Affan Kurniawan, anak muda 21 tahun, berangkat pagi itu dengan niat sederhana: mencari nafkah. Setang motor adalah kantor, helm adalah seragam, dan orderan adalah gaji hariannya. Namun, di tengah hiruk-pikuk demonstrasi di Senayan, hidupnya dirampas dengan cara yang begitu absurd: terlindas kendaraan taktis yang katanya disiapkan untuk menjaga keamanan rakyat. Ironi pun tumpah ruah di jalanan ibukota: rakyat mencari makan, rakyat pula yang terinjak.
Kita diajari sejak kecil bahwa polisi adalah pengayom, pelindung, penolong. Tapi, bagaimana rakyat bisa percaya ketika pelindung justru menjadi ancaman? Kalau negara ini rumah, maka aparat adalah pintunya. Tapi hari itu, pintu justru menutup keras, menghantam siapa saja yang berdiri di depannya. Seorang anak muda pun meregang nyawa. Dan bangsa ini kehilangan lagi sepotong masa depan yang mestinya masih panjang.
Saya tidak ingin ikut-ikutan menyalahkan sepenuhnya individu di balik setir rantis itu. Bisa jadi ia hanya menjalankan perintah. Tapi justru di situlah masalahnya. Kita ini sering terjebak pada sistem yang membenarkan kekerasan dengan alasan prosedur. Padahal prosedur tanpa hati nurani hanyalah mesin. Dan mesin, kita tahu, tak pernah bisa merasa bersalah ketika melindas manusia.
Permintaan maaf dari para petinggi kepolisian tentu terdengar sopan. Namun, maaf yang tidak disertai dengan kebenaran dan keadilan hanyalah formalitas. Kata “maaf” memang ringan, tetapi nyawa tidak bisa dikembalikan dengan kata. Keluarga Affan tidak butuh seremonial belasungkawa, mereka butuh keadilan yang nyata. Dan masyarakat luas pun menunggu: apakah negara ini benar-benar berpihak pada rakyat, atau hanya pada gedung-gedung megah yang dijaganya?
Kita sering menganggap tragedi semacam ini sebagai kasus biasa, yang sebentar lagi akan tenggelam ditelan berita baru. Tapi ingatlah, setiap Affan yang gugur adalah peringatan bahwa kita semua bisa saja menjadi korban berikutnya. Jika negara tidak segera berbenah, maka rantis bisa muncul di mana saja, dan siapa pun bisa terinjak atas nama keamanan. Apakah kita rela terus-menerus menjadi bangsa yang membiarkan darah anak mudanya tumpah percuma?
Affan sudah pergi, tapi pertanyaannya tertinggal untuk kita semua: sampai kapan rakyat harus menunggu negara yang benar-benar melindungi, bukan menakut-nakuti? Selama nyawa rakyat masih dianggap remeh, tanda kehormatan apa pun yang disematkan pada seragam aparat hanyalah simbol kosong. Sebab kehormatan sejati bukanlah medali, melainkan kesetiaan kepada manusia (***)
Discussion about this post