Oleh: H. Tirtayasa
Kader Seribu Ulama Doktor MUI-Baznas RI Angkatan 2021,
Imam Besar Masjid Agung Islamic Center Natuna,
Widyaiswara Ahli Muda (Junior Trainer) BKPSDM Kabupaten Natuna.
Pendahuluan
Nikah mut'ah, atau pernikahan sementara, adalah sebuah konsep dalam hukum Islam yang memungkinkan pasangan untuk menikah untuk jangka waktu yang telah ditentukan, dengan ketentuan tertentu. Dalam konteks ini, nikah mut'ah berbeda dari pernikahan permanen yang lebih umum dalam masyarakat Muslim. Konsep ini memiliki akar sejarah yang panjang, dan telah menjadi topik kontroversi dan perdebatan di antara berbagai mazhab dalam Islam, terutama antara Sunni dan Syiah (Hussain, 2017).
Definisi dan konsep dasar nikah mut'ah adalah penting untuk dipahami sebelum menelusuri lebih dalam perbedaan pandangan antara Sunni dan Syiah. nikah mut'ah pada dasarnya adalah kontrak pernikahan yang memiliki durasi tertentu, setelah mana pernikahan dianggap berakhir tanpa perlu proses perceraian formal. Kontrak ini mencakup mahar yang harus diberikan kepada wanita, yang merupakan salah satu syarat sahnya pernikahan dalam Islam (Al-Serat, 1986).
Dalam perspektif Syiah, nikah mut'ah dianggap sah dan merupakan bagian dari praktik yang dibolehkan dalam Islam. Mazhab Syiah Ja'fari, yang merupakan mazhab utama dalam Syiah, melihat nikah mut'ah sebagai solusi untuk kebutuhan sosial tertentu dan merupakan cara yang sah untuk memenuhi kebutuhan seksual dan emosional dalam batas-batas yang diizinkan oleh syariat. Mereka merujuk pada berbagai hadis dan riwayat dari para Imam Syiah yang mendukung praktik ini (Mutahhari, 1986).
Sebaliknya, pandangan Sunni secara umum menolak legalitas. Mayoritas ulama Sunni berpendapat bahwa praktik ini telah dihapuskan oleh Nabi Muhammad, dan tidak diperbolehkan dalam konteks modern. Ulama Sunni mengutip hadis-hadis yang menunjukkan bahwa Nabi Muhammad melarang praktik nikah mut'ah setelah awalnya mengizinkannya pada saat-saat tertentu dalam sejarah awal Islam (Ibn Katsir, 2003).
Studi tentang nikah mut'ah memiliki relevansi yang signifikan dalam konteks modern. Dalam masyarakat Islam yang dinamis dan beragam, memahami berbagai perspektif tentang nikah mut'ah membantu dalam mengelola perbedaan pendapat dan praktik di antara komunitas Muslim. Lebih jauh lagi, studi ini penting untuk mengembangkan dialog yang konstruktif antara Sunni dan Syiah, yang sering kali memiliki ketegangan akibat perbedaan teologis dan praktik hukum.
Dalam artikel ini, kita akan mengeksplorasi lebih dalam tentang nikah mut'ah dari sudut pandang hukum Islam, dengan fokus pada pendekatan Sunni dan Syiah. Kita akan melihat argumen dan dalil yang digunakan oleh masing-masing mazhab, serta bagaimana perbedaan ini mempengaruhi praktik dan pandangan masyarakat Muslim.
Artikel ini bertujuan untuk menjelaskan perspektif hukum Islam terhadap nikah mut'ah, serta menganalisis perbedaan pandangan antara Sunni dan Syiah mengenai praktik ini. Nikah mut'ah, atau pernikahan sementara, merupakan topik yang kontroversial dalam hukum Islam, dengan pandangan yang sangat berbeda antara Sunni dan Syiah. Dengan menjelaskan dasar-dasar hukum dan argumen teologis dari kedua sisi, artikel ini berusaha untuk memberikan pemahaman yang komprehensif mengenai topik ini. Selain itu, artikel ini juga akan meneliti implikasi sosial dan budaya dari praktik nikah mut'ah dalam masyarakat Islam kontemporer.
Studi tentang nikah mut'ah memiliki signifikansi yang besar dalam konteks hukum Islam karena mencerminkan perbedaan mendasar dalam interpretasi dan aplikasi syariat antara dua cabang utama Islam, yaitu Sunni dan Syiah. Pentingnya memahami perspektif hukum terhadap nikah mut'ah terletak pada dampaknya terhadap kebijakan sosial, hukum keluarga, dan dinamika gender dalam masyarakat Muslim.
Pandangan Sunni umumnya melarang nikah mut'ah, menganggapnya telah dihapuskan oleh Nabi Muhammad dan hanya berlaku pada masa awal Islam. Ibn Katsir dalam Tafsir al-Qur'an al-Azim menjelaskan bahwa pandangan Sunni berpegang pada hadis yang menyatakan bahwa nikah mut'ah dilarang setelah penaklukan Makkah (Ibn Katsir, 2003). Sementara itu, pandangan Syiah, khususnya Syiah Imamiyah, menganggap nikah mut'ah sebagai praktik yang sah dan tetap berlaku hingga sekarang, berdasarkan interpretasi mereka terhadap ayat-ayat Al-Quran dan hadis-hadis tertentu (Mutahhari, 1986).
Kontribusi artikel ini adalah memberikan analisis yang seimbang dan terperinci tentang perbedaan-perbedaan tersebut, serta mengidentifikasi faktor-faktor teologis dan historis yang mempengaruhi pandangan masing-masing kelompok. Dengan menyajikan berbagai argumen dan sumber dari kedua perspektif, artikel ini diharapkan dapat menjadi referensi yang berguna bagi para akademisi, praktisi hukum, dan umat Muslim yang ingin memahami isu ini lebih mendalam.
Implikasi dari penelitian ini mencakup peningkatan pemahaman mengenai bagaimana perbedaan pandangan hukum dapat mempengaruhi praktik sosial dan kebijakan hukum dalam komunitas Muslim. Misalnya, di beberapa negara dengan mayoritas Syiah seperti Iran, nikah mut'ah diatur dan diakui secara legal, sementara di negara-negara dengan mayoritas Sunni seperti Arab Saudi, praktik ini dianggap ilegal dan dapat dikenai sanksi hukum (Nasr, 2006; Rizvi, 1994).
Dengan demikian, artikel ini tidak hanya berfungsi sebagai kajian akademis, tetapi juga memiliki relevansi praktis dalam konteks sosial dan hukum Islam kontemporer, membantu menjembatani pemahaman antara dua tradisi yang sering kali dipandang berbeda secara diametral.
Sejarah dan Asal Usul Nikah Mut'ah
Sejarah Nikah Mut'ah dalam Islam Awal
Praktik Nikah Mut'ah di Zaman Rasulullah
Nikah mut'ah, yang juga dikenal sebagai pernikahan sementara, adalah praktik yang berakar dalam sejarah awal Islam. Pada masa Rasulullah, nikah mut'ah diperbolehkan dan dipraktikkan oleh umat Muslim. Ini adalah bentuk pernikahan yang bersifat temporer, di mana seorang pria dan wanita menyetujui untuk menikah dalam jangka waktu tertentu dengan mahar yang telah ditentukan. Nikah mut'ah awalnya diperkenalkan sebagai solusi pragmatis untuk kebutuhan sosial tertentu, terutama selama masa-masa perang dan perjalanan panjang, di mana para pria tidak dapat bersama dengan istri mereka untuk jangka waktu yang lama.
Hadis-hadis yang diriwayatkan oleh sahabat-sahabat Rasulullah memberikan bukti tentang keberadaan dan pengamalan nikah mut'ah pada masa itu. Misalnya, Abdullah bin Mas'ud meriwayatkan bahwa nikah mut'ah diperbolehkan selama masa Rasulullah, Abu Bakar, dan sebagian masa kekhalifahan Umar bin Khattab (Bukhari, 1987).
Perubahan Pandangan dan Regulasi setelah Wafatnya Rasulullah
Setelah wafatnya Rasulullah, praktik nikah mut'ah mulai menjadi subjek kontroversi dan perdebatan. Khalifah Umar bin Khattab secara resmi melarang nikah mut'ah dan menganggapnya sebagai bentuk perzinahan yang harus dihukum. Keputusan Umar bin Khattab ini didasarkan pada pandangannya bahwa nikah mut'ah tidak lagi sesuai dengan perkembangan sosial dan moral umat Muslim pada masa itu (Ibn Katsir, 2003).
Namun, pandangan tentang nikah mut'ah tidak seragam di seluruh dunia Islam. Dalam tradisi Syiah, khususnya Syiah Imamiyah, nikah mut'ah tetap dianggap sah dan dianjurkan. Syiah berpegang pada interpretasi bahwa Rasulullah SAW tidak pernah secara permanen melarang nikah mut'ah, dan mereka mengacu pada ayat Al-Quran yang menyebutkan konsep mahr untuk pernikahan sementara sebagai dasar hukum mereka (Mutahhari, 1986).
Perbedaan pandangan ini mencerminkan perbedaan teologis yang lebih luas antara Sunni dan Syiah. Dalam pandangan Sunni, hadis-hadis yang menunjukkan bahwa Rasulullah melarang nikah mut'ah pada masa-masa terakhir hidupnya dianggap sahih dan mengikat. Sebaliknya, Syiah merujuk pada hadis-hadis yang mereka klaim menunjukkan bahwa Rasulullah tidak pernah mencabut izin untuk nikah mut'ah secara eksplisit (Rizvi, 1994).
Selama berabad-abad, perdebatan ini terus berlanjut, dengan masing-masing kelompok memiliki argumentasi teologis dan yuridis yang kuat untuk mendukung pandangan mereka. Dalam beberapa kasus, pandangan tentang nikah mut'ah bahkan mempengaruhi kebijakan hukum di berbagai negara Muslim. Di Iran, misalnya, yang mayoritas penduduknya adalah Syiah, nikah mut'ah diatur dan diakui secara legal. Sebaliknya, di negara-negara dengan mayoritas Sunni, seperti Arab Saudi dan Mesir, nikah mut'ah dianggap ilegal dan dilarang (Nasr, 2006).
Asal Usul Nikah Mut'ah dalam Syiah dan Sunni
Pandangan Syiah tentang Legitimasi Nikah Mut'ah
Dalam pandangan Syiah, khususnya Syiah Imamiyah, nikah mut'ah dianggap sebagai bentuk pernikahan yang sah dan legitim. Syiah berpegang pada pandangan bahwa Rasulullah sendiri pernah mengizinkan praktik nikah mut'ah dan bahwa izin ini tidak pernah dicabut secara permanen. Mereka merujuk pada ayat dalam Al-Quran yang mereka interpretasikan sebagai dukungan terhadap pernikahan sementara, yaitu Surah An-Nisa ayat 24, yang menyebutkan tentang pemberian mahar kepada wanita yang dinikahi secara temporer (Mutahhari, 1986).
Syiah juga mengacu pada berbagai hadis yang diriwayatkan oleh Ahlul Bait, keluarga dekat Rasulullah, yang mendukung legitimasi nikah mut'ah. Menurut pandangan ini, beberapa sahabat Nabi dan anggota keluarga Nabi tetap mempraktikkan dan mendukung nikah mut'ah setelah wafatnya Rasulullah. Sebagai contoh, Imam Ali bin Abi Thalib, yang merupakan sepupu dan menantu Rasulullah, disebut-sebut telah menyatakan bahwa nikah mut'ah adalah praktik yang sah yang diizinkan oleh Nabi Muhammad (Mutahhari, 1986).
Selain itu, para ulama Syiah menekankan bahwa nikah mut'ah menawarkan solusi yang sah dalam situasi di mana pernikahan permanen tidak memungkinkan atau praktis. Ini dianggap sebagai cara untuk mencegah perzinahan dan memenuhi kebutuhan biologis serta emosional dalam batas-batas hukum Islam. Nikah mut'ah juga dipandang sebagai sarana untuk menjamin hak-hak wanita, dengan ketentuan bahwa mahar harus diberikan dan anak-anak yang lahir dari pernikahan tersebut memiliki hak-hak yang sah (Rizvi, 1994).
Pandangan Sunni tentang Penghapusan dan Pelarangan Nikah Mut'ah
Di sisi lain, pandangan Sunni tentang nikah mut'ah sangat berbeda. Mayoritas ulama Sunni berpendapat bahwa praktik nikah mut'ah telah dilarang secara tegas oleh Rasulullah pada masa-masa terakhir hidupnya. Mereka merujuk pada hadis yang diriwayatkan oleh sahabat-sahabat utama Nabi, seperti Umar bin Khattab, yang mengumumkan bahwa Rasulullah telah melarang Nikah mut'ah. Dalam pandangan Sunni, penghapusan ini bersifat permanen dan tidak ada ruang untuk praktik tersebut dalam hukum Islam (Ibn Katsir, 2003).
Hadis yang diriwayatkan oleh Sahih Bukhari dan Sahih Muslim sering dijadikan dasar bagi pandangan Sunni mengenai pelarangan nikah mut'ah. Misalnya, dalam Sahih Bukhari, terdapat riwayat bahwa Ali bin Abi Thalib berkata bahwa Rasulullah melarang nikah mut'ah dan memakan daging keledai domestik pada hari Khaibar (Bukhari, 1987). Pandangan ini juga didukung oleh riwayat-riwayat lainnya yang menyatakan bahwa Rasulullah melarang praktik tersebut secara permanen.
Pandangan Sunni juga berargumen bahwa nikah mut'ah tidak sesuai dengan tujuan dan prinsip-prinsip pernikahan dalam Islam. Menurut mereka, pernikahan dalam Islam harus didasarkan pada niat untuk membangun keluarga yang langgeng dan stabil, bukan untuk memenuhi kebutuhan sementara. Mereka berpendapat bahwa nikah mut'ah membuka pintu bagi penyalahgunaan dan tidak memberikan perlindungan yang memadai bagi wanita dan anak-anak yang mungkin dilahirkan dari pernikahan tersebut (Nasr, 2006).
Selain itu, ulama Sunni mengkritik nikah mut'ah karena tidak sesuai dengan etika dan moralitas Islam yang lebih tinggi. Mereka menekankan bahwa pernikahan harus dilandasi oleh komitmen jangka panjang, rasa tanggung jawab, dan kehormatan. Oleh karena itu, nikah mut'ah dipandang sebagai praktik yang merendahkan martabat pernikahan dan tidak layak untuk diadopsi dalam masyarakat Islam modern.
Perspektif Hukum Islam Terhadap Nikah Mut'ah
Pendekatan Hukum Syiah
Sumber Hukum dan Dalil yang Digunakan oleh Syiah
Nikah mut'ah, atau pernikahan sementara, merupakan salah satu isu yang sangat kontroversial dalam hukum Islam, terutama antara dua aliran utama: Sunni dan Syiah. Dalam tradisi Syiah, nikah mut'ah dianggap sah dan diizinkan berdasarkan dalil-dalil dari Al-Qur'an dan hadis yang diinterpretasikan oleh ulama Syiah. Mereka merujuk pada beberapa ayat dan riwayat untuk mendukung praktik ini.
Salah satu ayat yang sering dikutip oleh ulama Syiah untuk mendukung nikah mut'ah adalah Surah An-Nisa (4:24), yang berbunyi, “Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya sebagai suatu kewajiban.” Ulama Syiah menafsirkan kata “menikmati” dalam konteks ini sebagai referensi ke nikah mut'ah, di mana mahar atau hadiah harus diberikan kepada wanita yang dinikahi secara sementara (Mutahhari, 1986).
Selain Al-Qur'an, ulama Syiah juga merujuk pada berbagai hadis yang mereka yakini mendukung legalitas nikah mut'ah. Salah satu hadis yang sering disebutkan adalah riwayat dari Imam Ja'far Ash-Sadiq, salah satu imam besar dalam tradisi Syiah, yang berkata bahwa nikah mut'ah adalah salah satu bentuk pernikahan yang diizinkan oleh Rasulullah. Hadis-hadis ini dikumpulkan dalam berbagai kitab hadis Syiah, seperti Wasa'il al-Shia oleh Al-Hurr al-Amili dan Al-Kafi oleh Al-Kulaini (Tabataba'i, 1984).
Pandangan Ulama Syiah
Beberapa ulama besar Syiah seperti Allamah Tabataba'i dalam Al-Mizan fi Tafsir Al-Qur'an menjelaskan bahwa nikah mut'ah adalah praktik yang diizinkan selama masa hidup Rasulullah SAW dan tidak pernah dilarang secara permanen oleh beliau. Tabataba'i menyatakan bahwa penghapusan nikah mut'ah oleh Khalifah Umar bin Khattab tidak memiliki dasar yang kuat dalam teks-teks Islam yang asli, sehingga komunitas Syiah tetap mempertahankan legitimasi praktik ini (Tabataba'i, 1984).
Ayatollah Khomeini dalam Tahrir al-Wasilah juga mendukung legalitas nikah mut'ah. Dia menegaskan bahwa ini adalah salah satu cara untuk mengatur hubungan antara pria dan wanita secara sah sesuai dengan ajaran Islam. Khomeini menekankan pentingnya pernikahan sementara dalam menjaga moralitas dan menghindari zina, terutama dalam situasi di mana pernikahan permanen tidak memungkinkan (Rizvi, 1994).
Implementasi dalam Kehidupan Modern
Dalam konteks modern, praktik nikah mut'ah masih dipertahankan dalam komunitas Syiah di berbagai negara, termasuk Iran dan Irak. Di Iran, hukum negara mengakui dan mengatur pernikahan sementara ini. Misalnya, terdapat syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi seperti persetujuan kedua belah pihak, pemberian mahar, dan durasi pernikahan yang disepakati sebelumnya. Dalam masyarakat Syiah, nikah mut'ah sering digunakan sebagai solusi sementara bagi individu yang tidak siap atau tidak mampu untuk menikah secara permanen (Nasr, 2006).
Kritik dan Kontroversi
Meskipun nikah mut'ah dianggap sah oleh ulama dan komunitas Syiah, praktik ini tetap kontroversial dan mendapat banyak kritik, terutama dari perspektif Sunni yang menganggapnya sudah dihapuskan. Selain itu, beberapa kelompok dalam masyarakat Syiah sendiri juga mengkritik nikah mut'ah karena dianggap dapat disalahgunakan dan merendahkan martabat wanita. Para kritikus berpendapat bahwa meskipun ada regulasi, implementasi nikah mut'ah sering kali tidak memperhatikan hak-hak wanita dan anak-anak yang mungkin dilahirkan dari pernikahan sementara tersebut (Mutahhari, 1986).
Nikah mut'ah dalam perspektif hukum Syiah didasarkan pada interpretasi tertentu dari Al-Qur'an dan hadis yang mendukung praktik ini. Ulama Syiah memandangnya sebagai bentuk pernikahan yang sah dan sesuai dengan ajaran Islam, meskipun tetap ada kontroversi dan kritik baik dari luar maupun dalam komunitas Syiah sendiri. Dalam konteks modern, praktik ini masih dipertahankan di beberapa negara dengan populasi Syiah yang signifikan, dengan regulasi yang bertujuan untuk mengatur dan melindungi hak-hak individu yang terlibat dalam nikah mut'ah.
Ketentuan dan Syarat-syarat Nikah Mut'ah Menurut Syiah
Nikah mut'ah, atau pernikahan sementara, adalah salah satu bentuk pernikahan yang sah menurut hukum Islam dalam tradisi Syiah. Praktik ini memiliki beberapa ketentuan dan syarat yang harus dipenuhi agar dianggap sah dan valid. Dalam pandangan Syiah, nikah mut'ah bukan hanya merupakan solusi sementara bagi kebutuhan biologis dan emosional individu, tetapi juga sebuah institusi yang diatur oleh hukum agama untuk memastikan keadilan dan perlindungan hak-hak semua pihak yang terlibat.
Nikah mut'ah adalah pernikahan yang disepakati untuk jangka waktu tertentu dan dengan mahar yang disepakati. Ini berbeda dengan pernikahan permanen (nikah da'im) yang tidak memiliki batasan waktu. Setelah waktu yang disepakati habis, pernikahan ini berakhir tanpa perlu proses cerai formal (Mutahhari, 1986).
Ketentuan dasar nikah mut'ah adalah: pertama, niat dan kesepakatan. Kedua belah pihak harus memiliki niat yang jelas untuk melakukan nikah mut'ah. Kesepakatan ini mencakup durasi pernikahan dan jumlah mahar yang harus diberikan oleh suami kepada istri (Tabataba'i, 1984). Kedua, saksi dan izin. Meskipun tidak selalu diperlukan, kehadiran saksi dalam proses akad nikah mut'ah sering dianjurkan untuk menghindari sengketa di kemudian hari. Selain itu, izin dari wali bagi wanita yang masih perawan juga diperlukan, terutama jika ia belum pernah menikah sebelumnya (Rizvi, 1994).
Ketiga, durasi pernikahan. Durasi pernikahan harus ditentukan dengan jelas pada saat akad. Durasi ini bisa sangat bervariasi, mulai dari beberapa jam hingga beberapa tahun. Setelah durasi tersebut berakhir, pernikahan dianggap selesai tanpa perlu adanya talak atau cerai (Mutahhari, 1986). Keempat, mahar. Mahar adalah komponen wajib dalam nikah mut'ah. Jumlahnya harus disepakati bersama dan diberikan kepada istri. Tanpa mahar, pernikahan tidak dianggap sah (Nasr, 2006).
Syarat-syarat Pelaksanaan Nikah Mut'ah
Pertama, kedua pihak yang berkapasitas. Kedua pihak haruslah individu yang memenuhi syarat untuk menikah. Ini berarti mereka harus beragama Islam, tidak sedang terikat dalam pernikahan lain yang tidak memungkinkan, dan bukan merupakan mahram satu sama lain (Mutahhari, 1986). Kedua, kesepakatan durasi. Durasi pernikahan harus disebutkan secara eksplisit dalam akad. Ketentuan ini mencakup tanggal mulai dan berakhirnya pernikahan (Tabataba'i, 1984).
Ketiga, pembayaran mahar. Pembayaran mahar harus dilakukan sesuai dengan kesepakatan awal. Mahar ini adalah hak istri yang harus dipenuhi oleh suami (Rizvi, 1994). Ketiga, izin wali. Jika wanita tersebut adalah perawan dan belum pernah menikah sebelumnya, maka diperlukan izin dari wali. Hal ini untuk memastikan bahwa keputusan yang diambil adalah sah dan mendapat persetujuan dari pihak keluarga (Mutahhari, 1986).
Regulasi dan Implementasi Modern
Di negara-negara dengan mayoritas Syiah seperti Iran, hukum negara mengatur praktik nikah mut'ah secara rinci. Regulasi ini bertujuan untuk melindungi hak-hak semua pihak yang terlibat dan memastikan bahwa pernikahan ini tidak disalahgunakan. Contohnya, di Iran, terdapat undang-undang yang mengharuskan pendaftaran nikah mut'ah di lembaga resmi untuk memudahkan administrasi dan perlindungan hukum (Nasr, 2006).
Kritik dan Kontroversi
Nikah mut'ah tidak lepas dari kritik, baik dari kalangan Muslim Sunni maupun dari sebagian komunitas Syiah sendiri. Kritikus berpendapat bahwa meskipun ada regulasi yang ketat, praktik ini masih rentan disalahgunakan. Mereka menyoroti masalah seperti potensi merendahkan martabat wanita dan anak-anak yang mungkin lahir dari pernikahan sementara ini. Selain itu, pandangan Sunni secara umum menolak praktik ini dengan alasan bahwa nikah mut'ah telah dihapuskan oleh Khalifah Umar bin Khattab (Rizvi, 1994).
Ulama Sunni menganggap bahwa nikah mut'ah dilarang secara permanen setelah masa Rasulullah dan bahwa pernikahan sementara tidak sesuai dengan tujuan luhur pernikahan dalam Islam, yang seharusnya didasarkan pada komitmen jangka panjang dan stabilitas keluarga (Nasr, 2006).
Nikah mut'ah dalam perspektif hukum Syiah adalah sebuah institusi yang memiliki landasan kuat dalam teks-teks agama dan didukung oleh dalil-dalil dari Al-Qur'an dan hadis. Meskipun kontroversial dan mendapat banyak kritik, baik dari dalam maupun luar komunitas Syiah, praktik ini tetap dipertahankan dengan regulasi ketat di beberapa negara. Pentingnya memahami ketentuan dan syarat-syarat nikah mut'ah adalah untuk memastikan bahwa hak-hak semua pihak terlindungi dan praktik ini dijalankan sesuai dengan ajaran Islam.
Pendekatan Hukum Sunni terhadap Nikah Mut'ah
Sumber Hukum dan Dalil yang Digunakan oleh Sunni
Nikah mut'ah atau pernikahan sementara adalah konsep yang mendapatkan penerimaan yang berbeda dalam tradisi hukum Islam Sunni dan Syiah. Dalam hukum Islam Sunni, nikah mut'ah umumnya dilarang dan tidak dianggap sah. Pandangan ini didasarkan pada sejumlah sumber hukum dan dalil dari Al-Qur'an, Hadis, serta konsensus (ijma') ulama.
Larangan Nikah Mut'ah dalam Hukum Sunni
Nikah mut'ah pernah diizinkan pada masa awal Islam. Namun, mayoritas ulama Sunni sepakat bahwa praktik ini dilarang secara permanen oleh Nabi Muhammad SAW. Pandangan ini didukung oleh berbagai hadis yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad dan sahabat-sahabatnya. Salah satu dalil yang sering dikutip adalah hadis dari Ali bin Abi Thalib yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad melarang nikah mut'ah pada masa Perang Khaibar (Ibn Katsir, 2003).
Al-Qur'an tidak secara eksplisit menyebutkan nikah mut'ah. Namun, ayat-ayat yang berbicara tentang pernikahan dan moralitas seksual dianggap oleh ulama Sunni sebagai dasar untuk menolak nikah mut'ah. Salah satu ayat yang sering dikutip adalah Al-Qur'an Surah An-Nisa ayat 24 yang berbicara tentang mahar dan aturan pernikahan. Ulama Sunni menafsirkan ayat ini sebagai konfirmasi bahwa pernikahan harus permanen dan bukan sementara (Nasr, 2006).
Hadis-hadis yang melarang nikah mut'ah sangat banyak dan beragam. Salah satu yang paling sering dikutip adalah hadis dari Sahih Muslim yang diriwayatkan oleh Ali bin Abi Thalib, yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad melarang nikah mut'ah pada Perang Khaibar. Selain itu, terdapat juga hadis dari Sahih Bukhari yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Abbas, yang awalnya membolehkan nikah mut'ah tetapi kemudian menarik pendapatnya setelah mendengar pelarangan dari Nabi Muhammad (Mutahhari, 1986).
Ijma' atau konsensus ulama juga memainkan peran penting dalam hukum Sunni. Mayoritas ulama Sunni sepakat bahwa nikah mut'ah dilarang dan tidak sah. Konsensus ini didasarkan pada interpretasi hadis dan ayat Al-Qur'an yang mendukung pelarangan tersebut. Pendapat ini diperkuat oleh keputusan Khalifah Umar bin Khattab, yang secara resmi melarang nikah mut'ah dan mengancam akan menghukum siapa saja yang melakukannya (Rizvi, 1994).
Pendekatan Fiqh Sunni terhadap Nikah Mut'ah
Dalam empat mazhab utama fiqh Sunni (Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali), nikah mut'ah secara tegas dilarang. Setiap mazhab memiliki dasar-dasar hukum yang kuat untuk mendukung pelarangan ini.
Mazhab Hanafi, yang didirikan oleh Imam Abu Hanifah, menolak nikah mut'ah berdasarkan hadis-hadis sahih yang menunjukkan bahwa Nabi Muhammad melarang praktik ini. Mereka juga menekankan pentingnya permanen dalam pernikahan sebagai cara untuk memastikan stabilitas keluarga dan masyarakat (Mutahhari, 1986).
Mazhab Maliki, yang didirikan oleh Imam Malik bin Anas, juga menolak nikah mut'ah. Mereka menganggap pernikahan sementara sebagai sesuatu yang tidak sesuai dengan tujuan utama pernikahan dalam Islam, yaitu membangun keluarga yang stabil dan berkelanjutan. Mereka juga merujuk pada tindakan Khalifah Umar bin Khattab yang secara resmi melarang nikah mut'ah (Tabataba'i, 1984).
Mazhab Syafi'i, yang didirikan oleh Imam Al-Syafi'i, menegaskan bahwa nikah mut'ah tidak sah dan dilarang dalam Islam. Imam Al-Syafi'i merujuk pada berbagai hadis yang melarang nikah mut'ah dan menekankan pentingnya permanen dalam pernikahan. Mereka juga menekankan pentingnya ijma' ulama dalam mendukung pelarangan ini (Rizvi, 1994).
Mazhab Hanbali, yang didirikan oleh Imam Ahmad bin Hanbal, juga menolak nikah mut'ah. Mereka mendasarkan pendapat mereka pada hadis-hadis yang melarang nikah mut'ah dan pada interpretasi ayat-ayat Al-Qur'an yang menunjukkan bahwa pernikahan harus permanen. Mereka juga menganggap tindakan Khalifah Umar bin Khattab sebagai bukti kuat bahwa nikah mut'ah tidak sah dalam Islam (Nasr, 2006).
Pendekatan hukum Sunni terhadap nikah mut'ah adalah salah satu yang didasarkan pada hadis-hadis yang melarang praktik ini, interpretasi ayat-ayat Al-Qur'an yang mendukung pernikahan permanen, dan ijma' ulama yang sepakat bahwa nikah mut'ah tidak sah. Dalam tradisi hukum Islam Sunni, pernikahan adalah institusi yang harus bersifat permanen dan stabil, yang bertujuan untuk membangun keluarga yang kokoh dan berkelanjutan. Larangan terhadap nikah mut'ah dianggap sebagai cara untuk melindungi nilai-nilai ini dan untuk memastikan bahwa pernikahan memenuhi tujuan utamanya dalam Islam.
Alasan Pelarangan dan Penolakan Nikah Mut'ah menurut Sunni
Nikah mut'ah atau pernikahan sementara adalah konsep yang kontroversial dalam tradisi hukum Islam. Sementara sebagian besar ulama Syiah menerima dan menganggap sah nikah mut'ah, mayoritas ulama Sunni menolaknya. Penolakan terhadap nikah mut'ah oleh Sunni didasarkan pada sejumlah alasan teologis, historis, dan sosial yang diuraikan dalam sumber-sumber hukum Islam. Dalam pandangan Sunni, pelarangan nikah mut'ah didukung oleh interpretasi ayat-ayat Al-Qur'an, hadis-hadis yang sahih, dan ijma' (konsensus) ulama. Artikel ini akan membahas alasan-alasan pelarangan dan penolakan nikah mut'ah menurut perspektif hukum Islam Sunni.
Al-Qur'an adalah sumber hukum utama dalam Islam dan semua interpretasi hukum harus sesuai dengan ajarannya. Meskipun Al-Qur'an tidak secara eksplisit menyebutkan nikah mut'ah, ayat-ayat yang berkaitan dengan pernikahan dan moralitas seksual dianggap oleh ulama Sunni sebagai dasar untuk menolak praktik ini. Salah satu ayat yang sering dikutip adalah Surah An-Nisa' ayat 24, yang berbicara tentang aturan-aturan pernikahan dan mahar. Dalam ayat ini, pernikahan digambarkan sebagai hubungan yang permanen dan penuh tanggung jawab. Ulama Sunni menafsirkan ayat ini sebagai konfirmasi bahwa pernikahan harus bersifat permanen, bukan sementara seperti dalam nikah mut'ah (Nasr, 2006).
Hadis adalah sumber hukum kedua dalam Islam setelah Al-Qur'an. Mayoritas ulama Sunni sepakat bahwa Nabi Muhammad melarang nikah mut'ah berdasarkan sejumlah hadis sahih. Salah satu hadis yang paling sering dikutip adalah yang diriwayatkan oleh Ali bin Abi Thalib, yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad melarang nikah mut'ah pada masa Perang Khaibar. Selain itu, terdapat juga hadis dari Sahih Muslim yang menyebutkan bahwa Nabi Muhammad melarang nikah mut'ah pada masa Perang Tabuk (Ibn Katsir, 2003).
Hadis ini menyatakan bahwa Nabi Muhammad melarang nikah mut'ah pada masa Perang Khaibar. Ali bin Abi Thalib mengatakan, “Nabi melarang nikah mut'ah pada hari Khaibar dan melarang daging keledai peliharaan.” Hadis ini dianggap sahih oleh mayoritas ulama Sunni dan menjadi dasar utama pelarangan nikah mut'ah (Mutahhari, 1986).
Hadis ini diriwayatkan oleh Abdullah bin Abbas, yang awalnya membolehkan nikah mut'ah tetapi kemudian menarik pendapatnya setelah mendengar pelarangan dari Nabi Muhammad. Hadis ini memperkuat pandangan bahwa nikah mut'ah tidak sah dalam Islam (Rizvi, 1994).
Ijma' atau konsensus ulama adalah salah satu sumber hukum yang penting dalam Islam Sunni. Mayoritas ulama Sunni sepakat bahwa nikah mut'ah dilarang dan tidak sah. Konsensus ini didasarkan pada interpretasi hadis dan ayat-ayat Al-Qur'an yang mendukung pelarangan tersebut. Pendapat ini diperkuat oleh keputusan Khalifah Umar bin Khattab, yang secara resmi melarang nikah mut'ah dan mengancam akan menghukum siapa saja yang melakukannya. Umar bin Khattab berkata, “Ada dua jenis pernikahan yang diizinkan pada masa Nabi tetapi saya melarang keduanya: nikah mut'ah dan pernikahan Hajj” (Tabataba'i, 1984).
Alasan lain yang mendasari pelarangan nikah mut'ah adalah aspek sosial dan moral. Ulama Sunni berpendapat bahwa nikah mut'ah tidak sesuai dengan tujuan utama pernikahan dalam Islam, yaitu membangun keluarga yang stabil dan berkelanjutan. Mereka berpendapat bahwa pernikahan sementara hanya akan menyebabkan ketidakstabilan sosial dan moralitas. Nikah mut'ah dianggap sebagai bentuk eksploitasi terhadap perempuan dan tidak memberikan perlindungan hukum yang memadai bagi mereka. Pernikahan dalam Islam seharusnya menjadi ikatan yang permanen dan melibatkan tanggung jawab penuh antara suami dan istri (Nasr, 2006).
Dalam empat mazhab utama fiqh Sunni (Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali), nikah mut'ah secara tegas dilarang. Setiap mazhab memiliki dasar-dasar hukum yang kuat untuk mendukung pelarangan ini. Mazhab Hanafi, yang didirikan oleh Imam Abu Hanifah, menolak nikah mut'ah berdasarkan hadis-hadis sahih yang menunjukkan bahwa Nabi Muhammad melarang praktik ini. Mereka juga menekankan pentingnya permanen dalam pernikahan sebagai cara untuk memastikan stabilitas keluarga dan masyarakat (Mutahhari, 1986).
Mazhab Maliki, yang didirikan oleh Imam Malik bin Anas, juga menolak nikah mut'ah. Mereka menganggap pernikahan sementara sebagai sesuatu yang tidak sesuai dengan tujuan utama pernikahan dalam Islam, yaitu membangun keluarga yang stabil dan berkelanjutan. Mereka juga merujuk pada tindakan Khalifah Umar bin Khattab yang secara resmi melarang nikah mut'ah (Tabataba'i, 1984).
Mazhab Syafi'i, yang didirikan oleh Imam Al-Shafi'i, menegaskan bahwa nikah mut'ah tidak sah dan dilarang dalam Islam. Imam Al-Shafi'i merujuk pada berbagai hadis yang melarang nikah mut'ah dan menekankan pentingnya permanen dalam pernikahan. Mereka juga menekankan pentingnya ijma' ulama dalam mendukung pelarangan ini (Rizvi, 1994).
Mazhab Hanbali, yang didirikan oleh Imam Ahmad bin Hanbal, juga menolak nikah mut'ah. Mereka mendasarkan pendapat mereka pada hadis-hadis yang melarang nikah mut'ah dan pada interpretasi ayat-ayat Al-Qur'an yang menunjukkan bahwa pernikahan harus permanen. Mereka juga menganggap tindakan Khalifah Umar bin Khattab sebagai bukti kuat bahwa nikah mut'ah tidak sah dalam Islam (Nasr, 2006).
Pendekatan hukum Sunni terhadap nikah mut'ah adalah salah satu yang didasarkan pada hadis-hadis yang melarang praktik ini, interpretasi ayat-ayat Al-Qur'an yang mendukung pernikahan permanen, dan ijma' ulama yang sepakat bahwa nikah mut'ah tidak sah. Dalam tradisi hukum Islam Sunni, nikah mut'ah dianggap bertentangan dengan tujuan utama pernikahan dalam Islam, yaitu membangun keluarga yang stabil, berkelanjutan, dan penuh tanggung jawab. Pelarangan nikah mut'ah juga didasarkan pada pertimbangan sosial dan moral, dengan tujuan untuk melindungi hak-hak perempuan dan mencegah ketidakstabilan sosial.
Perbandingan Hukum Nikah Mut'ah: Sunni dan Syiah
Perbedaan Utama dalam Pandangan Hukum
Nikah mut'ah, atau pernikahan sementara, adalah sebuah konsep dalam hukum Islam yang menjadi perdebatan dan kontroversi antara dua aliran besar dalam Islam: Sunni dan Syiah. Pandangan hukum terhadap nikah mut'ah sangat berbeda antara kedua aliran ini, baik dalam hal legalitas dan keabsahan maupun dalam aspek durasi, hak, dan kewajiban yang terlibat. Artikel ini akan menjelaskan perbedaan-perbedaan utama ini dengan merujuk pada sumber-sumber hukum dan literatur Islam yang terpercaya.
Legalitas dan Keabsahan Nikah Mut'ah
Dalam pandangan Syiah, nikah mut'ah adalah praktik yang sah dan memiliki dasar hukum yang kuat. Syiah merujuk pada sejumlah hadis dan ayat Al-Qur'an yang mereka interpretasikan sebagai mendukung keabsahan nikah mut'ah. Salah satu ayat yang sering dikutip adalah Surah An-Nisa' ayat 24 yang berbicara tentang pernikahan dan mahar, di mana mereka menganggap bahwa ayat ini memberikan izin untuk pernikahan sementara (Mutahhari, 1986). Selain itu, hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Imam-imam Syiah juga mendukung praktik ini.
Di sisi lain, pandangan Sunni secara tegas menolak legalitas nikah mut'ah. Menurut ulama Sunni, nikah mut'ah dilarang oleh Nabi Muhammad berdasarkan sejumlah hadis yang sahih. Salah satu hadis yang sering dirujuk adalah yang diriwayatkan oleh Ali bin Abi Thalib, yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad melarang nikah mut'ah pada masa Perang Khaibar (Ibn Katsir, 2003). Selain itu, keputusan Khalifah Umar bin Khattab yang melarang praktik ini juga dijadikan sebagai dasar hukum oleh Sunni. Umar bin Khattab berkata, “Ada dua jenis pernikahan yang diizinkan pada masa Nabi SAW tetapi saya melarang keduanya: nikah mut'ah dan pernikahan Hajj” (Tabataba'i, 1984).
Durasi, Hak, dan Kewajiban dalam Nikah Mut'ah
Dalam hukum Syiah, nikah mut'ah memiliki durasi yang telah ditentukan sejak awal perjanjian. Durasi ini bisa bervariasi dari beberapa jam hingga beberapa tahun, sesuai dengan kesepakatan antara kedua belah pihak. Selama durasi pernikahan, suami dan istri memiliki hak dan kewajiban yang mirip dengan pernikahan permanen, tetapi dengan beberapa perbedaan penting. Misalnya, dalam nikah mut'ah, tidak ada kewajiban nafkah setelah masa pernikahan berakhir, dan tidak ada warisan antara suami dan istri kecuali jika ada kesepakatan khusus (Rizvi, 1994).
Di sisi lain, pandangan Sunni menolak konsep durasi yang telah ditentukan dalam nikah mut'ah. Dalam pandangan mereka, pernikahan harus bersifat permanen dan tidak boleh dibatasi oleh waktu tertentu. Oleh karena itu, semua hak dan kewajiban yang ada dalam pernikahan Sunni adalah permanen dan berkelanjutan, termasuk nafkah dan hak waris. Ulama Sunni berpendapat bahwa pembatasan durasi dalam pernikahan bertentangan dengan tujuan utama pernikahan dalam Islam, yaitu membangun keluarga yang stabil dan berkelanjutan (Nasr, 2006).
Sumber Hukum dan Dalil yang Digunakan oleh Syiah
Syiah menggunakan sejumlah sumber hukum dan dalil untuk mendukung praktik nikah mut'ah. Mereka merujuk pada ayat-ayat Al-Qur'an yang mereka tafsirkan sebagai mendukung keabsahan pernikahan sementara. Selain itu, hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Imam-imam Syiah juga menjadi dasar utama dalam hukum mereka. Syiah percaya bahwa praktik nikah mut'ah adalah bagian dari ajaran Islam yang diajarkan oleh Nabi Muhammad dan dilanjutkan oleh para Imam setelahnya (Mutahhari, 1986).
Sumber Hukum dan Dalil yang Digunakan oleh Sunni
Di sisi lain, Sunni merujuk pada hadis-hadis yang menunjukkan pelarangan nikah mut'ah oleh Nabi Muhammad. Mereka juga menggunakan ijma' (konsensus) ulama yang sepakat bahwa nikah mut'ah tidak sah dan dilarang dalam Islam. Selain itu, keputusan Khalifah Umar bin Khattab yang secara resmi melarang praktik ini juga dijadikan sebagai dasar hukum oleh Sunni. Mereka berpendapat bahwa pernikahan harus bersifat permanen dan tidak boleh dibatasi oleh waktu tertentu (Rizvi, 1994).
Alasan Sosial dan Moral
Ulama Sunni menekankan bahwa nikah mut'ah tidak sesuai dengan tujuan utama pernikahan dalam Islam, yaitu membangun keluarga yang stabil dan berkelanjutan. Mereka berpendapat bahwa pernikahan sementara hanya akan menyebabkan ketidakstabilan sosial dan moralitas. Nikah mut'ah dianggap sebagai bentuk eksploitasi terhadap perempuan dan tidak memberikan perlindungan hukum yang memadai bagi mereka. Di sisi lain, Syiah berpendapat bahwa nikah mut'ah adalah cara untuk memenuhi kebutuhan biologis manusia dalam kerangka yang sah dan dibenarkan oleh hukum Islam (Nasr, 2006).
Nikah mut'ah adalah konsep yang sangat kontroversial dalam hukum Islam, dengan pandangan yang sangat berbeda antara Sunni dan Syiah. Sementara Syiah menganggap nikah mut'ah sebagai praktik yang sah dan memiliki dasar hukum yang kuat, Sunni secara tegas menolaknya berdasarkan hadis-hadis yang melarang praktik ini, interpretasi ayat-ayat Al-Qur'an yang mendukung pernikahan permanen, dan ijma' ulama yang sepakat bahwa nikah mut'ah tidak sah. Perbedaan-perbedaan ini mencerminkan perbedaan teologis, historis, dan sosial yang mendalam antara kedua aliran Islam ini.
Persamaan dalam Aspek Hukum
Nilai-nilai Etika dan Moral yang Terkait
Dalam perspektif hukum Islam, meskipun terdapat perbedaan pandangan yang signifikan antara Sunni dan Syiah mengenai nikah mut'ah, kedua mazhab ini berbagi beberapa kesamaan dalam nilai-nilai etika dan moral yang mendasari ajaran mereka. Kedua kelompok ini menekankan pentingnya menjaga martabat dan kehormatan dalam hubungan perkawinan, baik dalam pernikahan permanen maupun temporer.
Baik Sunni maupun Syiah menekankan pentingnya kejujuran dan keadilan dalam semua jenis pernikahan. Dalam nikah mut'ah, kesepakatan harus didasarkan pada saling pengertian dan persetujuan antara kedua belah pihak. Kejujuran mengenai durasi, hak, dan kewajiban harus jelas sejak awal. Prinsip ini tercermin dalam berbagai literatur hukum Islam yang menegaskan pentingnya transparansi dan niat baik dalam perjanjian pernikahan (Mutahhari, 1986).
Kedua mazhab juga menekankan pentingnya melindungi hak-hak perempuan dalam pernikahan. Dalam nikah mut'ah, meskipun bersifat temporer, perempuan tetap berhak atas mahar dan hak-hak lain yang disepakati. Ini menunjukkan bahwa etika perlindungan terhadap perempuan dijaga, terlepas dari jenis pernikahannya. Kewajiban untuk memberikan mahar dan memperlakukan pasangan dengan adil adalah salah satu nilai moral yang dijunjung tinggi oleh kedua mazhab (Rizvi, 1994).
Nikah mut'ah, meskipun kontroversial, diatur dengan ketat dalam hukum Islam untuk menjaga kesucian dan kesopanan. Kedua mazhab mengakui bahwa tujuan utama dari setiap jenis pernikahan dalam Islam adalah untuk menjaga moralitas masyarakat. Oleh karena itu, nikah mut'ah tidak dimaksudkan untuk eksploitasi tetapi sebagai solusi untuk kebutuhan tertentu dalam kerangka hukum yang sah (Nasr, 2006).
Implikasi Sosial dan Kultural
Implikasi sosial dan kultural dari nikah mut'ah sangat beragam dan sering kali dipengaruhi oleh konteks lokal dan dinamika sosial di masyarakat Muslim. Berikut adalah beberapa implikasi utama:
Di banyak komunitas Syiah, nikah mut'ah diterima sebagai bagian dari tradisi dan praktik budaya yang sah. Ini memungkinkan adanya fleksibilitas dalam hubungan sosial dan pernikahan. Di sisi lain, komunitas Sunni secara umum menolak praktik ini, yang menciptakan perbedaan kultural yang signifikan antara kedua kelompok. Adaptasi sosial terhadap nikah mut'ah di komunitas Syiah menunjukkan bagaimana norma budaya dapat berinteraksi dengan hukum agama (Mutahhari, 1986).
Nikah mut'ah dapat berfungsi sebagai mekanisme untuk mengatasi masalah sosial tertentu, seperti kebutuhan akan hubungan yang sah secara agama dalam situasi di mana pernikahan permanen tidak memungkinkan. Ini dapat membantu menjaga stabilitas sosial dengan menyediakan alternatif yang sah bagi mereka yang membutuhkan. Namun, di komunitas Sunni, penolakan terhadap nikah mut'ah juga didasarkan pada keyakinan bahwa praktik ini dapat mengganggu stabilitas keluarga dan masyarakat jika disalahgunakan (Rizvi, 1994).
Perbedaan pandangan terhadap nikah mut'ah juga mencerminkan perbedaan kultural yang lebih luas antara Sunni dan Syiah. Syiah cenderung lebih fleksibel dalam interpretasi hukum Islam terkait pernikahan, sementara Sunni lebih konservatif dan ketat dalam interpretasi mereka. Perbedaan ini tidak hanya terlihat dalam praktik hukum tetapi juga dalam bagaimana komunitas-komunitas ini memandang peran perempuan, keluarga, dan struktur sosial secara keseluruhan (Nasr, 2006).
Pentingnya pendidikan dan kesadaran dalam memahami dan menerapkan hukum pernikahan, termasuk nikah mut'ah, tidak dapat diabaikan. Kedua mazhab mendorong pemahaman yang lebih baik tentang hukum pernikahan melalui pendidikan agama. Ini mencakup pemahaman tentang hak dan kewajiban, serta implikasi etis dan moral dari setiap jenis pernikahan. Pendidikan yang baik dapat membantu mengurangi kesalahpahaman dan penyalahgunaan praktik ini di masyarakat (Rizvi, 1994).
Meskipun terdapat perbedaan mendasar antara Sunni dan Syiah dalam pandangan mereka terhadap nikah mut'ah, kedua mazhab ini berbagi beberapa nilai etika dan moral yang mendasar. Kedua kelompok menekankan pentingnya kejujuran, keadilan, perlindungan terhadap perempuan, serta menjaga kesucian dan kesopanan dalam pernikahan. Selain itu, implikasi sosial dan kultural dari nikah mut'ah sangat dipengaruhi oleh konteks lokal dan dinamika sosial, yang menciptakan perbedaan adaptasi dan penerimaan di berbagai komunitas Muslim.
Implikasi Sosial dan Kultural Nikah Mut'ah
Dampak Terhadap Struktur Keluarga
Peran dan Posisi Perempuan dalam Nikah Mut'ah
Nikah mut'ah, atau pernikahan sementara, memiliki dampak signifikan terhadap struktur keluarga dan peran perempuan di dalamnya. Dalam masyarakat yang menerima nikah mut'ah, terutama di kalangan Syiah, perempuan yang terlibat dalam jenis pernikahan ini sering kali memiliki posisi yang berbeda dibandingkan dengan pernikahan permanen. Perempuan dalam nikah mut'ah memiliki hak dan kewajiban yang diatur secara spesifik, termasuk hak atas mahar dan nafkah selama periode pernikahan yang telah disepakati.
Dalam pandangan Syiah, nikah mut'ah memberikan perempuan fleksibilitas dan kesempatan untuk mengatur hidup mereka sesuai dengan kondisi pribadi dan sosial mereka. Misalnya, perempuan yang mungkin tidak siap atau tidak mampu untuk terlibat dalam pernikahan permanen dapat memilih nikah mut'ah sebagai alternatif yang sah secara agama. Hak atas mahar dalam nikah mut'ah juga menjadi bentuk perlindungan finansial bagi perempuan, memastikan bahwa mereka mendapatkan kompensasi yang adil selama masa pernikahan tersebut (Mutahhari, 1986).
Namun, posisi perempuan dalam nikah mut'ah juga bisa menjadi subjek perdebatan dan kritik. Beberapa pihak berpendapat bahwa jenis pernikahan ini dapat mengeksploitasi perempuan, terutama jika digunakan secara tidak etis. Ada kekhawatiran bahwa perempuan mungkin dipaksa atau merasa terpaksa untuk masuk ke dalam pernikahan sementara karena tekanan ekonomi atau sosial, yang dapat merusak martabat dan hak-hak mereka (Nasr, 2006). Oleh karena itu, penting bagi masyarakat dan ulama untuk memastikan bahwa nikah mut'ah dilakukan dengan prinsip keadilan dan penghormatan terhadap hak-hak perempuan.
Pengaruh terhadap Anak-anak yang Lahir dari Nikah Mut'ah
Anak-anak yang lahir dari nikah mut'ah memiliki hak-hak yang sama seperti anak-anak yang lahir dari pernikahan permanen dalam hukum Islam. Mereka berhak atas nafkah, warisan, dan pengakuan sebagai anggota sah dari keluarga. Namun, ada beberapa implikasi sosial dan psikologis yang perlu diperhatikan.
Secara hukum, anak-anak dari nikah mut'ah diakui dan dilindungi, tetapi secara sosial, mereka mungkin menghadapi stigma atau diskriminasi, terutama di komunitas yang tidak menerima atau memahami praktik ini. Hal ini dapat mempengaruhi perkembangan psikologis dan sosial anak-anak tersebut, terutama jika mereka merasa berbeda atau terpinggirkan karena latar belakang pernikahan orang tua mereka (Rizvi, 1994).
Selain itu, keberadaan pernikahan sementara dapat mempengaruhi dinamika keluarga secara keseluruhan. Dalam beberapa kasus, anak-anak dari nikah mut'ah mungkin merasa kurang stabil atau tidak memiliki ikatan keluarga yang kuat seperti yang dirasakan oleh anak-anak dari pernikahan permanen. Oleh karena itu, penting bagi orang tua dan komunitas untuk memberikan dukungan yang memadai kepada anak-anak ini, memastikan bahwa mereka merasa diterima dan dihargai dalam lingkungan sosial mereka.
Persepsi dan Praktik di Masyarakat Kontemporer
Pandangan Masyarakat Muslim terhadap Nikah Mut'ah
Nikah mut'ah, atau pernikahan sementara, merupakan salah satu topik yang paling kontroversial dalam dunia Islam. Perbedaan pandangan mengenai keabsahan dan penerimaan nikah mut'ah mencerminkan perbedaan teologis dan yurisprudensial antara kelompok Sunni dan Syiah. Masyarakat Muslim di seluruh dunia memiliki pandangan yang beragam terhadap nikah mut'ah, tergantung pada interpretasi hukum dan tradisi agama yang mereka anut.
Di kalangan Syiah, khususnya di Iran, nikah mut'ah dianggap sebagai praktik yang sah dan memiliki dasar hukum yang kuat. Ulama Syiah mengajarkan bahwa nikah mut'ah adalah cara yang sah untuk memenuhi kebutuhan emosional dan fisik dalam situasi tertentu, seperti saat seseorang berada jauh dari keluarga dalam waktu yang lama atau dalam keadaan darurat (Mutahhari, 1986). Nikah mut'ah juga dipandang sebagai bentuk perlindungan bagi perempuan, memberikan mereka hak-hak yang jelas dan perlindungan finansial selama periode pernikahan sementara tersebut (Haeri, 1989).
Sebaliknya, di kalangan Sunni, nikah mut'ah dianggap sebagai praktik yang tidak sah dan dilarang. Mayoritas ulama Sunni berpendapat bahwa nikah mut'ah telah dihapuskan oleh Nabi Muhammad dan tidak lagi diperbolehkan setelah masa awal Islam. Pandangan ini didasarkan pada sejumlah hadis yang mengindikasikan bahwa Nabi Muhammad melarang praktik tersebut (Nasr, 2006). Oleh karena itu, di banyak negara Muslim yang mayoritas penduduknya Sunni, nikah mut'ah tidak diterima dan dianggap sebagai bentuk pernikahan yang tidak sah.
Praktik Nikah Mut'ah di Berbagai Negara Muslim
Praktik Nikah mut'ah bervariasi di berbagai negara Muslim, tergantung pada dominasi mazhab dan interpretasi hukum yang berlaku. Di Iran, di mana Syiah adalah mayoritas, nikah mut'ah diatur oleh hukum negara dan sering digunakan oleh masyarakat. Pemerintah Iran memberikan legalitas pada pernikahan sementara ini dan mengatur syarat-syarat yang harus dipenuhi, seperti persetujuan kedua belah pihak, penetapan mahar, dan durasi pernikahan (Haeri, 1989). Pernikahan ini juga didaftarkan secara resmi, meskipun durasinya mungkin hanya beberapa hari atau minggu.
Di Irak, yang juga memiliki populasi Syiah yang besar, nikah mut'ah dipraktikkan dengan cara yang mirip seperti di Iran. Namun, situasi politik dan sosial yang bergejolak di negara tersebut membuat praktik ini kadang-kadang kontroversial dan menghadapi tantangan dari berbagai kelompok. Ulama Syiah di Irak sering kali memberikan fatwa dan bimbingan mengenai cara yang benar untuk melaksanakan nikah mut'ah, menekankan pentingnya niat yang tulus dan kepatuhan terhadap syarat-syarat hukum Islam (Madelung, 1997).
Di negara-negara dengan mayoritas Sunni seperti Arab Saudi, Mesir, dan Indonesia, nikah mut'ah tidak diakui secara hukum dan dianggap ilegal. Praktik ini jarang dilakukan dan jika dilakukan, biasanya tersembunyi dan tidak mendapatkan pengakuan resmi. Pemerintah dan ulama Sunni di negara-negara ini berpegang pada pandangan bahwa nikah mut'ah adalah bentuk pernikahan yang dilarang dan tidak sesuai dengan ajaran Islam yang benar (Rizvi, 1994).
Namun, ada beberapa negara dengan populasi Muslim yang beragam, seperti Pakistan dan India, di mana komunitas Syiah dapat mempraktikkan nikah mut'ah dalam lingkup komunitas mereka sendiri. Meskipun demikian, praktik ini sering kali tetap kontroversial dan dapat menimbulkan ketegangan antara komunitas Syiah dan Sunni (Halm, 1996).
Studi Kasus dan Contoh Praktis
Studi Kasus di Negara-negara dengan Mayoritas Syiah
Nikah mut'ah, yang juga dikenal sebagai pernikahan sementara, adalah praktik yang memiliki legalitas dan penerimaan yang signifikan dalam komunitas Syiah. Praktik ini berbeda dari pernikahan permanen karena memiliki batasan waktu yang ditentukan di awal perjanjian. Dalam negara-negara dengan mayoritas Syiah, seperti Iran dan Irak, nikah mut'ah tidak hanya diakui secara hukum tetapi juga sering dipraktikkan dalam berbagai konteks sosial dan ekonomi.
Iran adalah salah satu negara yang paling dikenal dengan praktik nikah mut'ah. Dalam konteks hukum di Iran, pernikahan sementara ini diakui dan diatur oleh hukum negara. Studi yang dilakukan oleh Shahla Haeri dalam bukunya Law of Desire: Temporary Marriage in Shi'i Iran menggambarkan bagaimana nikah mut'ah dipraktikkan di Iran dan bagaimana praktik ini memengaruhi kehidupan sosial dan ekonomi wanita Iran (Haeri, 1989). Di Iran, nikah mut'ah sering digunakan sebagai solusi untuk kebutuhan sosial dan ekonomi sementara, seperti kebutuhan seksual dan kebutuhan finansial.
Pemerintah Iran mengatur nikah mut'ah dengan ketat, memastikan bahwa perjanjian ini dibuat secara sukarela dan bahwa kedua belah pihak memahami hak dan kewajiban mereka. Nikah mut'ah juga dipandang sebagai cara untuk menghindari zina (hubungan di luar nikah) dalam masyarakat yang sangat konservatif. Studi oleh Haeri menunjukkan bahwa meskipun ada beberapa kritik terhadap praktik ini, banyak wanita Iran yang merasa bahwa nikah mut'ah memberikan mereka lebih banyak fleksibilitas dan kontrol atas kehidupan mereka.
Di Irak, nikah mut'ah juga diakui dan dipraktikkan, meskipun mungkin tidak sepopuler di Iran. Komunitas Syiah di Irak melihat nikah mut'ah sebagai bagian dari tradisi agama mereka yang memberikan solusi sementara bagi masalah sosial tertentu. Buku karya Yitzhak Nakash, Reaching for Power: The Shi'a in the Modern Arab World, menggambarkan bagaimana komunitas Syiah di Irak menggunakan nikah mut'ah untuk memenuhi kebutuhan sosial dan keagamaan mereka (Nakash, 2006).
Nakash mencatat bahwa di Irak, praktik nikah mut'ah sering kali melibatkan perjanjian yang dibuat dalam lingkup keluarga yang lebih luas, di mana keluarga besar memberikan persetujuan dan dukungan. Hal ini membantu memastikan bahwa perjanjian pernikahan sementara ini dibuat dengan niat baik dan dengan kesadaran penuh akan konsekuensinya. Selain itu, nikah mut'ah di Irak sering digunakan oleh janda atau wanita yang bercerai yang mencari perlindungan ekonomi dan sosial sementara sebelum mereka menemukan pasangan tetap.
Lebanon, dengan populasi Syiah yang signifikan, juga menyaksikan praktik nikah mut'ah, meskipun dalam skala yang lebih kecil dibandingkan dengan Iran dan Irak. Dalam konteks Lebanon, nikah mut'ah sering dilihat sebagai solusi sementara bagi individu yang ingin menghindari dosa dan menjaga moralitas mereka sebelum menikah secara permanen. Studi yang dilakukan oleh Augustus Richard Norton dalam bukunya Hezbollah: A Short History menggambarkan bagaimana komunitas Syiah di Lebanon menggunakan nikah mut'ah sebagai bagian dari kehidupan sosial dan religius mereka (Norton, 2007).
Norton mencatat bahwa di Lebanon, nikah mut'ah sering kali tidak hanya melibatkan pasangan muda yang belum siap untuk komitmen pernikahan permanen tetapi juga individu yang berusia lebih tua yang mencari hubungan sementara untuk mengatasi kesepian atau kebutuhan emosional. Dalam banyak kasus, perjanjian nikah mut'ah di Lebanon disertai dengan konseling dari pemimpin agama untuk memastikan bahwa kedua belah pihak memahami dan menghormati komitmen mereka.
Studi Kasus di Negara-negara dengan Mayoritas Sunni
Studi kasus di negara-negara dengan mayoritas Sunni memberikan gambaran yang lebih luas mengenai praktik dan pandangan terhadap nikah mut'ah. Dalam konteks ini, analisis akan difokuskan pada negara-negara seperti Mesir, Arab Saudi, dan Indonesia, yang memiliki mayoritas Sunni dan kebijakan hukum yang berbeda mengenai nikah mut'ah.
Mesir, sebagai salah satu negara Sunni terbesar di dunia, memiliki pandangan yang tegas terhadap nikah mut'ah. Hukum di Mesir, yang didasarkan pada Mazhab Hanafi, menganggap nikah mut'ah sebagai bentuk pernikahan yang tidak sah. Pandangan ini sejalan dengan pandangan mayoritas ulama Sunni yang menganggap praktik ini telah dilarang oleh Nabi Muhammad setelah masa awal Islam. Al-Azhar, sebagai otoritas keagamaan tertinggi di Mesir, juga menegaskan bahwa nikah mut'ah tidak sesuai dengan prinsip-prinsip Islam dan bertentangan dengan tujuan utama pernikahan, yaitu membentuk keluarga yang stabil dan harmonis (Ali, 2003).
Di Mesir, penolakan terhadap nikah mut'ah juga didasarkan pada alasan sosial dan moral. Praktik ini dianggap merendahkan martabat perempuan dan merusak struktur keluarga. Oleh karena itu, baik dari perspektif hukum maupun sosial, nikah mut'ah tidak diterima di Mesir dan tidak memiliki tempat dalam praktik pernikahan di negara tersebut.
Arab Saudi, yang menerapkan hukum Islam berdasarkan Mazhab Hanbali, juga menganggap nikah mut'ah sebagai praktik yang ilegal dan tidak sah. Pemerintah Saudi sangat tegas dalam menegakkan hukum ini, mengingat bahwa negara ini adalah penjaga dua kota suci Islam, Mekah dan Madinah, dan memainkan peran penting dalam menjaga kemurnian ajaran Islam.
Pandangan ulama di Arab Saudi sangat keras terhadap nikah mut'ah. Mereka menganggap praktik ini sebagai bentuk perzinahan yang dilegalkan dan bertentangan dengan ajaran Al-Quran dan Sunnah. Fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh ulama Saudi menegaskan bahwa pernikahan harus bersifat permanen dan bertujuan untuk membangun keluarga yang kuat, bukan sekadar memenuhi hasrat sementara (Bin Baz, 1996).
Indonesia, sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, memiliki pendekatan yang sedikit berbeda. Hukum di Indonesia didasarkan pada berbagai mazhab, dengan mayoritas mengikuti Mazhab Syafi'i. Meskipun demikian, pandangan umum di Indonesia tentang nikah mut'ah adalah bahwa praktik ini tidak sah dan tidak diterima secara luas.
Hukum pernikahan di Indonesia diatur oleh Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, yang menegaskan bahwa pernikahan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam konteks ini, nikah mut'ah tidak diakui karena tidak sesuai dengan prinsip-prinsip pernikahan yang diatur oleh undang-undang (Fakih, 2002).
Selain itu, pandangan masyarakat Indonesia terhadap nikah mut'ah juga cenderung negatif. Masyarakat Indonesia menganggap bahwa pernikahan harus didasarkan pada komitmen jangka panjang dan kepercayaan, bukan kontrak sementara yang dapat merusak moralitas dan tatanan sosial.
Analisis dari studi kasus di atas menunjukkan bahwa pandangan terhadap nikah mut'ah sangat dipengaruhi oleh interpretasi hukum Islam yang dianut oleh negara masing-masing. Di negara-negara dengan mayoritas Sunni, pandangan umum adalah bahwa nikah mut'ah tidak sah dan bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar pernikahan dalam Islam. Penolakan ini didasarkan pada dalil-dalil Al-Quran dan Hadis, serta interpretasi dari ulama terkemuka.
Selain itu, aspek sosial dan moral juga memainkan peran penting dalam penolakan terhadap nikah mut'ah. Praktik ini dianggap dapat merusak struktur keluarga dan martabat perempuan, serta tidak sesuai dengan tujuan utama pernikahan dalam Islam, yaitu membentuk keluarga yang stabil dan harmonis.
Dalam konteks kontemporer, pandangan masyarakat terhadap nikah mut'ah juga dipengaruhi oleh modernisasi dan perubahan sosial. Masyarakat cenderung lebih memilih pernikahan permanen yang didasarkan pada komitmen jangka panjang dan saling percaya, sesuai dengan nilai-nilai moral dan etika yang dianut.
Secara keseluruhan, studi kasus di negara-negara dengan mayoritas Sunni menunjukkan bahwa meskipun terdapat perbedaan dalam interpretasi hukum Islam, pandangan umum adalah bahwa nikah mut'ah tidak sah dan tidak sesuai dengan prinsip-prinsip pernikahan dalam Islam. Pandangan ini didukung oleh dalil-dalil agama, interpretasi ulama, serta pertimbangan sosial dan moral yang kuat.
Studi kasus di atas menunjukkan bahwa nikah mut'ah memiliki beragam aplikasi dan implikasi dalam negara-negara dengan mayoritas Syiah. Di Iran, Irak, dan Lebanon, praktik ini memberikan solusi sementara untuk kebutuhan sosial, ekonomi, dan keagamaan. Namun, praktik ini juga memunculkan berbagai kritik dan tantangan. Misalnya, beberapa kritikus berpendapat bahwa nikah mut'ah dapat disalahgunakan oleh individu yang tidak bertanggung jawab, dan bahwa wanita yang terlibat dalam perjanjian ini mungkin rentan terhadap eksploitasi.
Studi-studi tersebut juga menyoroti pentingnya regulasi yang ketat dan pengawasan untuk memastikan bahwa nikah mut'ah dipraktikkan dengan cara yang adil dan etis. Regulasi ini termasuk memastikan bahwa perjanjian dibuat secara sukarela, bahwa kedua belah pihak memiliki pemahaman penuh tentang hak dan kewajiban mereka, dan bahwa ada mekanisme perlindungan untuk mencegah penyalahgunaan.
Secara keseluruhan, praktik nikah mut'ah dalam komunitas Syiah mencerminkan fleksibilitas hukum Islam dalam menghadapi berbagai tantangan sosial dan ekonomi. Namun, seperti halnya dengan semua praktik hukum, penting untuk memastikan bahwa hak-hak individu dilindungi dan bahwa perjanjian ini dibuat dengan itikad baik dan kesadaran penuh akan konsekuensinya.
Kritik dan Kontroversi
Kritik dari Perspektif Internal Islam
Pandangan Ulama dan Cendekiawan Muslim
Nikah mut'ah, atau pernikahan sementara, telah menjadi topik kontroversial dalam dunia Islam sejak awal kemunculannya. Meski diterima dalam mazhab Syiah, banyak ulama dan cendekiawan Sunni menolak praktik ini, menganggapnya sebagai bentuk pernikahan yang tidak sah dan bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam.
Ulama Sunni seperti Ibn Katsir dalam Tafsir al-Qur'an al-Azim menegaskan bahwa nikah mut'ah telah dilarang oleh Nabi Muhammad berdasarkan hadis-hadis yang sahih. Menurut pandangan ini, mut'ah diizinkan hanya pada masa-masa awal Islam ketika umat Muslim sedang dalam keadaan darurat, namun kemudian dilarang secara tegas. Ibn Katsir (2003) mengutip beberapa hadis di mana Nabi Muhammad menyatakan bahwa mut'ah diharamkan hingga hari kiamat. Pandangan ini didukung oleh mayoritas ulama Sunni, yang melihat nikah mut'ah sebagai bentuk pernikahan yang tidak memberikan perlindungan yang cukup bagi perempuan dan anak-anak.
Pandangan ini juga diamini oleh cendekiawan kontemporer seperti Abdul Aziz bin Baz dalam Fatawa Islamiyah: Islamic Verdicts. Bin Baz (1996) menekankan bahwa mut'ah tidak memiliki dasar hukum yang sah dalam Syariah setelah penghapusan oleh Nabi. Dalam konteks modern, ia berpendapat bahwa praktik ini dapat menyebabkan kerusakan sosial dan moral, serta merendahkan martabat perempuan.
Dari sisi ulama Al-Azhar, yang merupakan salah satu institusi keagamaan tertua dan paling berpengaruh dalam dunia Islam Sunni, sikap terhadap nikah mut'ah juga sangat tegas. Sheikh Muhammad Sayyid Tantawi, mantan Grand Sheikh Al-Azhar, dalam banyak fatwanya menegaskan bahwa nikah mut'ah tidak sah dan bertentangan dengan tujuan pernikahan dalam Islam, yaitu membangun keluarga yang sakinah (tenang), mawaddah (cinta), dan rahmah (kasih sayang). Tantawi menegaskan bahwa pernikahan dalam Islam seharusnya bersifat permanen dan dilandasi oleh komitmen jangka panjang antara suami dan istri (Tantawi, 2001).
Sheikh Yusuf Al-Qardhawi, seorang ulama kontemporer terkemuka, juga mengkritik keras nikah mut'ah. Dalam bukunya The Lawful and the Prohibited in Islam, Al-Qardhawi menjelaskan bahwa praktik ini dapat merusak tatanan sosial dan moral dalam masyarakat. Ia berpendapat bahwa mut'ah lebih menyerupai perzinaan yang disahkan secara temporer dan tidak sesuai dengan prinsip-prinsip Syariah yang menekankan perlindungan hak-hak perempuan dan stabilitas keluarga (Al-Qardhawi, 1994).
Di sisi lain, ulama Syiah seperti Muhammad Baqir al-Sadr dalam Lessons in Islamic Jurisprudence berpendapat bahwa nikah mut'ah tetap sah dan diperbolehkan dalam Islam. Menurut al-Sadr, dalil-dalil yang digunakan untuk mengharamkan mut'ah tidak cukup kuat untuk meniadakan ayat Al-Qur'an yang secara eksplisit memperbolehkannya. Ia berargumen bahwa mut'ah memberikan solusi bagi kebutuhan tertentu dalam masyarakat, seperti untuk mereka yang tidak mampu menikah secara permanen.
Ulama Syiah lainnya, seperti Murtaza Mutahhari dalam The Rights of Women in Islam, juga mendukung praktik ini dengan alasan bahwa mut'ah memberikan jalan keluar bagi individu yang membutuhkan hubungan legal tanpa komitmen jangka panjang. Mutahhari (1986) menekankan bahwa mut'ah, jika dilakukan dengan benar dan berdasarkan niat yang baik, dapat membantu mengurangi dosa zina dalam masyarakat. Ia juga menekankan pentingnya persetujuan dan perlindungan hak-hak perempuan dalam perjanjian mut'ah.
Sementara itu, Sayyid Mohammad Hussein Fadlallah, seorang ulama Syiah terkemuka dari Lebanon, dalam bukunya Islamic Rulings, mengakui bahwa meskipun mut'ah diizinkan, praktik ini harus dilakukan dengan sangat hati-hati. Fadlallah (1995) menggarisbawahi pentingnya transparansi dan kesepakatan yang jelas antara kedua belah pihak untuk menghindari penyalahgunaan dan penipuan. Ia juga menekankan bahwa mut'ah tidak boleh dijadikan alat untuk eksploitasi atau pemenuhan hawa nafsu semata.
Dalam konteks akademis, studi yang dilakukan oleh Shahla Haeri dalam Law of Desire: Temporary Marriage in Shi'i Iran memberikan perspektif menarik tentang bagaimana nikah mut'ah dipraktikkan di Iran. Haeri (1989) mencatat bahwa meskipun mut'ah memiliki dasar hukum dalam Syiah, praktik ini sering kali dipengaruhi oleh norma-norma budaya dan sosial setempat. Studi ini menunjukkan bahwa mut'ah dapat memberikan fleksibilitas bagi perempuan dalam masyarakat yang sangat patriarkal, namun juga berpotensi menimbulkan ketidaksetaraan dan ketidakadilan jika tidak diatur dengan baik.
Dari perspektif sejarah, Madelung (1997) dalam The Succession to Muhammad: A Study of the Early Caliphate menyebutkan bahwa mut'ah menjadi salah satu poin perdebatan utama antara Sunni dan Syiah pasca wafatnya Nabi Muhammad. Kontroversi ini tidak hanya berakar pada interpretasi teks-teks agama, tetapi juga pada dinamika politik dan sosial yang melingkupi periode awal Islam.
Dengan demikian, pandangan ulama dan cendekiawan Muslim terhadap nikah mut'ah sangat beragam, tergantung pada mazhab, konteks sosial, dan interpretasi teks-teks agama. Meskipun terdapat perbedaan pendapat yang signifikan, perdebatan tentang nikah mut'ah mencerminkan kompleksitas hukum Islam dan dinamika sosial budaya yang mempengaruhinya.
Kritik dari Perspektif Eksternal
Perspektif Hukum Internasional dan HAM
Nikah mut'ah, atau pernikahan sementara dalam Islam, telah menjadi subjek kritik dari berbagai perspektif, termasuk hukum internasional dan hak asasi manusia (HAM). Dari sudut pandang hukum internasional, pernikahan sementara sering dikaitkan dengan masalah-masalah yang berkaitan dengan eksploitasi, ketidaksetaraan gender, dan pelanggaran hak-hak perempuan. Organisasi internasional seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan berbagai kelompok HAM telah menyoroti bahwa bentuk pernikahan ini dapat menempatkan perempuan dalam posisi rentan, terutama jika tidak ada perlindungan hukum yang memadai.
Beberapa pakar HAM berpendapat bahwa nikah mut'ah dapat disalahgunakan untuk tujuan-tujuan yang tidak etis, seperti menghindari tanggung jawab jangka panjang terhadap pasangan atau anak-anak yang mungkin dihasilkan dari pernikahan tersebut. Sebagai contoh, dalam banyak kasus di Iran, di mana nikah mut'ah diizinkan, ditemukan bahwa pernikahan sementara sering kali digunakan sebagai cara legal untuk mengesahkan hubungan yang seharusnya dilarang di bawah hukum Islam konvensional (Haeri, 1989). Kritik ini mengacu pada prinsip-prinsip Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, yang menekankan pentingnya kesetaraan dan perlindungan terhadap eksploitasi.
Lebih jauh, para aktivis HAM menyatakan bahwa praktik nikah mut'ah dapat merendahkan martabat perempuan dan melanggar hak-hak mereka untuk mendapatkan pernikahan yang sah dan penuh penghormatan. Mereka berargumen bahwa bentuk pernikahan ini tidak sejalan dengan prinsip-prinsip modern tentang kesetaraan gender dan perlindungan hak-hak perempuan, sebagaimana diuraikan dalam Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) (UN Women, 2019). Kritik-kritik ini didasarkan pada kenyataan bahwa banyak perempuan yang terlibat dalam nikah mut'ah tidak memiliki akses yang sama terhadap sumber daya ekonomi atau hukum yang dapat melindungi mereka dari penyalahgunaan.
Pandangan Masyarakat Global
Dari perspektif masyarakat global, nikah mut'ah juga menimbulkan kontroversi. Banyak masyarakat di luar dunia Islam melihat praktik ini sebagai bentuk pernikahan yang eksploitatif dan tidak adil. Persepsi ini sering kali didasarkan pada laporan-laporan media dan penelitian akademik yang menyoroti kasus-kasus di mana nikah mut'ah disalahgunakan. Misalnya, di negara-negara Barat, di mana monogami dan pernikahan jangka panjang adalah norma, nikah mut'ah dianggap tidak sesuai dengan nilai-nilai dan standar-standar sosial yang berlaku (Tucker, 2008).
Di beberapa negara Muslim, perdebatan mengenai nikah mut'ah juga berlangsung sengit. Di Indonesia, yang mayoritas penduduknya menganut Islam Sunni, nikah mut'ah dilarang dan dipandang sebagai bentuk pernikahan yang tidak sah (Fakih, 2002). Hal ini berbeda dengan di Iran, di mana nikah mut'ah dilegalkan dan diterima secara sosial dalam komunitas Syiah. Kontroversi ini menunjukkan adanya perbedaan pandangan yang tajam antara berbagai komunitas Muslim mengenai keabsahan dan etika nikah mut'ah.
Selain itu, masyarakat global juga mempertanyakan dampak sosial dari nikah mut'ah. Mereka khawatir bahwa praktik ini dapat merusak struktur keluarga dan menimbulkan masalah sosial yang lebih luas. Misalnya, anak-anak yang lahir dari pernikahan sementara mungkin menghadapi stigma sosial dan ketidakpastian hukum mengenai status mereka (Haeri, 1989). Hal ini dapat berdampak negatif pada perkembangan psikologis dan kesejahteraan anak-anak tersebut.
Dalam pandangan masyarakat global, penting untuk mempertimbangkan reformasi hukum yang dapat mengatasi masalah-masalah yang berkaitan dengan nikah mut'ah. Mereka mendorong adanya dialog antara komunitas-komunitas Muslim dan masyarakat internasional untuk menemukan solusi yang dapat menghormati tradisi Islam sekaligus melindungi hak-hak asasi manusia. Ini termasuk memastikan bahwa perempuan yang terlibat dalam nikah mut'ah memiliki akses terhadap perlindungan hukum yang memadai dan hak-hak yang setara dengan pasangan laki-laki mereka.
Dalam kesimpulannya, kritik terhadap nikah mut'ah dari perspektif eksternal berfokus pada isu-isu kesetaraan gender, perlindungan hak asasi manusia, dan dampak sosial dari praktik pernikahan sementara. Perspektif hukum internasional dan pandangan masyarakat global menekankan perlunya reformasi dan perlindungan hukum untuk memastikan bahwa nikah mut'ah tidak digunakan sebagai alat eksploitasi dan bahwa hak-hak perempuan dihormati dan dilindungi.
Kesimpulan
Kesimpulan dari penelitian ini menggarisbawahi perbedaan dan persamaan mendasar dalam pandangan hukum mengenai nikah mut'ah antara mazhab Sunni dan Syiah. Pandangan hukum dalam Islam mengenai pernikahan temporer ini memperlihatkan variasi interpretasi yang mencolok, di mana Syiah Ja'fari memandangnya sebagai praktik yang sah dan dibenarkan oleh sumber-sumber hukum mereka, sementara Sunni secara umum menolaknya dan menganggapnya telah dihapuskan oleh Nabi Muhammad. Dalam mazhab Syiah, nikah mut'ah dianggap memiliki dasar yang kuat dalam teks-teks keagamaan dan praktik para sahabat Nabi, dengan ketentuan yang ketat mengenai durasi, hak, dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh kedua belah pihak. Di sisi lain, mazhab Sunni menekankan pelarangan nikah mut'ah berdasarkan hadis-hadis yang menyebutkan bahwa Nabi telah melarangnya secara permanen, sehingga praktik ini dianggap tidak sah.
Persamaan yang dapat dilihat dari kedua pandangan tersebut adalah perhatian terhadap kesejahteraan individu dan keadilan dalam hubungan pernikahan. Baik Sunni maupun Syiah memiliki nilai-nilai etika dan moral yang kuat terkait dengan perlindungan hak-hak perempuan dan anak-anak dalam pernikahan, meskipun mereka berbeda dalam penerimaan nikah mut'ah. Kedua mazhab juga menekankan pentingnya niat yang baik dan komitmen dalam hubungan pernikahan, meskipun interpretasi dan aplikasinya bisa berbeda.
Refleksi dari studi ini menunjukkan pentingnya dialog dan pemahaman lintas mazhab dalam Islam. Perbedaan pandangan hukum seperti yang terlihat dalam kasus nikah mut'ah dapat menjadi sumber perpecahan jika tidak dikelola dengan bijak. Oleh karena itu, dialog yang konstruktif antara ulama dan cendekiawan dari berbagai mazhab sangat penting untuk memperkaya pemahaman dan menciptakan kesepahaman yang lebih baik. Mengakui dan menghormati perbedaan interpretasi hukum dapat membantu mengurangi konflik sektarian dan mempromosikan kerukunan umat Islam.
Implikasi dari penelitian ini juga mengarah pada kebutuhan untuk penelitian lebih lanjut dalam studi Islam, khususnya dalam hal hukum keluarga dan pernikahan. Studi yang lebih mendalam tentang bagaimana berbagai mazhab Islam menangani isu-isu kontemporer terkait pernikahan, keluarga, dan gender dapat memberikan wawasan yang berharga untuk pengembangan hukum Islam yang lebih responsif terhadap kebutuhan zaman. Selain itu, penelitian lintas disiplin yang menggabungkan perspektif hukum, sosiologi, dan studi gender dapat membantu memahami dinamika kompleks yang melibatkan praktik-praktik seperti nikah mut'ah dan bagaimana mereka mempengaruhi kehidupan sosial dan kultural masyarakat Muslim.
Secara keseluruhan, penelitian ini menegaskan bahwa pemahaman yang mendalam dan dialog yang terbuka antara mazhab-mazhab dalam Islam adalah kunci untuk memelihara kesatuan dan kekayaan tradisi keagamaan Islam. Dengan menghargai perbedaan dan bekerja menuju pemahaman bersama, umat Islam dapat memperkuat ikatan persaudaraan dan menghadapi tantangan-tantangan masa depan dengan lebih solid dan harmonis.
Discussion about this post