Jakarta, Radarhukum.id – Keterbatasan layanan hukum di wilayah kepulauan menjadi sorotan dalam kegiatan Pembinaan Kelurahan Sadar Hukum yang berlangsung di Pulau Untung Jawa, Rabu (30/7/2025). Dalam kegiatan tersebut, masyarakat menyambut baik kehadiran advokat dari Peradin dan Mahkamah Kelurahan sebagai solusi konkret bagi ketimpangan akses hukum.
Kepala Bagian Hukum, Ketatalaksanaan dan Kepegawaian Pemkab Administrasi Kepulauan Seribu, Hari, mengakui bahwa kebutuhan warga terhadap bantuan hukum masih tinggi, namun belum diimbangi dengan keberadaan lembaga bantuan hukum yang memadai.
“Banyak sekali permohonan terhadap bantuan hukum di kepulauan seribu pak, kami memang kekurangan sekali kehadiran LBH dan kehadiran notaris. Termasuk juga permintaan penyelesaian terkait urusan pertanahan,” ujarnya.
Ketua Umum Peradin sekaligus Ketua Pembina Posbakumadin, Advokat Ropaun Rambe, yang hadir sebagai narasumber dalam kegiatan itu, menegaskan bahwa Peradin berkomitmen memperkuat layanan hukum di wilayah tertinggal, termasuk lewat kehadiran Mahkamah Kelurahan atau Mahkamah Desa yang saat ini mulai diimplementasikan.
“Negara sudah memberi dasar hukum bantuan hukum gratis melalui UU No. 16 Tahun 2011. Tapi persoalan yang belum terpecahkan adalah ketiadaan Mahkamah Desa atau Mahkamah Kelurahan sebagai forum penyelesaian hukum di tingkat bawah,” ujar Ropaun.
Menurutnya, Mahkamah Desa/Kelurahan bukan gagasan baru. Konsep ini telah hidup sejak masa kolonial melalui regulasi yang dikenal sebagai Peraturan Rafflesia pada 1814. Kini, konsep tersebut dihidupkan kembali dengan pendekatan yang kontekstual dan berbasis kearifan lokal.
“Warga tidak perlu lagi menempuh perjalanan jauh ke pengadilan. Sengketa bisa diselesaikan lewat musyawarah di tingkat desa atau kelurahan,” jelasnya.
Mahkamah Desa/Kelurahan hadir sebagai respons atas minimnya pendampingan hukum di daerah pelosok, termasuk di Kepulauan Seribu. Warga desa kerap mengalami ketidakadilan karena kurangnya pemahaman hukum serta keterbatasan tenaga advokat dan aparat penegak hukum.
Melalui Mahkamah Desa, penyelesaian sengketa akan dilakukan secara dialogis dan berbasis nilai musyawarah. Selain menjadi forum penyelesaian masalah, Mahkamah Desa juga diharapkan menjadi ruang edukasi hukum sekaligus alat kontrol sosial terhadap penyalahgunaan wewenang.
Ropaun menegaskan bahwa inisiatif ini selaras dengan visi Asta Cita Presiden Prabowo Subianto, khususnya poin keenam mengenai pembangunan dari desa, serta poin ketujuh tentang reformasi hukum dan pemberantasan korupsi.
“Hukum harus hadir di balai desa, dalam bahasa masyarakat, dengan pendekatan yang mereka pahami. Ini bukan soal legalitas semata, tapi tentang keadilan yang membumi,” ujarnya.
Ia menambahkan, Mahkamah Desa/Kelurahan juga mendukung upaya menjaga harmoni budaya dan lingkungan sebagaimana tercantum dalam poin kedelapan Asta Cita. Sengketa tidak hanya diselesaikan secara prosedural, tetapi juga mempertimbangkan dimensi sosial dan budaya.
Gagasan Mahkamah Desa/Kelurahan tidak berdiri tanpa dasar. Menurut Ropaun, nomenklatur Mahkamah Desa/Kelurahan telah dikeluarkan oleh Kementerian Hukum dan HAM RI dan didukung sejumlah regulasi, antara lain: Undang-Undang No. 3 Tahun 2024 tentang Desa, Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 2014, Permendesa PDTT No. 6 Tahun 2020, UU No. 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum, Pedoman Kepala BPHN Tahun 2023, Permendagri No. 18 Tahun 2018, PP No. 42 Tahun 2013.
Kegiatan pembinaan hukum di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu ini turut dihadiri Kepala Bagian Hukum ketatalaksanaan dan kepegawaian Kepulauan Seribu, Pengurus Daerah Ikatan PPAT Jakarta Utara, Kepala Kanwil Kementerian Hukum, Forkopimcam, lurah, dan perwakilan masyarakat.**
Discussion about this post