Usulan Fraksi Gerindra untuk mengaudit KPU, Bawaslu, dan DKPP menjadi angin segar yang menyegarkan perdebatan tentang transparansi penyelenggaraan pemilu. Di tengah panasnya isu Pilkada Serentak 2024, yang menyedot anggaran hingga Rp37,4 triliun, audit menyeluruh adalah langkah logis untuk memastikan bahwa setiap rupiah yang digelontorkan benar-benar mendukung demokrasi. Namun, tentu saja, niat mulia ini tak lepas dari berbagai pertanyaan kritis yang patut diulas lebih dalam.
Salah satu sorotan Fraksi Gerindra adalah temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang menunjukkan penyalahgunaan dana hibah pilkada. Pernyataan bahwa “mereka nyolong” mungkin terdengar kasar, tetapi bukan tanpa dasar. Masalah klasik seperti distribusi formulir C6 yang tidak merata hanya puncak gunung es. Bagaimana mungkin anggaran sosialisasi yang melimpah justru tidak sampai kepada masyarakat? Audit menyeluruh bisa menjadi pintu masuk untuk mengurai simpul-simpul kekacauan ini.
Namun, tak cukup hanya menelisik penggunaan anggaran. Proses seleksi anggota KPU dan Bawaslu juga pantas menjadi sorotan. Banyak pihak menduga bahwa mekanisme rekrutmen seringkali dibayangi oleh kepentingan politik dan transaksi uang di bawah meja. Jika tudingan ini benar, maka independensi dan integritas kedua lembaga penyelenggara pemilu ini patut dipertanyakan. Tanpa proses seleksi yang bersih, hasil kerja mereka pun rawan dikompromikan.
Pernyataan Bambang Haryadi bahwa KPU dan Bawaslu mungkin lebih efektif jika bersifat ad hoc adalah gagasan yang menarik. Dengan model ad hoc, potensi pengangguran lembaga setelah pemilu dapat diminimalkan, sekaligus mengurangi beban anggaran negara. Namun, model ini juga memiliki risiko; koordinasi dan profesionalisme bisa terganggu jika anggota tidak memiliki pengalaman yang memadai. Lagi-lagi, audit bukan hanya soal angka, tetapi juga tentang evaluasi kelembagaan secara menyeluruh.
Membentuk panitia kerja (panja) Pilkada Serentak 2024 menjadi langkah lanjutan yang relevan. Panja dapat menginvestigasi lebih rinci penggunaan anggaran dan performa penyelenggara pemilu. Tetapi, harapan ini bisa berubah menjadi ilusi jika Panja hanya menjadi panggung politisasi baru. Kredibilitas Panja harus dijaga agar tidak terjerat konflik kepentingan yang sama dengan isu yang ingin diselesaikan.
Sebagai lembaga yang berperan dalam memastikan suara rakyat tersalurkan, KPU dan Bawaslu semestinya tak alergi terhadap audit. Transparansi adalah mata uang yang membayar kepercayaan publik. Jika laporan hasil audit terbuka dan komprehensif, bukan hanya penyelenggara pemilu yang akan diuntungkan, tetapi juga masyarakat yang kian percaya pada sistem demokrasi.
Namun, di sisi lain, audit besar-besaran ini jangan sampai menjadi alat untuk melemahkan independensi KPU dan Bawaslu. Ada bahaya nyata jika audit dimanfaatkan untuk menekan atau mengintervensi kerja mereka. Dalam skenario buruk, audit malah bisa menjadi alat legitimasi untuk membenarkan langkah politis tertentu. Oleh karena itu, siapa pun yang terlibat dalam audit harus menjaga netralitas dengan ketat.
Usulan Fraksi Gerindra ini menjadi pengingat penting bahwa demokrasi tidak hanya soal menggelar pemilu, tetapi juga bagaimana proses di balik layar berjalan. Audit yang tepat bukanlah ancaman, melainkan investasi menuju pemilu yang lebih baik. Tetapi, jika audit ini sekadar menjadi formalitas tanpa niat perbaikan nyata, maka kita hanya akan berputar dalam lingkaran setan masalah yang tak kunjung selesai (***)
Discussion about this post