan pertanggungjawaban pidana, melainkan adalah untuk menyelaraskan dengan perkembangan sistem pemidanaan sekarang ini yang tidak hanya bertumpu pada pemidanaan terhadap pelaku tetapi juga mengarah pada kepentingan pemulihan bagi korban dan mendorong agar pelaku secara nyata bertanggung jawab untuk menciptakan pemulihan kembali pada keadaan sebelum terjadinya tindak pidana.
Discussion about this post