Oleh: Ifanko Putra
Prinsip hidup dan harga diri merupakan dua kemewahan utama yang kita miliki
meskipun seandainya jika kita tidak mempunyai banyak uang dan bukan pula sebagai orang terpandang serta memiliki jabatan mentereng.
Sebisa mungkin jangan “tundukkan kepala” dan jangan rendahkan harga diri di hadapan siapa saja, apapun itu status sosialnya. Menunjukan rasa hormat boleh saja, bersikap sopan santun itu harus, namun ada batas-batas tertentu yang jangan sampai membuat kedua hal tadi tergadai. Prinsip hidup dan harga diri tidak dapat dibeli dengan harga berapa pun juga.
Harga diri dan kehormatan diri itu adalah satu, ia melekat pada setiap manusia. Orang yang menjaga harga dirinya tidak akan dengan mudah menjilat dan “menekurkan kepala” kepada orang lain untuk memuluskan keinginannya. Dia lebih menjaga integritasnya sebagai manusia yang merdeka.
Sedangkan prinsip hidup adalah keteguhan yang dipegang berdasarkan landasan yang dianggap benar dalam hidup. Prinsip hidup mestilah berpegang kepada yang benar dan bertongkat kepada nilai-nilai agama, juga tidak berlawanan dengan hukum yang berlaku.
Maka, jika sesuatu yang menjadi prinsip itu benar dan tidak bertentangan dengan nilai agama dan hukum, pegang teguh lah. Jangan biarkan dipatahkan oleh siapa pun.
Mengapa prinsip hidup dan harga diri merupakan suatu kemewahan? Karena tidak semua orang bisa memilikinya. Disebabkan tuntutan hidup, sangat banyak orang yang menggadaikan harga dirinya dengan hidup sebagai penjilat, penipu, koruptor, atau lebih rendah dari itu. Hanya jiwa-jiwa yang beritegritaslah yang memilikinya.
Walaupun betapa besarnya godaan dan rintangan, namun prinsip hidup janganlah luntur.
Pada akhir tahun 400 Sebelum Masehi (SM), tersebutlah seorang lelaki tua yang bijaksana di Athena, Yunani. Lelaki itu terkenal adil dan berbudi luhur. Dia tidak pernah menyakiti orang lain demi memperoleh keuntungan pribadinya. Dalam beberapa catatan dia bahkan disebut tidak pernah berbuat kekeliruan, Ia sangat teliti lagi cerdik. Sepanjang masa tuanya, Ia banyak berdialog serta berdiskusi dengan siapa saja tentang filosofi dan kebenaran, lantas menyebarkan kedamaian dan pemikiran-pemikiran luhur kepada segenap pemuda yang dijumpainya. Hal yang paling mencolok adalah dia tidak takut untuk menjadi berbeda. Ketika itu, ia kerap mengeluarkan suara yang berlawanan dengan kekuasaan. Hingga suatu kali, disebabkan penguasa tidak menyukai gerak-geriknya, lelaki tua itu kemudian dihadapkan ke pengadilan dengan dua macam tuduhan.
Tuduhan pertama, ia keluar dari jalur karena tidak mempercayai dewa-dewa yang diakui oleh negara masa itu. Tuduhan kedua, Ia dianggap sebagai perusak jiwa pemuda Athena.
Di pengadilan, dia diberi dua pilihan: meminum racun atau berhenti menebarkan ajaran filosofinya.
Yang mengejutkan, lelaki tua itu lebih memilih mati dengan meminum racun ketimbang menghentikan prinsip-prinsip yang dipegangnya. Meskipun memiliki kesempatan lepas dari hukuman karena dibantu oleh beberapa orang kawannya, dia lebih memilih minum racun dengan alasan patuh pada hukum yang berlaku demi mempertahankan integritas dirinya. Hidupnya kemudian berakhir setelah menenggak racun dengan membawa prinsip yang dipegangnya erat.
Lelaki itu bernama Socrates, filsuf Yunani kuno yang namanya dikenang hingga sekarang sebagai ahli filsafat. Ia dianggap sebagai yang pertama-tama mencetuskan filosifi barat kuno. Socrates satu contoh tokoh dalam sejarah yang rela mati demi prinsip yang dipegangnya.
Ia dikenang hingga kini, sampai berpuluh-puluh abad lamanya, sebagai seorang yang memegang teguh prinsip bahkan hingga menjemput kematiannya.
Kita tentu tak harus menjadi seperti Socretes, namun keteguhannya dalam berprinsip bisa dijadikan pelajaran.
Thomas Jeferson, Presiden ke 3 Amerika pernah mengatakan hal yang menarik soal prinsip. Begini katanya: “Dalam hal gaya, berenanglah mengikuti arus. Namun dalam berprinsip, berdirilah bagaikan batu karang.”
Maka peganglah prinsip kebaikan dalam hidup dan jagalah selalu kehormatan diri.
Banyak memang, dan ada saja di tempat mana pun orang yang tidak menghargai kita dan merendahkan kita. Namun dengan begitu bukan berarti kita serta merta menjadi rendah. Bergaul lah dengan orang-orang yang bisa menghargai, berada lah di sekitar orang yang bisa membuatmu bertumbuh. Kurangi bergaul dengan mereka yang merendahkan dan melemahkan, namun jangan musuhi mereka.
Soal harga diri, sekali lagi, merupakan sesuatu hal yang tidak dapat ditawar.
Meskipun suatu saat nanti nasib menghempaskan Anda menjadi orang yang kurang beruntung dari segi finansial, namun harga diri dan kehormatan diri mestinya tidak boleh dikurangkan.
Menjaga harga diri adalah dengan menjaga sikap agar tidak melakukan perbuatan yang tercela juga dengan tidak bertuan secara batiniah kepada manusia manapun. Kita mestinya tidak boleh terlalu mengikatkan diri dan berhutang budi kepada siapapun, sebab dengan begitu kemerdekaan jiwa akan berkurang.
Orang yang berprinsip akan hidup seperti singa di rimba. Dia tangguh, kuat dan tak tergoyahkan. Semua penghuni rimba menaruh segan kepadanya.
Sebaliknya orang tanpa prinsip dan tidak menjaga marwah harga dirinya akan hidup layaknya domba, ia digiring kesana kemari dan hidup dan mati berdasarkan kehendak tuannya, bukan karena kemauannya sendiri.
Benar kata Muhammad Iqbal atau Allama Iqbal seorang penyair dan filsuf besar berdarah Punjab, India.
“Sehari singa di rimba, seribu tahun bagi domba,” kata Iqbal.
Benito Musolini juga mengatakan hal yang hampir serupa. “Lebih baik hidup sehari sebagai singa, daripada hidup 100 hari sebagai domba.”
Benito Musolini adalah mantan perdana menteri Italia yang terkenal akan kediktatorannya, jalan hidupnya memang tak pantas untuk ditiru, namun beberapa patah kalimat yang diucapkannya seperti di atas layak untuk kita renungkan dalam konteks mempertahankan prinsip kebenaran dan harga diri.
Peliharalah selalu marwah harga diri dan juga jaga prinsip yang dipegang.*
(Salah satu tulisan saya dalam buku Pesan Ayah kepada Anaknya)
Discussion about this post