Wacana menjadikan Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai lembaga ad hoc menuai pro dan kontra di kalangan publik. Usulan ini dilontarkan oleh anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, Saleh Daulay, yang berargumen bahwa penghematan anggaran negara dapat dicapai jika KPU hanya beroperasi selama dua tahun untuk persiapan dan pelaksanaan pemilu. Meski tujuan penghematan ini tampak logis, ide tersebut memunculkan pertanyaan mendasar terkait efektivitas, keberlanjutan demokrasi, dan tantangan administratif yang menyertainya.
Pertama, sebagai penyelenggara pemilu, KPU memainkan peran strategis dalam menjaga integritas demokrasi. Menjadikan KPU sebagai lembaga ad hoc dapat mengancam keberlanjutan proses pemilu yang transparan dan akuntabel. Kesiapan teknis dan logistik pemilu memerlukan proses yang berkesinambungan, mulai dari pemutakhiran data pemilih, pembentukan regulasi, hingga pengawasan. Jika KPU hanya aktif selama dua tahun, proses ini berisiko terputus sehingga dapat mengurangi kualitas pemilu.
Kedua, penghematan anggaran yang menjadi alasan utama usulan ini perlu dianalisis lebih dalam. Biaya yang dihemat dari pembubaran KPU di luar tahun pemilu kemungkinan akan diimbangi oleh kebutuhan pembentukan ulang lembaga tersebut setiap kali pemilu tiba. Rekrutmen pegawai baru, pelatihan, dan pembangunan infrastruktur sementara justru berpotensi membengkakkan biaya dalam jangka panjang. Solusi ini mungkin terlihat efisien di permukaan, tetapi bisa menjadi tidak ekonomis dalam praktiknya.
Selain itu, usulan ini juga menimbulkan tantangan dalam membangun kepercayaan publik. KPU yang permanen memiliki waktu untuk membangun kredibilitas dan akuntabilitas di mata masyarakat. Jika KPU hanya bersifat sementara, masyarakat mungkin meragukan independensi dan kapasitas lembaga ini, terutama jika ada perubahan personel atau sistem setiap siklus pemilu. Hal ini dapat mengurangi partisipasi masyarakat dalam pemilu dan memperlemah legitimasi hasil pemilu.
Dari perspektif hukum, perubahan status KPU menjadi lembaga ad hoc juga memerlukan revisi besar terhadap kerangka hukum yang mengatur penyelenggaraan pemilu di Indonesia. Undang-Undang tentang Pemilu dan peraturan terkait harus disesuaikan untuk mengakomodasi perubahan ini, yang membutuhkan waktu, energi, dan biaya besar. Proses ini dapat memicu polemik baru yang justru memperumit penyelenggaraan pemilu.
Tidak kalah penting, stabilitas politik dan administrasi dapat terganggu oleh absennya lembaga yang secara terus-menerus mengawasi dan mengelola proses pemilu. Dalam demokrasi modern, pemilu bukan hanya tentang hari pemungutan suara tetapi juga melibatkan proses pendidikan politik, pengawasan pelanggaran pemilu, serta evaluasi berkala. Fungsi-fungsi ini hampir mustahil dijalankan dengan optimal jika KPU bersifat ad hoc.
Sebagai solusi alternatif, optimalisasi anggaran KPU dapat dilakukan tanpa perlu mengubah statusnya menjadi lembaga ad hoc. Penggunaan teknologi digital dalam proses pemilu, efisiensi belanja operasional, serta pengawasan yang ketat terhadap pengeluaran dapat menjadi langkah efektif untuk menekan biaya tanpa mengorbankan keberlanjutan demokrasi.
Dengan mempertimbangkan berbagai aspek tersebut, menjadikan KPU sebagai lembaga ad hoc tampaknya lebih banyak menimbulkan risiko dibandingkan manfaat. Wacana ini perlu ditimbang secara matang agar tidak mengorbankan kualitas demokrasi yang telah dibangun selama ini. Alih-alih berfokus pada solusi jangka pendek seperti ini, pemerintah dan DPR sebaiknya memprioritaskan langkah-langkah inovatif untuk memperkuat penyelenggaraan pemilu yang lebih efisien dan berintegritas (***)
Discussion about this post