Oleh: Ifanko Putra
Pemimpin Redaksi Radarhukum.id
Ketika seorang advokat menimbulkan kegaduhan dalam persidangan dan tindakannya mengarah kepada penghinaan terhadap pengadilan (contempt of court) bagaimana mekanisme yang seharusnya dilakukan sesuai hukum yang berlaku di negara kita?
Penulis akan mencoba memberikan pandangan hukum sesuai dengan regulasi UU advokat dan ketentuan lainnya. Jika tindakan kegaduhan tersebut dianggap melanggar hukum maupun kode etik advokat, terdapat mekanisme khusus yang harus ditempuh untuk menindaklanjutinya. Dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (UU Advokat) dan Kode Etik Advokat, telah diatur bahwa setiap pelanggaran etik mesti melalui proses pemeriksaan oleh Dewan Kehormatan Organisasi Advokat, bukan langsung diputuskan oleh pihak pengadilan.
Organisasi profesi memiliki kewenangan untuk membentuk Dewan Kehormatan yang bertugas menangani dugaan pelanggaran kode etik. Terhadap advokat yang dituduh melakukan pelanggaran wajib diberi kesempatan untuk memberikan pembelaan diri. Tanpa adanya proses pemeriksaan di Dewan Kehormatan, pemecatan atau pencabutan status advokat tidak dapat dilakukan begitu saja. Penegakan etika profesi harus menghormati prinsip due process of law.
Apabila setelah proses pemeriksaan etik terbukti bahwa seorang advokat melakukan pelanggaran berat, Dewan Kehormatan dapat menjatuhkan sanksi, mulai dari peringatan tertulis, skor, hingga pemecatan. Jika pemecatan sudah diputuskan, seluruh hak dan kewajiban advokat yang bersangkutan akan gugur. Berita Acara Sumpah (BAS) sebagai bukti bahwa advokat telah bersumpah di depan pengadilan tinggi, secara otomatis tidak berlaku lagi. Sebab, BAS melekat pada status advokat; apabila status tersebut dicabut, dokumen pendukungnya pun kehilangan kekuatan.
Ketentuan mengenai pengambilan sumpah advokat diatur dalam Pasal 4 ayat (1) UU Advokat, yang menyatakan bahwa setiap advokat harus mengucapkan sumpah di hadapan pengadilan tinggi. Sumpah ini bersifat sakral karena merupakan janji di hadapan Tuhan Yang Maha Esa dan sekaligus di hadapan hukum. Oleh karena itu, sumpah advokat tidak dapat dicabut atau “dibekukan” secara sepihak oleh pengadilan tinggi, karena pada dasarnya sumpah adalah bagian integral dari komitmen moral dan profesional seorang advokat.
Bagaimana dengan Pembekuan BAS oleh Pengadilan Tinggi?
Berbeda halnya dengan pemecatan oleh Dewan Kehormatan, pengadilan tinggi tidak memiliki kewenangan langsung untuk mencabut atau membekukan BAS. BAS hanya berfungsi sebagai catatan resmi bahwa advokat telah bersumpah, bukan keputusan TUN, bukan izin atau lisensi yang dapat dibekukan. Bila terjadi pelanggaran, langkah yang paling tepat adalah melaporkannya ke organisasi advokat untuk diperiksa dalam sidang etik.
Prinsip non-intervensi dalam UU Advokat menekankan independensi profesi advokat. Intervensi langsung dari pengadilan tinggi dalam bentuk pembekuan BAS dapat berpotensi sebagai tindakan yang melampaui kewenangan. Sebagai lembaga penegak hukum, pengadilan memang berwenang menjaga ketertiban persidangan, namun pemberian sanksi administratif atas status advokat bukanlah ranahnya. Tindakan semacam ini juga berpotensi melanggar hak imunitas advokat sebagaimana diatur dalam Pasal 16 UU Advokat, yang melindungi advokat selama menjalankan tugasnya dengan itikad baik.
Selain itu, Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menjamin hak setiap orang atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil. Tindakan membekukan BAS tanpa melalui mekanisme yang diatur UU Advokat dapat merusak asas kepastian hukum, sebab advokat berhak atas proses yang transparan dan adil sebelum status profesionalnya dicabut. Hal ini juga mencegah terjadinya preseden buruk, di mana pengadilan tinggi bertindak di luar lingkup kewenangan yang semestinya.
Meskipun kegaduhan di ruang sidang bisa dikualifikasikan sebagai pelanggaran etika atau bahkan pelanggaran hukum, penindakan terhadap advokat yang bersangkutan harus mengikuti prosedur yang diatur UU Advokat. Dewan Kehormatan Organisasi Advokat adalah lembaga yang berwenang untuk melakukan pemeriksaan, memutuskan sanksi, dan bila perlu, mengusulkan pencabutan status advokat. Jika pemecatan diputuskan, maka BAS otomatis dianggap tidak berlaku. Namun, tidak ada dasar hukum bagi pengadilan tinggi untuk secara langsung “membekukan” BAS selaku dokumen sumpah..
Dilema Multibar dan Advokat Kutu Loncat
Pasca keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 112/PUU-XII/2014 dan Nomor 36/PUU-XIII/2015 dan Surat Ketua Mahkamah Agung (MA) RI Nomor 73/KMA/HK.01/IX/2015 Indonesia lantas menganut sistem yang memungkinkan lebih dari satu OA. Setiap OA memiliki kewenangan untuk membentuk Dewan Kehormatan atau Dewan Etik guna menegakkan kode etik internal. Namun, kondisi multi bar ini membuka celah bagi advokat yang telah dijatuhi sanksi untuk bergabung dengan OA lain bak kutu loncat.
Dari perspektif masyarakat pencari keadilan, praktik ini jelas merugikan. Advokat yang semestinya menjalani sanksi dapat kembali beracara di pengadilan seolah-olah tidak pernah melakukan pelanggaran. Selain melemahkan kepercayaan publik terhadap profesi advokat, situasi ini juga menimbulkan pertanyaan mengenai tanggung jawab moral dan integritas lembaga OA itu sendiri.
Sebagai alternatif, beberapa kalangan mengusulkan penerapan sistem single bar, yaitu sistem di mana hanya ada satu organisasi advokat yang diakui negara. Dalam sistem ini, advokat yang dijatuhi sanksi oleh Dewan Kehormatan organisasi tunggal tersebut tidak akan bisa menghindar dengan cara berpindah ke OA lain. Putusan sanksi berlaku mengikat di seluruh wilayah hukum Indonesia, sehingga kepastian penegakan etik menjadi lebih terjamin.
Namun, penerapan single bar bukan tanpa tantangan. Ada kekhawatiran bahwa sistem tunggal dapat menciptakan monopoli dan menimbulkan konflik kepentingan jika tidak dikelola dengan transparan. Selain itu, keragaman pemikiran dan inovasi dalam praktik hukum bisa jadi berkurang, karena hanya satu wadah yang mewakili seluruh advokat. Oleh sebab itu, perlu dipikirkan mekanisme pengawasan yang ketat agar single bar benar-benar mampu meningkatkan kualitas profesi advokat.
Sementara itu, dalam sistem multi bar yang saat ini berlaku, muncul gagasan untuk membentuk Dewan Kehormatan Bersama. Lembaga ini terdiri dari satu Dewan Kehormatan atau Dewan Etik yang mewakili setiap OA, sehingga putusan sanksi yang dijatuhkan terhadap seorang advokat akan berlaku lintas organisasi. Dengan demikian, advokat yang terbukti melanggar kode etik tidak bisa begitu saja “cuci tangan” dengan bergabung ke OA lain. Model ini dinilai mampu mengakomodasi keanekaragaman OA, sambil tetap menjaga standar etik yang seragam.
Agar Dewan Kehormatan Bersama berjalan efektif, diperlukan payung hukum yang kuat, misalnya melalui revisi UU Advokat atau regulasi tambahan. Di dalamnya, perlu diatur prosedur yang jelas tentang pelaporan pelanggaran etik, mekanisme persidangan, hingga pelaksanaan putusan yang bersifat final dan mengikat. Tanpa regulasi yang jelas, keputusan Dewan Kehormatan Bersama berpotensi digugat atau diabaikan.
Mahkamah Agung juga bisa mengeluarkan peraturan atau surat edaran yang menegaskan bahwa advokat yang telah dijatuhi sanksi etik tidak boleh beracara di pengadilan sampai sanksi tersebut berakhir. Sementara itu, pemerintah dan DPR dapat memperkuat landasan hukum single bar atau bila multi bar dengan Dewan Kehormatan Bersama melalui perangkat perundang-undangan.
Terlepas dari model mana yang diadopsi, penegakan kode etik harus mengedepankan integritas profesi, kepentingan publik, dan kepastian hukum bagi seluruh pihak yang terlibat.
Discussion about this post