Yogyakarta, Radarhukum.id – Komisi III DPR RI telah memulai pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pada Masa Persidangan II Tahun Sidang 2024-2025. Pembahasan ini bertujuan untuk memperbarui serta menyesuaikan ketentuan hukum acara pidana yang ada dengan perkembangan zaman dan kebutuhan keadilan yang lebih baik di Indonesia. RUU ini mencakup berbagai aspek, mulai dari prosedur penyidikan, pemeriksaan di pengadilan, hingga hak-hak tersangka dan terdakwa.
Sejumlah akademisi dan praktisi hukum turut memberikan masukan agar RUU KUHAP ini tidak melenceng dari ketentuan yang ada, progresif, dan berpihak kepada masyarakat. Salah satunya adalah Dinda Riskanita, S.H., M.H., akademisi dari Fakultas Hukum Universitas Siber Muhammadiyah (SiberMu) Yogyakarta, yang menyoroti sejumlah problematika dalam KUHAP yang telah berlaku sejak 1981. Menurutnya, KUHAP menghadapi berbagai tantangan dalam implementasi dan relevansinya terhadap kebutuhan keadilan modern.
“Salah satu problem utama dalam KUHAP adalah prosedur penyidikan dan penahanan yang masih dianggap mengabaikan hak asasi manusia (HAM). Penahanan yang dilakukan tanpa pemeriksaan memadai berpotensi menyebabkan penyalahgunaan wewenang dan berlangsung terlalu lama. Selain itu, kurangnya pengawasan dalam prosedur penyidikan dapat menimbulkan penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat kepolisian,” ujar Dinda.
Ia juga menyoroti perlindungan terhadap hak tersangka dan terdakwa yang dinilai masih kurang, terutama terkait hak atas pendampingan hukum. “Dalam beberapa kasus, individu yang kurang mampu sering kali tidak mendapatkan bantuan pengacara, sehingga proses hukum yang mereka jalani bisa menjadi tidak adil,” tambahnya.
Lebih lanjut, peran jaksa dalam penyidikan juga menjadi perhatian. “Meskipun KUHAP mengatur bahwa penyidikan adalah wewenang polisi, keterlibatan jaksa yang terlalu besar dapat menimbulkan konflik kepentingan, terutama jika tidak ada mekanisme pengawasan yang ketat,” jelas Dinda. Selain itu, proses persidangan yang lama dan berlarut-larut juga menjadi masalah besar yang dapat memperlambat keadilan dan merugikan pihak-pihak yang terlibat.
Dinda yang merupakan Kepala Program Studi Hukum SiberMu ini, juga mengangkat isu kepastian hukum dalam penggunaan alat bukti, terutama alat bukti elektronik yang semakin banyak digunakan.
“KUHAP masih memiliki ketidakjelasan dalam mengatur validitas dan penerimaan alat bukti tertentu, yang sering kali menjadi kendala dalam persidangan,” katanya. Perlindungan terhadap saksi dan korban dalam kasus pidana juga menjadi sorotan. “Sering kali saksi atau korban merasa terancam dan tidak mendapatkan perlindungan yang cukup, yang berdampak pada kualitas kesaksian mereka,” ungkapnya.
Dalam kasus tindak pidana khusus seperti korupsi, terorisme, dan narkotika, KUHAP saat ini dinilai belum cukup responsif. “Aturan yang ada masih memiliki kelemahan dalam pengadilan dan pembuktian, yang menjadi kendala utama dalam penegakan hukum yang efektif,” ujarnya. Sementara itu, alternatif penyelesaian perkara seperti diversi dinilai belum dimanfaatkan secara maksimal. “Beberapa kasus seharusnya dapat diselesaikan melalui mediasi atau penyelesaian damai, tetapi tetap berlanjut ke pengadilan,” tambahnya.
Untuk mengatasi berbagai problematika ini, banyak pihak mengusulkan revisi KUHAP agar lebih responsif terhadap dinamika sosial, perkembangan teknologi, dan kebutuhan keadilan yang lebih baik. Peningkatan perlindungan hak asasi manusia menjadi prioritas dalam RUU KUHAP baru, termasuk hak atas pendampingan hukum, perlakuan manusiawi selama proses hukum, serta jaminan kebebasan individu selama penyidikan dan persidangan.
Dinda menegaskan bahwa pengawasan terhadap aparat penegak hukum harus diperkuat guna mencegah penyalahgunaan wewenang.
“Mekanisme pengawasan yang ketat terhadap polisi, jaksa, dan hakim harus diterapkan, termasuk pembentukan lembaga pengawas independen yang memastikan proses hukum berjalan dengan adil,” katanya.
Selain itu, penyelesaian perkara yang cepat dan efisien juga menjadi agenda penting dalam RUU KUHAP baru. “Harus ada diversifikasi penyelesaian perkara, penyederhanaan prosedur yang tidak perlu, serta pengaturan yang lebih efektif terkait durasi penyidikan dan persidangan agar tidak berlarut-larut,” tambahnya.
RUU KUHAP juga diharapkan mengakomodasi perkembangan teknologi, terutama dalam penggunaan bukti elektronik seperti email, rekaman digital, dan pesan teks dalam sistem hukum pidana.
“Regulasi yang lebih jelas terkait bukti elektronik sangat diperlukan agar dapat diterima di pengadilan tanpa kendala teknis dan interpretasi yang membingungkan,” ujar Dinda.
Perlindungan terhadap saksi dan korban juga harus diperkuat dengan ketentuan yang lebih tegas, terutama dalam kasus-kasus berisiko tinggi seperti korupsi besar, terorisme, atau kekerasan seksual.
“Perlindungan ini meliputi jaminan keselamatan, identitas, serta kesejahteraan saksi dan korban agar mereka merasa aman dalam memberikan kesaksian,” tambahnya.
Dalam aspek penahanan, Dinda menekankan pentingnya pembaruan ketentuan agar tidak ada lagi kasus penahanan yang terlalu lama tanpa alasan jelas. “Pengaturan yang lebih ketat terhadap penahanan pra-peradilan dan batas waktu penahanan sangat diperlukan agar tidak ada pihak yang dirugikan,” jelasnya.
Selain itu, keterlibatan masyarakat dan organisasi sipil juga perlu diperhitungkan dalam proses pembahasan RUU ini. “Semua pihak harus memiliki kesempatan untuk memberikan masukan agar aturan yang dihasilkan lebih komprehensif dan dapat diterima oleh semua lapisan masyarakat,” katanya.
Disamping hal tersebut, Dinda juga menyoroti pentingnya konsistensi dengan sistem hukum yang ada. “Prinsip-prinsip dasar seperti praduga tak bersalah, keadilan, dan persamaan di hadapan hukum harus tetap dijaga agar undang-undang ini selaras dengan hukum nasional dan internasional yang berlaku,” tutupnya.
Sebelum disahkan, evaluasi dan uji coba terhadap implementasi peraturan ini juga harus dilakukan guna mengidentifikasi potensi masalah yang mungkin muncul di masa depan.
“Diversitas kasus yang ada juga harus diperhatikan, dengan pengaturan prosedur yang berbeda sesuai tingkat keparahan tindak pidana. Misalnya, penanganan kasus korupsi, terorisme, atau kejahatan terorganisir membutuhkan prosedur yang lebih spesifik dibandingkan dengan kasus pidana umum. Dengan memperhatikan semua aspek ini, diharapkan RUU KUHAP yang baru dapat menciptakan sistem hukum yang lebih adil, efisien, dan responsif terhadap perkembangan zaman,” pungkasnya.
Discussion about this post