Indonesia memang negeri yang unik. Kalau ada festival musik, tiketnya bisa susah dicari. Tapi kalau festival skandal politik? Tiketnya gratis, acaranya tayang sepanjang tahun, dan pemainnya selalu kelas wahid: menteri, gubernur, sampai pejabat yang dulu dielu-elukan sebagai “pembawa cahaya peradaban”.
Sekarang panggungnya ditempati dua nama yang kita kenal: Nadiem Makarim dan Yaqut Cholil Qoumas. Dulu mereka masuk kabinet dengan wajah penuh harapan. Nadiem membawa jargon teknologi dan inovasi, Yaqut mengibarkan bendera moderasi dan toleransi. Lengkap sudah: muda, pintar, modern, religius. Tapi begitulah panggung politik kita—aktor bisa berganti peran dalam semalam. Dari “pembaharu bangsa” tiba-tiba berubah jadi “tersangka”.
Orang Jawa bilang, yen wis kepenak, gampang kelalen. Begitu sudah nyaman duduk di kursi empuk, gaji lumayan, fasilitas berlimpah, yang lupa justru mandat rakyat. Yang diingat malah anggaran. Apalagi kalau melihat sejarah, hampir tak ada periode pemerintahan yang benar-benar bebas dari korupsi. Jadi, pertanyaannya: kita ini sedang menonton drama baru, atau sekadar menyaksikan tayangan ulang dari lakon lama?
Yang lebih lucu, rakyat sejatinya penonton yang cerewet. Marah-marah di media sosial, debat kusir di warung kopi, bikin meme kocak di WhatsApp. Tapi setelah itu? Ya sudah. Skandal datang dan pergi, pejabat masuk penjara lalu keluar lagi, bahkan balik jadi caleg. Penonton tetap setia beli tiket, tetap tepuk tangan. Jangan-jangan kita ini bukan korban, tapi penikmat hiburan gratis bernama politik.
Kalau teater biasanya ada sutradara, politik Indonesia lebih mirip pasar malam. Ramai, penuh lampu warna-warni, musik keras, tapi semua orang sibuk jualan sendiri. Bedanya, yang dijual bukan kacang rebus atau balon, melainkan integritas bangsa. Anehya, kita tetap betah datang setiap malam.
Maka kalau hari ini nama Nadiem dan Yaqut ikut terseret, sebetulnya jangan kaget. Sebab di negeri ini, pejabat tanpa skandal justru kelihatan aneh. Ibarat main wayang tanpa gamelan—lenggang, tapi hambar.
Jadi, pertanyaannya sekarang: kita mau terus jadi penonton pasif, atau mulai merebut panggung? Kalau tidak, ya siap-siap saja: aktornya boleh berganti, tapi naskahnya akan tetap sama (***)




























Discussion about this post