Oleh: Dr. (C). H. Tirtayasa, S.Ag., M.A., C.NLP., C.LCWP.
Widyaiswara Ahli Muda (Junior Trainer) BKPSDM Kabupaten Natuna,
Kandidat Doktor PAI pada Universitas Muhammadiyah Malang,
Penerima Beasiswa Kaderisasi Seribu Ulama Doktor MUI-Baznas Pusat Angkatan 2021.
Pendahuluan
Pertanggungjawaban kepada publik atau masyarakat atas pelaksanaan tugas dan fungsi oleh penyelenggara pemerintahan merupakan hal yang mutlak untuk dilakukan. Hal ini dilatari oleh tugas dan fungsi serta kewenangan yang dimiliki penyelenggara pemerintahan merupakan amanat yang diberikan oleh rakyat sebagai pemilik kekuasaan dan pemegang kedaulatan yang dijamin oleh konstitusi. Sebab itu, penyelenggaran pemerintahan dengan kekuasaan dan kewenangan yang diberikan melalui proses sistem demokrasi dan dengan penggunaan sumber daya keuangan yang bersumber dari masyarakat berkewajiban untuk bertanggung jawab (accountability) kepada publik. Akuntabilitas menjadi landasan bagi proses untuk penyelenggaraan kepeme-rintahan yang baik (good governance) dan keberadaannya menentukan pelaksanaan tugas dan tanggung jawab yang benar-benar akuntabel (Polihu, 2020).
Akuntabilitas merupakan upaya membangun kepercayaan dan memenuhi hak-hak masyarakat. berpendapat bahwa organisasi harus membangun akuntabilitas berdasarkan harapan prinsipal (pemberi wewenang), bukan hanya untuk kepentingan agen, tapi juga untuk membangun kepercayaan publik. Hal ini dikarenakan akuntabilitas bertujuan untuk meningkatkan kepercayaan publik (Alessandro et al., 2021; Beshi dan Kaur, 2020; Al-Muddatstsir et al., 2018; Randa dan Daromes; 2014; Schmidthuber et al., 2021; Wati et. al., 2022).
Akuntabilitas ASN memegang peran krusial dalam menjaga integritas dan kredibilitas pemerintahan. Sebagai garda terdepan dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, ASN memiliki tanggung jawab besar untuk menjalankan tugasnya secara efektif, efisien, dan berakuntabilitas (akuntabel).
Dalam pandangan Islam, akuntabilitas menjadi bagian tak terpisahkan dari konsep amanah (kepercayaan) yang diberikan oleh Allah. Setiap tindakan dan keputusan ASN menjadi catatan yang akan dihisab di akhirat, sehingga penting untuk memastikan bahwa setiap langkah yang diambil ASN selaras dengan nilai-nilai Islam. Tulisan ini selanjutnya akan membahas lebih jauh tentang core value ASN akuntabel dalam perspektif Islam.
Konsep Dasar Akuntabilitas
Akuntabilitas merupakan kata yang sangat populer dalam perdebatan globalisasi. Secara etimologis, akuntabilitas berasal dari bahasa Latin “accomputare” yang berarti memper-tanggungjawabkan dan menghitung, berasal dari kata dasar “computare” yang berarti memperhitungkan, yang juga berasal dari kata “putare” yang berarti mengadakan perhitungan. Akuntabilitas yang diserap dari bahasa Inggris “accountability” tersusun dari dua kata, yaitu “account” (catatan, rekening, laporan) dan “ability” (kemampuan). Kesimpulannya, akuntabilitas dapat diartikan sebagai kemampuan untuk menyediakan catatan atau laporan yang dapat dipertanggungjawabkan. Akuntabel mengandung arti dapat dipertanggungjawabkan dan memiliki sifat bertanggung jawab (Boland dan Schultze, 1996; Fitria, 2017; KBBI, 2024; Kholmi, 2012; Lee, 2004; Sudaryanti, 2009; Qolbi, 2015).
Kata “accountability” dalam kamus Webster's Unabridged Dictionary diartikan sebagai “the state of being accountable; liability to be called on to render an account; the obligation to bearthe consequences for failure to performas expected (dalam keadaan mampu memberikan pertanggungjawaban, yaitu mampu memenuhi kewajiban untuk menanggung konsekuensi dari kegagalan karena tidak mampu bertindak sesuai yang diharapkan) (Sudaryanti, 2009).
Akuntabilitas memang sulit didefinisikan (Andrew, 2007; Toms, 2006; Kusdewanti dan Hatimah, 2016), namun demikian akuntabilitas dapat dilihat sebagai bentuk pertanggungjawaban dengan menggunakan teknik-teknik pengukuran serta rasionalitas (Andrew, 2007; Kusdewanti dan Hatimah, 2016). Akuntabilitas adalah penjelasan tentang cerita dan perhitungan yang melibatkan nilai moral. Refleksi perhitungan menciptakan makna nilai yang mengungkapkan angka dalam laporan keuangan. Namun, masalah akuntabilitas muncul dari para praktisi sistem legislatif sendiri, kontrak dan mekanisme (Scott, 2000; Fitria, 2017). Pelaku bisa dikatakan orang-orang yang terlibat dalam fungsi legislasi, kontrak, dan organisasi mekanisme sebagai representasi akuntabilitas (Fitria, 2017).
Akuntabilitas adalah kata yang seringkali didengar, tetapi tidak mudah untuk dipahami. Ketika seseorang mendengar kata akuntabilitas, yang terlintas adalah sesuatu yang sangat penting, tetapi tidak mengetahui bagaimana cara mencapainya. Dalam banyak hal, kata akuntabilitas sering disamakan dengan responsibilitas atau tanggung jawab. Namun pada dasarnya, kedua konsep tersebut memiliki arti yang berbeda. Responsibilitas adalah kewajiban untuk bertanggung jawab yang berangkat dari moral individu, sedangkan akuntabilitas adalah kewajiban untuk bertanggung jawab kepada seseorang/orga-nisasi yang memberikan amanat. Dalam konteks ASN, akuntabilitas adalah kewajiban untuk mempertanggungjawabkan segala tindak dan tanduknya sebagai pelayan publik kepada atasan, lembaga pembina, dan lebih luasnya kepada publik (Matsiliza and Zonke, 2017; Handoko, 2021).
Dalam administrasi publik modern, akuntabilitas adalah raja dan terukur hasil adalah suatu keharusan (Hodge, 1993; Paterson, 1990; Rewa, 2015). Akuntabilitas sering digunakan dalam arti yang agak pengertian luas, misalnya sering disamakan dengan konsep evaluasi, namun dalam arti luas hakekatnya akuntabilitas merupakan suatu konsep yang dapat disaingi dengan daya tanggap, tanggung jawab, dan efektivitas. Berdasarkan definisi yang sempit, akuntabilitas adalah seperangkat dimensi yang dapat digunakan untuk meng-gambarkan berbagai macam akuntabilitas hubungan dan strukturnya dapat ditemukan di berbagai domain pemerintahan (Ismail and Haning, 2021).
Akuntabilitas merupakan konsep mengenai perilaku untuk mengawasi pihak lain, untuk menilai apakah mereka telah memenuhi tanggung jawab mereka, dan untuk menerapkan sanksi jika mereka ini belum memenuhi tanggung jawab (Mashaw, 2006; Prasetio, 2017). Kewajiban untuk memberikan laporan kepada orang lain, untuk menjawab berbagai pertanyaan tentang bagaimana berbagai sumber daya telah digunakan dan apa dampaknya (Trow, 1996; Prasetio, 2017). Akuntabilitas merupakan pertanggung-jawaban manajemen atau penerima amanah kepada pemberi amanah atas pengelolaan sumber-sumber daya yang dipercayakan kepadanya baik secara vertikal maupun secara horizontal (Endahwati, 2014; Prasetio, 2017).
Hubungkan dua pihak dalam pengertian akuntabilitas bisa dijelaskan dalam dua teori dengan sudut pandang yang berbeda. Teori yang pertama adalah teori yang menganggap hubungan dua pihak sebagai sesuatu yang bersifat mekanis dan terukur. Teori-teori tersebut adalah teori keagenan, teori stakeholder dan teori legitimasi. Sudut pandang yang berbeda, ditawarkan oleh teori strukturasi Giddens, yang menganggap hubungan dua pihak sebagai suatu interaksi, antara manusia dan lingkungannya. Bagian berikut dibahas lebih lanjut dua sudut pandang yang berbeda tersebut dari masing-masing teori (Sudaryanti, 2009).
Hubungan akuntabilitas melibatkan dua pihak, yaitu pihak pemberi wewenang (tanggung jawab) dan pihak penerimanya. Teori yang terkait dengan konsep hubungan dua pihak yang dapat digunakan untuk menjelaskan konsep akuntabilitas adalah agency theory, stakeholders theory, dan legitimacy theory. Dalam ketiga teori tersebut, hubungan akuntabilitas dianggap sebagai sesuatu yang mekanis, perilaku pelaku-pelakunya bisa diduga dan dikendalikan. Berdasarkan agency theory, akuntabilitas muncul sebagai akibat dari pelimpahan wewenang dari prinsipal kepada agen. Gray et al. (1987) menyatakan bahwa akuntabilitas hanya terjadi jika terjadi kontrak antara prinsipal dan agen. Dengan kata lain, akuntabilitas muncul jika hanya ada kontrak antara pemberi wewenang yang memerlukan pertanggunjawaban atas pelimpahan wewenangnya, dengan pihak yang diberi wewenang atas pelaksanaan wewenang tersebut. Singkatnya, tujuan dari akuntabilitas merupakan penilaian kinerja pelaksanaan wewenang. Dengan dasar penilaian tersebut, prinsipal akan memberi tindak lanjut, yang bisa berupa reward (hadiah) atau punishment (hukuman), sesuai kontrak yang sudah disepakati dalam pelimpahan wewenang (Kholmi, 2010; Sudaryanti, 2009).
Hubungan agensi dianggap sebagai model yang paling umum dalam interaksi sosial, seperti hubungan pekerja dan atasannya, pemerintah dan warga negara, pemegang saham dan manajer. Teori agensi menggambarkan sifat relasi dua pihak, antara yang diberi wewenang untuk melakukan sesuatu (agen) dengan prinsipal untuk melakukan sesuatu seperti yang dikehendaki pemberi wewenang sebagaimana diatur dalam kontrak (Sudaryanti, 2009).
Hampir serupa dengan penjelasan dalam teori keagenan, akuntabilitas dalam stakeholders theory juga muncul sebagai konsekuensi dari adanya hubungan antara perusahaan dan stakeholders-nya. Stakeholders theory menurut Jensen (2000), menuntut perusahaan untuk memperhatikan kepentingan semua stakeholders perusahaan, tidak hanya kepentingan perusahaan. Stakeholders adalah semua pihak yang memiliki kepentingan dengan perusahaan, misalnya karyawan, pelanggan, masyarakat, aparat pemerintah, dan lain-lain. Jadi, pihak yang dianggap memiliki kontrak dengan manajemen (perusahaan) sebagai agen, yaitu prinsipal, tidak lagi sebatas pemilik perusahaan tapi meluas ke banyak pihak (Sudaryanti, 2009).
Konsep akuntabilitas dengan demikian adalah kemampuan manajemen memberikan pertanggungjawaban kepada semua stakeholders, tidak hanya kepada investor. Akuntabilitas perusahaan juga ditujukan kepada masyarakat, pemerintah, bahkan dalam konsep sustainability development (pembangunan berkelanjutan), hingga generasi mendatang. Konsep akuntabilitas dalam teori legitimasi merupakan upaya organisasi untuk mendapatkan legitimasi dari masyarakat atas keberlangsungan organisasi. Organisasi dikatakan mendapat legitimasi dari masyarakat jika ia dianggap beroperasi dan memiliki tujuan yang sesuai dengan norma, nilai, dan harapan masyarakat (Dowling dan Pfeffer, 1975; Ashforth dan Gibbs 1995). Legitimasi menjustifikasi peran organisasi dalam sistem sosial masyarakat dan membantu dalam mendapatkan sumber daya dan dukungan dari konstituen, sehingga dalam hal ini legitimasi juga merupakan sumber daya itu sendiri (Ashforth dan Gibbs, 1995; Sudaryanti, 2009).
Salah satu upaya untuk mendapatkan legitimasi adalah penggunaan kekuasaan dan sanksi, juga dengan penggunaan standar tertentu (Rusch dan Wilbur, 2007). Salah satu bentuk manifestasi penggunaan standar sebagai dasar penilaian adalah mekanisme akuntabilitas. Karena akuntabilitas juga merupakan salah satu upaya untuk mendapatkan legitimasi, jadi bisa dikatakan,bahwa akuntabilitas dalam teori legitimasi juga merupakan sumber daya perusahaan (Sudaryanti, 2009).
Seperti yang telah disebutkan, tiga teori yang melandasi hubungan akuntabilitas, menganggap akuntabilitas sebagai sesuatu yang bersifat mekanis. Sebagai sebuah konsekuensi dari terjadinya kontrak, maka muncul akuntabilitas. Diasumsikan, perilaku manusia bisa diprediksi dan dikendalikan dengan mekanisme kontrak.
Cara pandang yang berbeda pada akuntabilitas ditawarkan oleh Robert dan Scapens (1985). Cara pandang mereka terhadap akuntabilitas didasarkan pada teori strukturasi Giddens. Berdasarkan pandangan Giddens tersebut, Robert dan Scapens (1985) menyatakan, proses beroperasinya sistem akuntabilitas bisa dianggap sebagai hasil dari interaksi individu dalam organisasi secara berkesinambungan, sehingga menghasilkan struktur pemaknaan (signification), struktur moral (legitimation) dan struktur kekuasaan (domination) tertentu (Sudaryanti, 2009).
Akuntabilitas merujuk pada kewajiban setiap individu, kelompok atau institusi untuk memenuhi tanggung jawab dari amanah yang dipercayakan kepadanya. Amanah seorang ASN menurut Surat Edaran Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 20 Tahun 2021 adalah menjamin terwujudnya perilaku yang sesuai dengan core values ASN Ber-AKHLAK (Handoko, 2021).
Aspek-aspek Akuntabilitas
Ada beberapa aspek akuntabilitas. Pertama, akuntabilitas adalah sebuah hubungan (accountability is a relationship). Hubungan yang dimaksud adalah hubungan dua pihak antara individu/kelompok/institusi dengan negara dan masyarakat. Pemberi kewenangan bertanggung jawab memberikan arahan yang memadai, bimbingan, dan mengalokasikan sumber daya sesuai dengan tugas dan fungsinya. Di lain sisi, individu/kelompok/institusi bertanggung jawab untuk memenuhi semua kewajibannya. Oleh sebab itu, dalam akuntabilitas, hubungan yang terjadi adalah hubungan yang bertanggungjawab antara kedua belah pihak (Handoko, 2021).
Kedua, akuntabilitas berorientasi pada hasil (accountability is results-oriented). Hasil yang diharapkan dari akuntabilitas adalah perilaku aparat pemerintah yang bertanggung jawab, adil dan inovatif. Dalam konteks ini, setiap individu/kelompok/institusi dituntut untuk bertanggungjawab dalam menjalankan tugas dan kewajibannya, serta selalu bertindak dan berupaya untuk memberikan kontribusi untuk mencapai hasil yang maksimal (Handoko, 2021).
Ketiga, akuntabilitas membutuhkan adanya laporan (accountability requiers reporting). Laporan kinerja adalah perwujudan dari akuntabilitas. Dengan memberikan laporan kinerja berarti mampu menjelaskan terhadap tindakan dan hasil yang telah dicapai oleh individu/kelompok/institusi, serta mampu memberikan bukti nyata dari hasil dan proses yang telah dilakukan. Dalam dunia birokrasi, bentuk akuntabilitas setiap individu berwujud suatu laporan yang didasarkan pada kontrak kerja, sedangkan untuk institusi adalah LAKIP (Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah) (Handoko, 2021).
Keempat, akuntabilitas memerlukan konsekuensi (accoun-tability is meaningless without consequences). Akunta-bilitas menunjukkan tanggungjawab, dan tanggungjawab meng-hasilkan konsekuensi. Konsekuensi tersebut dapat berupa penghargaan atau sanksi. Kelima, akuntabilitas memperbaiki kinerja (accountability improves performance). Tujuan utama dari akuntabilitas adalah untuk memperbaiki kinerja ASN dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Dalam pendekatan akuntabilitas yang bersifat proaktif (proactive accountability), akuntabilitas dimaknai sebagai sebuah hubungan dan proses yang direncanakan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan sejak awal, penempatan sumber daya yang tepat, dan evaluasi kinerja. Dalam hal ini proses setiap individu/kelompok/institusi akan diminta pertanggungjawaban secara aktif yang terlibat dalam proses evaluasi dan berfokus peningkatan kinerja (Handoko, 2021).
Pentingnya Akuntabilitas
Akuntabilitas adalah prinsip dasar bagi organisasi yang berlaku pada setiap level/unit organisasi sebagai suatu kewajiban jabatan dalam memberikan pertanggungjawaban laporan kegiatan kepada atasannya. Dalam beberapa hal, akuntabilitas sering diartikan berbeda-beda. Adanya norma yang bersifat informal tentang perilaku ASN yang menjadi kebiasaan (how things are done around here) dapat mempengaruhi perilaku anggota organisasi atau bahkan mempengaruhi aturan formal yang berlaku. Seperti misalnya keberadaan Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil, belum sepenuhnya dipahami atau bahkan dibaca oleh setiap CPNS atau pun PNS. Oleh sebab itu, pola pikir PNS yang bekerja lambat, berdampak pada pemborosan sumber daya dan memberikan citra PNS berkinerja buruk. Dalam kondisi tersebut, PNS perlu merubah citranya menjadi pelayan masyarakat dengan mengenalkan nilai-nilai akuntabilitas untuk membentuk sikap, dan perilaku bertanggung jawab atas kepercayaan yang diberikan (Handoko, 2021).
Keberadaan akuntabilitas menjadi penting karena memiliki fungsi-fungsi utama sebagai berikut, yaitu: pertama ntuk menyediakan kontrol demokratis (peran demokrasi); kedua, untuk mencegah korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan (peran konstitusional); dan ketiga, untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas (peran belajar) (Bovens, 2007; Handoko, 2021).
Akuntabilitas merupakan kontrak antara pemerintah dengan aparat birokrasi, serta antara pemerintah yang diwakili oleh ASN dengan masyarakat. Kontrak antara kedua belah pihak tersebut memiliki ciri antara lain sebagai berikut. Pertama, akuntabilitas eksternal yaitu tindakan pengendalian yang bukan bagian dari tanggung jawabnya. Kedua, akuntabilitas interaksi merupakan pertukaran sosial dua arah antara yang menuntut dan yang menjadi bertanggung jawabnya (dalam memberi jawaban, respons, rectification (pembetulan), dan sebagainya). Ketiga, hubungan akuntabilitas merupakan hubungan kekuasaan struktural (pemerintah dan publik) yang dapat dilakukan secara asimetri sebagai haknya untuk menuntut jawaban (Mulgan, 2000; Handoko, 2021).
Akuntabilitas publik terdiri atas dua macam, yaitu: akuntabilitas vertikal (vertical accountability), dan akuntabilitas horizontal (horizontal accountability). Akuntabilitas vertikal adalah pertanggungjawaban atas pengelolaan dana kepada otoritas yang lebih tinggi, misalnya pertanggungjawaban unit-unit kerja (dinas) kepada pemerintah daerah, kemudian pemerintah daerah kepada pemerintah pusat, pemerintah pusat kepada MPR. Akuntabilitas vertikal membutuhkan pejabat pemerintah untuk melaporkan “ke bawah” kepada publik. Misalnya, pelaksanaan pemilu, referendum, dan berbagai mekanisme akuntabilitas publik yang melibatkan tekanan dari warga. Akuntabilitas horizontal adalah pertanggungjawaban kepada masyarakat luas. Akuntabilitas ini membutuhkan pejabat pemerintah untuk melaporkan “ke samping” kepada para pejabat lainnya dan lembaga negara. Contohnya adalah lembaga pemilihan umum yang independen, komisi pemberantasan korupsi, dan komisi investigasi legislatif (Handoko, 2021).
Tingkatan Akuntabilitas
Akuntabilitas memiliki lima tingkatan yang berbeda. Pertama, akuntabilitas personal (personal accountability). Akuntabilitas personal mengacu pada nilai-nilai yang ada pada diri seseorang seperti kejujuran, integritas, moral dan etika. Kedua, akuntabilitas individu. Akuntabilitas individu mengacu pada hubungan antara individu dan lingkungan kerjanya, yaitu antara ASN dengan instansinya sebagai pemberi kewenangan. Pemberi kewenangan bertanggung jawab untuk memberikan arahan yang memadai, bimbingan, dan sumber daya serta menghilangkan hambatan kinerja, sedangkan ASN sebagai aparatur negara bertanggung jawab untuk memenuhi tanggung jawabnya. Ketiga, akuntabilitas kelompok. Kinerja sebuah institusi biasanya dilakukan atas kerjasama kelompok. Dalam hal ini tidak ada istilah “saya”, tetapi yang ada adalah “kami”. Dalam kaitannya dengan akuntabilitas kelompok, maka pembagian kewenangan dan semangat kerja sama yang tinggi antar berbagai kelompok yang ada dalam sebuah institusi memainkan peranan yang penting dalam tercapainya kinerja organisasi yang diharapkan. Keempat, akuntabilitas organisasi. akuntabilitas organisasi mengacu pada hasil pelaporan kinerja yang telah dicapai, baik pelaporan yang dilakukan oleh individu terhadap organisasi/institusi maupun kinerja organisasi kepada stakeholders lainnya. Kelima, akuntabilitas stakeholder. Stake-holder yang dimaksud adalah masyarakat umum, pengguna layanan, dan pembayar pajak yang memberikan masukan, saran, dan kritik terhadap kinerjanya. Jadi akuntabilitas stakeholder adalah tanggung jawab organisasi pemerintah untuk mewujudkan pelayanan dan kinerja yang adil, responsif, dan bermartabat (Handoko, 2021).
Akuntabel sebagai Core Value ASN
Akuntabel (kata sifat dari akuntabilitas) merupakan kemampuan mengemban amanat dan kepercayaan yang diberikan dengan penuh tanggung jawab. Panduan perilaku akuntabel adalah melaksanakan tugas dengan jujur, bertanggung jawab, cermat, disiplin, dan berintegritas tinggi; menggunakan kekayaan dan barang milik negara secara bertanggung jawab, efektif, dan efisien; tidak menyalahgunakan kewenangan jabatan. Sedangkan perwujudan perilakunya adalah memenuhi janji dan komitmen; melaksanakan pekerjaan sesuai dengan prosedur dan ketentuan yang berlaku; bertanggung jawab atas hasil kerja dan bersedia dievaluasi; menolak segala bentuk gratifikasi, korupsi, kolusi, dan nepotisme; memanfaatkan fasilitas barang milik negara sesuai dengan peruntukannya; mencari alternatif cara penggunaan sarana prasarana, bahan, dan alat kerja yang lebih hemat; mengutamakan kepentingan masyarakat di atas kepentingan pribadi atau golongan; dan mengambil keputusan dengan objektif saat terjadi konflik kepentingan (BKN, 2022).
Akuntabilitas ASN dalam Perspektif Islam
Sebagai agama, Islam memberikan pedoman yang komprehensif dalam semua aspek kehidupan-baik itu agama, moral, etika, sosial-budaya, ekonomi, politik, atau hukum untuk mendukung pondasi masyarakat Islam yang kuat, yang dibangun di atas penyerahan kepada Allah dan ajaran Nabi Muhammad (Beik dan Arsyianti, 2007; Toor, 2008; Prasetio, 2017).
Al-Faruqi (1995) memperluas batas tindakan dalam akuntabilitas, dalam hal ini melampaui perspektif kepada Allah. Ini berarti bahwa individu harus bertanggung jawab kepada Allah sebagai Pencipta mereka (Fitria, 2017).
Sebagaimana disebutkan sebelumnya, secara etimologis, “accountability” berasal dari akar kata “account” yang antara lain berarti laporan dan “ability” (kemampuan). Al-Qur'an mengartikan “account” sebagai “hisab” (perhitungan). “Hisab” dalam arti umum berkaitan dengan kewajiban seseorang untuk “account” kepada Allah dalam segala hal yang berkaitan dengan usaha manusia. Segala sumber daya yang tersedia untuk manusia ini merupakan bentuk sebua kepercayaan, manusia mengguna-kan apa yang dipercayakan kepada mereka (manusia) didasarkan pada ketentan-ketentuan syariah dan keberhasilan individu di akhirat bergantung pada kinerja manusia di dunia (Wahyuni dan Abdullah, 2021).
Dalam Al-Qur'an, kata “hisab” diulang lebih dari delapan kali dalam ayat yang berbeda (Askary dan Clarke, 1997). Hisab atau “account” (akun) adalah akar akunting, dan referensi dalam Al-Qur'an, “hisab” berkaitan dengan kewajiban seseorang untuk memperhitungkan semua hal yang berkaitan dengan usaha manusia di mana setiap muslim adalah akuntabel (Lewis, 2010). Semua sumber yang tersedia bagi individu dibuat sedemikian rupa dalam bentuk kepercayaan. Individu adalah wali amanat atas apa yang telah mereka berikan oleh Tuhan dalam bentuk barang, properti dan aset yang tidak berwujud. Sejauh mana individu harus menggunakan apa yang dipercayakan kepada mereka ditentukan dalam syariah, dan keberhasilan individu di akhirat bergantung pada kinerja mereka di dunia ini. Dalam hal ini, setiap muslim memiliki “akun” dengan Allah, yang mana mencatat semua perbuatan baik dan semua tindakan buruk, sebuah akun akan berlanjut sampai mati, karena Allah menunjukkan semua orang tentang penghakiman mereka pada hari penghakiman. Hal Ini menambahkan dimensi ekstra pada penilaian terhadap hal-hal dan perbuatan dibandingkan dengan apa yang telah tercakup dalam laporan keuangan konvensional (Handoko dan Huda, 2018).
Akuntabilitas memiliki tujuan ekonomi dan sosial, namun akuntabilitas Islam memiliki tujuan yang lebih luas, yaitu tujuan ekonomi, politik, keagamaan dan sosial (Prasetio, 2017). Konsep akuntabilitas dalam Islam diturunkan dari dua pijakan utama, yaitu konsep tauhid dan konsep kepemilikan (Maali et, 2006). Berikut ini adalah penjelasan terinci tentang dua konsep tersebut dalam kaitannya dengan akuntabilitas dalam perspektif Islam (Basri, 2008; Sudaryanti, 2009).
Konsep tauhid bermakna keyakinan pada Allah semata sebagai Tuhan yang berhak disembah, dan tidak ada Tuhan selain-Nya. Dalam Al-Qur'an surat al-Baqarah ayat 21-22 disebutkan seruan untuk menyembah Rabb (Tuhan) yang telah menciptakan manusia dan larangan untuk mengadakan sekutu-sekutu Allah. Dalam hal konsep tauhid, Islam memberi tekanan yang sangat kuat. Tauhid adalah pembeda antara Islam dan non Islam. Bisa dikatakan tauhid adalah identitas diri seorang muslim. Rukun Islam yang pertama, yaitu syahadat adalah kesaksian Allah sebagai Tuhan, selain kesaksian Nabi Muhammad sebagai nabi dan rasul terakhir (Sudaryanti, 2009).
Implikasi dari konsep tauhid adalah penyerahan diri sepe-nuhnya hanya kepada Allah (Yasin, 1992). Penyerahan diri sepenuhnya bermakna segala aktivitas hidup manusia hanya ditujukan untuk Allah (Q.S. al-An'am: 162). Dengan kata lain, segala aspek kehidupan manusia harus sejalan dengan ketentuan Allah sebagaimana diatur dalam Al-Qur'an dan hadis. Dengan perspektif ini, ketentuan dalam Al-Quran dan hadis adalah cara hidup seorang muslim. Termasuk di antaranya adalah konsep pertanggungjawaban (akuntabilitas) (Sudaryanti, 2009).
Terkait dengan konsep pertanggungjawaban manusia, terdapat beberapa surat dalam Al-Qur'an yang mengaturnya. Dua di antaranya adalah surat al-Infithar ayat 10-12 dan surat al-Jatsiyah ayat 29. Dua surat ini menekankan pada aspek pencatatan bahwa Allah selalu mencatat setiap tindakan manusia dengan teliti dan tidak ada yang terlewat. Catatan-catatan ini tidak hanya terhenti pada sekedar catatan, tapi berimplikasi pada kehidupan manusia setelah mati, yaitu di hari kiamat (Q.S. al-Zalzalah: 6-8) dan di alam akhirat (Q.S. al-Rahman: 46 dan Q.S al-Isra': 72 ). Setiap catatan kebaikan akan mendapat ganjaran pahala berlipat dan catatan keburukan akan mendapat balasan yang setimpal (Q.S. al-An'am: 160). Setiap ganjaran dan balasan telah ditetapkan dengan teliti dan adil (Q.S. al-Anbiya': 47). Bisa disimpulkan bahwa, dalam Islam, setiap muslim dituntut bertanggung jawab atas segala tindakannya pada Allah, Penciptanya, pada hari kebangkitan. Hal ini berbeda dengan konsep akuntabilitas Barat yang hanya mencakup akuntabilitas antar manusia. Dalam Islam, pertanggungjawaban manusia tidak hanya antar manusia tapi juga kepada Allah. Setiap muslim yang taat akan mempertanggungjawabkan setiap perbuatannya baik dengan sepenge-tahuan orang lain atau tidak, karena dia tahu Allah Maha Mengetahui apapun yang dia lakukan (Sudaryanti, 2009).
Karena pertanggungjawaban muslim kepada Allah, maka dia dituntut untuk melaksanakan semua aktivitasnya sesuai dengan aturan yang telah Allah tetapkan. Cara hidup seorang muslim sudah diatur oleh Allah melalui syariah Islam yang tertuang dalam Al-Qur'an dan hadis. Semua aspek kehidupan manusia harus sesuai dengan aturan Islam. Politik, ekonomi, sosial, budaya, misalnya, dikembangkan manusia dalam bingkai aturan syariah Islam. Dengan demikian, Islam tidak mengenal adanya pemisahan dimensi religius dan dimensi sekuler, keduanya adalah dalam kerangka dimensi religius (Sudaryanti, 2009).
Konsep kepemilikan dalam Islam menyatakan bahwa pemilik segala isi langit dan bumi adalah Allah, sebagai pencipta alam semesta. Di dalam Al-Qur'an surat al-Baqarah ayat 284 disebutkan, “Kepunyaan Allahlah segala apa yang ada di langit dan apa yangada di bumi”. Manusia hanya sebagai pengelola ciptaan-Nya. Kepemilikan pribadi dalam Islam dikerangkakan sebagai titipan dari Allah, termasuk anak yang dilahirkan. Jadi Islam masih mengakui hak kepemilikan pribadi, namun tidak bersifat absolut (Basri, 2008). Hak tersebut diberikan Allah sepanjang masih dalam koridor syariah (aturan) Islam (Sudaryanti, 2009).
Kepemilikan pribadi manusia adalah titipan Allah, sebagai bentuk kepercayaan (amanah) dari Allah. Karena kepemilikan adalah kepercayaan atau amanah dari Allah, maka pengelolaan titipan harus dalam kerangkan peraturan yang memberikan amanah, yaitu Allah. Jadi, manusia mengelola amanah Allah sesuai dengan garis peraturan Allah, yaitu syariah Islam. Dalam hal ini manusia adalah pemimpin di bumi (Q.S. al-Baqarah: 30) dan berkewajiban menyebarkan rahmat ke seluruh alam (Q.S. al-Anbiya': 107) dengan jalan menyeru pada kebaikan (makruf) dan menjauhi tindakan yang mengarah pada ketidakbaikan (mungkar) (Q.S. Ali Imran: 110) (Triyuwono, 2003; Sudaryanti, 2009).
Konsep akuntabilitas selama ini terfokus pada akuntabilitas horizontal antar manusia. Hal ini ditunjukkan dengan adanya gagasan mengenai keterkaitan akuntabilitas perilaku manusia (agen) dengan unsur non manusia seperti lingkungan dan dimensi spiritual. Pada organisasi nirlaba, konsep akuntabilitas dirancang berdasarkan jenis pihak yang berkepentingan, yaitu prinsipal, internal organisasi, dan penerima manfaat. Sedangkan bagi korporasi, desain akuntabilitas dengan dimensi transparansi, kemampuan pengendalian liabilitas, tanggung jawab, dan nilai daya tanggap sebagai landasannya. Hal ini berbeda dengan akuntabilitas dalam syariah Islam. Akuntabilitas yang dibangun di atas syariah Islam berdasarkan pada trilogi hubungan antara manusia, Tuhan, dan alam. Hubungan ini lebih holistik karena dimensi spiritual dan sosial. Akuntabilitas dalam syariah Islam mencakup tiga dimensi, yaitu akuntabilitas terhadap Tuhan, akuntabilitas terhadap manusia, dan akuntabilitas terhadap alam (Kholmi, 2023).
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat diambil pemahaman bahwa dalam perspektif Islam, konsep akuntabilitas memiliki beberapa dimensi yang penting. Pertama, akuntabilitas kepada Allah. Dimensi ini mengacu pada kesadaran bahwa setiap individu akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah atas segala niat dan tindakannya. Dalam Islam, keyakinan akan hisab (pertanggungjawaban di akhirat) memotivasi individu untuk bertindak dengan kejujuran, keadilan, dan kebaikan, karena mereka menyadari bahwa mereka akan dimintai pertanggungjawaban atas perbuatan mereka di akhirat.
Kedua, akuntabilitas sosial. Dalam perspektif Islam, individu juga memiliki tanggung jawab sosial terhadap masyarakat dan lingkungan di sekitarnya. Hal ini mencakup kewajiban untuk membantu yang membutuhkan, memelihara keadilan sosial, dan berkontribusi secara positif terhadap kebaikan bersama. Akuntabilitas sosial juga mencakup kewajiban untuk memperbaiki masyarakat dan melindungi hak-hak individu lainnya.
Ketiga, akuntabilitas terhadap diri sendiri. Dalam Islam, individu juga diminta untuk memiliki akuntabilitas terhadap diri sendiri, yaitu untuk melakukan introspeksi dan mengoreksi diri sendiri secara terus-menerus. Ini mencakup evaluasi atas niat dan tindakan, serta usaha untuk terus memperbaiki diri menuju kesempurnaan akhlak dan iman.
Keempat, akuntabilitas dalam kepemimpinan. Bagi para pemimpin, baik dalam skala kecil maupun besar, Islam menekankan pentingnya akuntabilitas dalam memimpin dengan adil, menjaga kepentingan umum, dan memastikan penggunaan wewenang dengan tanggung jawab. Kepemimpinan dalam Islam dipandang sebagai amanah (amanat) yang harus dipertanggungjawabkan di hadapan Allah dan masyarakat.
Kelima, akuntabilitas terhadap alam. Akuntabilitas terhadap alam mengacu pada tanggung jawab dan kewajiban individu, organisasi, dan masyarakat secara keseluruhan untuk melindungi dan melestarikan lingkungan alam. Ini melibatkan kesadaran akan dampak aktivitas manusia terhadap lingkungan dan mengambil tindakan untuk meminimalkan efek negatif dan mempromosikan keberlanjutan. Akuntabilitas terhadap alam mencakup berbagai aspek seperti transparansi, tata kelola pemangku kepentingan, pengungkapan informasi lingkungan, dan evaluasi praktik lingkungan. Ini juga melibatkan aspek hukum, termasuk tanggung jawab untuk perlindungan lingkungan dan konsekuensi dari degradasi lingkungan. Dijelaskan dalam beberapa ayat Al-Qur'an bahwa Islam sangat menekankan pentingnya menjaga kelestarian alam.
Dalam semua dimensi ini, akuntabilitas dalam perspektif Islam tidak hanya mencakup aspek perilaku luar, tetapi juga niat dan keadaan batin individu. Konsep akuntabilitas dalam Islam mengajarkan individu untuk bertindak secara bertanggung jawab, adil, dan ikhlas, baik dalam hubungannya dengan Allah, sesama manusia, maupun diri sendiri.
Dalam perspektif Islam, akuntabilitas ASN merupakan konsep yang penting karena memegang prinsip akuntabilitas dan keadilan yang merupakan nilai-nilai fundamental dalam ajaran Islam. Akuntabilitas ASN dalam perspektif Islam dapat dijelaskan sebagai berikut. Pertama, ASN memiliki kewajiban untuk menjalankan tugas dan tanggung jawabnya dengan penuh amanah. Dalam Islam, amanah merupakan konsep yang sangat penting, dan para pejabat negara diharapkan untuk bertanggung jawab atas tugas-tugas yang diamanahkan kepada mereka oleh masyarakat.
Kedua, dalam perspektif Islam, keadilan merupakan prinsip utama dalam pengelolaan pemerintahan. ASN diharapkan untuk bertindak secara adil dan tidak diskriminatif dalam menjalankan tugas publik mereka. Mereka harus bertanggung jawab atas keputusan dan tindakan mereka, serta memastikan bahwa kebijakan-kebijakan yang mereka implemen-tasikan adil bagi semua warga negara.
Ketiga, konsep transparansi merupakan bagian integral dari akuntabilitas dalam perspektif Islam. ASN diharapkan untuk menjalankan tugas-tugas mereka dengan transparan, mengungkapkan informasi secara jujur dan adil kepada masyarakat, serta terbuka terhadap pertanggung-jawaban atas tindakan dan keputusan mereka.
Keempat, ASN dalam perspektif Islam juga diwajibkan untuk bertanggung jawab atas tindakan dan keputusan mereka kepada Allah dan juga kepada masyarakat. Mereka harus siap untuk mempertanggungjawabkan tugas dan kebijakan mereka, serta menerima konsekuensi dari tindakan yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip Islam dan hukum negara.
Dengan demikian, dalam perspektif Islam, akuntabilitas ASN sangatlah penting dan dianggap sebagai bagian integral dari tata kelola pemerintahan yang baik. ASN diharapkan untuk menja-lankan tugas dan tanggung jawab mereka dengan penuh amanah, keadilan, transparansi, dan siap bertanggung jawab atas tindakan dan keputusan mereka baik di hadapan manusia maupun di hadapan Allah.
Penutup
Dalam perspektif Islam, akuntabilitas menjadi suatu konsep yang tidak hanya diterapkan dalam ranah dunia, tetapi juga sebagai amalan yang akan mendapat pertanggungjawaban di akhirat. Implementasi akuntabilitas ASN dalam konteks Islam bukan sekadar kewajiban formal, melainkan juga menitikberatkan pada nilai-nilai moral dan etika.
Akuntabilitas ASN dalam perspektif Islam mencakup aspek transparansi, pertanggungjawaban, dan kewajiban moral. Konsep “hisab” atau pertanggungjawaban di hari kiamat menjadi pendo-rong utama bagi setiap ASN untuk menjalankan tugasnya dengan penuh tanggung jawab dan integritas, sejalan dengan ajaran Al-Qur'an yang menekankan keadilan dan kebenaran. Melalui penerapan core value ASN akuntabel, ASN dapat menciptakan pemerintahan yang berintegritas dan mendapatkan kepercayaan masyarakat.
Sebagai tambahan, perspektif Islam juga menekankan pentingnya akuntabilitas sebagai amalan ibadah. ASN yang menjalankan tugasnya dengan penuh akuntabilitas dipandang sebagai bentuk ibadah kepada Allah, sejalan dengan sabda Nabi Muhammad yang menekankan pentingnya integritas dan kejujuran dalam setiap tindakan.
Upaya meningkatkan akuntabilitas ASN dalam perspektif Islam bukan hanya sekadar kewajiban profesi, tetapi juga sebagai bentuk pengabdian kepada masyarakat dan Allah. Dengan memegang teguh nilai akuntablitas, ASN dapat menjadi agen perubahan yang membawa dampak positif bagi pemerintahan dan masyarakat, serta memperoleh keberkahan di dunia dan akhirat.***
Discussion about this post