Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat ini semakin sering menghadapi kekalahan dalam sidang praperadilan, termasuk dalam kasus terbaru melawan Gubernur Kalimantan Selatan, Sahbirin Noor. Kekalahan ini biasanya disebabkan oleh persoalan formil, seperti ketidakabsahan prosedur penyidikan atau penetapan tersangka. Dalam kasus Sahbirin Noor, hakim menyatakan bahwa penetapan tersangka oleh KPK tidak sah karena prosedur yang melanggar aturan formal. Sebelumnya, kasus serupa juga terjadi pada Budi Gunawan dan Ilham Arief Sirajuddin, yang mengungkap kelemahan KPK dalam memenuhi persyaratan hukum.
Salah satu faktor yang mempersulit posisi KPK adalah aturan dalam Undang-Undang KPK yang mengharuskan lembaga ini mematuhi ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Interpretasi pasal-pasal dalam KUHAP oleh hakim kerap berujung pada pembatalan status tersangka. Misalnya, beberapa hakim memutuskan bukti yang diajukan KPK tidak sah karena berupa fotokopi, yang dianggap tidak memenuhi standar. Hal ini tidak hanya melemahkan upaya penegakan hukum, tetapi juga membuka celah hukum yang dimanfaatkan oleh tersangka untuk membatalkan proses hukum.
Strategi hukum yang digunakan oleh tersangka juga menjadi tantangan besar bagi KPK. Para pengacara tersangka sering kali memanfaatkan celah hukum yang ada untuk membatalkan status tersangka tanpa menyentuh substansi kasus. Dalam banyak kasus, KPK harus mengulang proses hukum, memperkuat bukti, atau mengajukan surat perintah penyidikan (sprindik) baru. Selain itu, inkonsistensi putusan hakim dalam beberapa kasus besar, seperti kasus Setya Novanto, menimbulkan keraguan publik terhadap sistem peradilan dan integritasnya.
Kritik terhadap KPK juga mengemuka terkait kelemahan internal lembaga tersebut. Beberapa kasus menunjukkan bahwa koordinasi internal yang kurang baik dan lemahnya kualitas penyelidikan berkontribusi pada kekalahan di praperadilan. Bukti yang tidak cukup kuat atau prosedur penyelidikan yang tidak sesuai aturan sering kali menjadi alasan utama. Di sisi lain, tekanan politik dan berbagai upaya pelemahan institusional semakin memperburuk posisi KPK dalam menghadapi tantangan hukum.
Selain itu, kekalahan KPK di praperadilan juga sering kali dipengaruhi oleh dinamika politik. Dalam beberapa kasus, dugaan intervensi politik terhadap proses hukum tidak dapat diabaikan. Ada kekhawatiran bahwa hakim yang menangani praperadilan dapat terpengaruh oleh tekanan dari pihak-pihak berkepentingan. Hal ini menciptakan ketidakpastian hukum yang merugikan upaya pemberantasan korupsi.
Kelemahan sistem hukum juga menjadi faktor yang memperburuk situasi. Pasal-pasal dalam UU KPK dan KUHAP sering kali tidak cukup adaptif untuk mengatasi kejahatan korupsi yang semakin kompleks. Reformasi hukum yang substansial diperlukan untuk memberikan kejelasan prosedural dan menghilangkan celah yang dimanfaatkan oleh pelaku korupsi. Jika tidak, KPK akan terus terjebak dalam dilema prosedural yang melemahkan efektivitasnya.
Di sisi lain, masyarakat memiliki peran penting dalam mendukung KPK. Opini publik yang kuat dapat memberikan tekanan kepada institusi peradilan untuk bertindak lebih transparan dan adil. Dukungan masyarakat juga dapat mendorong upaya reformasi hukum yang mendesak. Tanpa dukungan ini, perjuangan KPK melawan korupsi akan semakin berat di tengah tekanan politik dan hukum yang tidak berpihak.
Akhirnya, kekalahan KPK dalam praperadilan adalah hasil dari kombinasi kelemahan internal, celah hukum, tekanan politik, dan dinamika sistem peradilan yang tidak konsisten. Perlu ada upaya kolektif, termasuk reformasi hukum, penguatan internal KPK, dan peningkatan kesadaran publik, untuk memastikan bahwa upaya pemberantasan korupsi dapat berjalan lebih efektif. Tanpa perubahan ini, KPK akan terus menghadapi hambatan dalam menjalankan tugasnya sebagai garda depan melawan korupsi di Indonesia (***)
Discussion about this post