Oleh: Ifanko Putra
Memaafkan kesalahan yang dilakukan orang lain terhadap kita memang terasa sulit, namun ketahuilah bahwa, orang yang kuat dan berjiwa besar mampu melakukan hal tersebut.
Pemenang sejati adalah mereka yang mampu memaafkan kesalahan yang diperbuat orang lain kepadanya. “Memaafkan adalah kemenangan terbaik,” kata sahabat Nabi Muhammad SAW, Ali Bin Abi Thalib.
Soal memaafkan, sesungguhnya tidak ada teladan yang paling baik selain Nabi kita Muhammad SAW. Berbagai perlakuan tidak pantas yang dihadapi Nabi Muhammad selalu diterimanya dengan lapang dada. Ketika Nabi memiliki kesampatan untuk membalas, dia justru memilih memaafkan dan merangkul mereka yang telah menyakitinya, hingga akhirnya banyak diantara mereka yang semula memusuhi beliau kemudian menjadi sahabat dekat dan loyalisnya.
Namun, bagaimanapun juga beliau adalah Nabi, yang tentu saja kadar keimanan dan kepribadiannya tidak sama dengan kita manusia biasa.
Ada satu kisah yang manis dan menarik dari kehidupan nyata seorang tokoh kita soal memaafkan ini yang akan penulis ceritakan,
Dahulu, pada penghujung bulan Januari, tahun 1964, seorang lelaki berusia 58 tahun dijemput paksa oleh tiga orang polisi dan dijebloskan ke penjara atas perintah penguasa ketika itu.
Lelaki tua tersebut dituduh dengan berbagai macam tudingan. Ketika di dalam tahanan, lelaki itu diinterogasi dengan kejam layaknya penjahat selama 15 hari lamanya.
Betapa pedih dan remuknya hati lelaki tua itu mendapat perlakuan yang demikian rupa. Dia yang turut bertungkuslumus berjuang untuk negara, malah disebut sebagai penghianat bangsa. Ia sampai menitikkan air mata mendengar kata-kata yang begitu keji dihadapkan kepadanya. Namun pemahaman iman di dadanya membuatnya bisa tabah menjalani berbagai cobaan.
Waktu bergulir dan berjalan, dia dipenjara selama lebih kurang 2 tahun 4 bulan dengan menanggung serta berbagai sakit di badannya.
Setelah menjalani hukuman penjara karena dosa yang tidak dilakukannya sama sekali selama dua tahun tersebut, dia kemudian dibebaskan dan kembali menjalani hidup secara normal.
Sementara itu, kekuasaan bergulir, penguasa lama berganti dengan penguasa baru. Sebenarnya, penguasa tersebut merupakan sahabat dekat orangtua itu, karena berlainan pandangan dan kesalahpahaman lah yang memicu peristiwa di atas.
Hingga pada tahun 1970 sahabatnya yang penguasa tersebut wafat, wafatnya membawa sebuah pesan menunjuk seseorang yang mesti menjadi imam sholat jenazahnya. Yang dimaksud adalah orang tua yang dipenjara tadi.
Kemudian datang utusan ke rumah orang tua itu, dia menyampaikan pesan yang diamanatkan kepadanya, untuk meminta kesediaan orang tua tersebut menjadi imam sholat jenazah.
Lantas apa yang terjadi?
Orang tua itu menyanggupi permintaan terakhir sahabatnya. Dengan tergesa-gesa, dia menuju ke rumah duka dan menjadi imam sholat penghabisan untuk sahabat yang pernah memenjarakannya itu. Jelang disemayamkan, dia merenung dalam, membayangkan persahabatan yang telah lama terjalin. Tak ada dendam dan sakit hati yang tersisa sama sekali pada dirinya.
Lelaki tua itu adalah Haji Abdul Malik Karim Amrullah, atau yang kita kenal dengan Buya Hamka.
Sedangkan sahabatnya yang penguasa tersebut adalah Ir. Soekarno presiden pertama Indonesia.
Kisahnya selama di penjara ditulis oleh Buya Hamka dalam bukunya Tasawuf Modern, dan kisah lain ditulis oleh anaknya Irfan Hamka dalam buku yang berjudul Ayah, Kisah Buya Hamka.
Betapa manisnya kisah pemaaf Buya Hamka tersebut yang tetap dikenang sejarah sampai sekarang.
Pada momen yang sama, menjelang Hamka dipenjara, nama baiknya terlebih dahulu berupaya dihancurkan oleh sejumlah surat kabar yang berafiliasi kepada Partai Komunis Indonesia. Dia dituduh sebagai plagiat atas karya tulisnya. Ia dihakimi oleh media massa dengan bermacam tuduhan. Namanya jatuh ketika itu, pendapatannya yang biasanya dari karya tulis nyaris terhenti sama sekali, anaknya di sekolah juga dibuli oleh kawan-kawannya karena propaganda tersebut. Salah satu orang yang ikut andil menyerang Hamka adalah sastrawan Pramudya Ananta Tour.
Namun bertahun-tahun setelahnya, Pramoedya mengutus anak dan menatunya untuk belajar agama kepada Hamka. Bahkan Hamka diminta langsung untuk mengislamkan sang menantu. Lagi-lagi Hamka tidak menolak, mereka disambut dengan santun dan hangat lalu diajari ilmu agama oleh Hamka, banyak yang berasumsi ini sebagai bentuk permintaan maaf dari Pram.
Tidak ada sedikitpun dendam dalam hatinya. Keikhlasan dan sifat pemaaf Hamka tersebut ternyata membawa berkah yang tidak ternilai.
Selama dipenjara, dia berhasil merampungkan tafsir Al-Azhar yang kemudian diakui dan menjadi salah satu karya terkemuka dalam dunia Islam.
Karya-karya tulis Hamka tetap dinikmati hingga kini. Namanya dikenang dengan baik sampai sekarang bahkan hingga ke negeri jiran Malaysia.
Hamka menjadi satu contoh bahwa memaafkan pada akhirnya memenangkan dirinya dan mengharumkan namanya di kemudian hari bahkan setelah ia tiada. Keikhlasan dan sifat pemaafnya patut dijadikan teladan.
Benar kata Konfusius, Filsuf besar dari Tiongkok. “Mereka yang tidak bisa memaafkan orang lain, menghancurkan jembatan yang akan dilewatinya.”
Hamka telah membuktikan, dia memaafkan dan merajut jembatan untuk dilewatinya hingga ia sampai ke penghujung jalan dengan tenang.
Dia melanggang hingga ke akhir hayat tanpa membawa beban dalam jiwanya.
Soal memaafkan ini sendiri ternyata pernah diteliti oleh berbagai ahli kesehatan. Dari sejumlah penelitian, memaafkan ternyata mampu nengurangi berbagai penyakit akibat memendam perasaan marah, seperti penyakit otak, penyakit jantung, dan penyakit nyeri kronis.
Memafkan kesalahan orang lain mendapat bonus sehat, dan kita akan menjadi pemenang dalam hati kita dan juga dalam kehidupan.
Tulisan ini, dikutip dari buku saya, ‘Pesan Ayah kepada Anaknya' diterbitkan oleh Penerbit Haura, 2020
Discussion about this post