Jakarta, Radarhukum.id – Dewan Pergerakan Advokat Republik Indonesia (DePA-RI) menyatakan keprihatinan mendalam atas penangkapan dan penetapan tersangka terhadap seorang mahasiswi Institut Teknologi Bandung (ITB) berinisial SSS, yang diduga melanggar Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) karena mengunggah meme satire bergambar Presiden Prabowo Subianto dan mantan Presiden Joko Widodo.
Ketua Umum DePA-RI, Dr. TM Luthfi Yazid, S.H., LL.M., menilai langkah aparat penegak hukum tersebut sebagai bentuk tindakan berlebihan dan tidak proporsional. Menurutnya, meme yang dipersoalkan merupakan ekspresi seni yang bernuansa kritik sosial dan satire politik, bukanlah bentuk informasi bohong atau pornografi sebagaimana yang diatur dalam Pasal 27 ayat (1) jo Pasal 45 ayat (1), serta Pasal 35 jo Pasal 51 ayat (1) UU ITE.
“Ini jelas bukan perbuatan melawan hukum. Tidak ada unsur yang terpenuhi secara objektif dalam pasal-pasal tersebut. Jika hal ini dipaksakan, maka kami melihatnya sebagai bentuk kriminalisasi terhadap kebebasan berekspresi yang akan menimbulkan ketakutan publik,” ujar Luthfi dalam keterangan persnya, Sabtu (10/5/2025).
Luthfi menekankan, kritik terhadap pemimpin negara, termasuk presiden, tidak otomatis dapat dikategorikan sebagai kebencian bersifat pribadi. Ia merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 105/PUU-XXII/2024 yang secara eksplisit menyebutkan bahwa lembaga pemerintah, jabatan publik, maupun korporasi tidak termasuk pihak yang dapat mengadukan pencemaran nama baik dalam konteks delik pidana.
“Bisa saja seseorang mengkritik presiden karena rasa cinta dan kepeduliannya terhadap negara. Ia ingin menyampaikan keresahan, dan salah satu caranya melalui media seni. Ingat, ‘if you are open for criticism, you are on the right track for improvement'. Itu prinsip yang harus dijaga dalam negara demokrasi,” tegasnya.
DePA-RI juga mengapresiasi langkah ITB yang menyatakan komitmen untuk mendampingi SSS secara akademik dan psikologis. Menurut Luthfi, kampus adalah ruang aman bagi ekspresi kritis dan keberanian moral yang konstruktif. Ia juga menyambut baik permintaan maaf terbuka dari pihak keluarga SSS sebagai bentuk itikad baik.
“ITB adalah rumah intelektual muda yang akan memimpin Indonesia ke depan. Membungkam suara mereka bukan hanya mencederai demokrasi, tapi juga merusak masa depan bangsa. Kasus ini tidak bisa dilanjutkan dengan pendekatan represif,” ujarnya.
DePA-RI menyerukan agar proses hukum terhadap SSS segera dihentikan, nama baiknya dipulihkan, dan kebebasan berekspresi dilindungi. Luthfi menegaskan bahwa penegakan hukum seharusnya tidak dilakukan secara tunggal dan kaku, melainkan dengan menjunjung tinggi prinsip hak asasi manusia, kebebasan akademik, serta konstitusi negara.
“Kami mendesak agar aparat menghentikan proses pidana dan membebaskan SSS. Putusan MK itu sifatnya final and binding, harus dihormati. Jangan rusak demokrasi kita dengan penafsiran hukum yang sempit,” pungkasnya.**
Discussion about this post