Oleh: Ifanko Putra
Pilkada, kendati dikemas dengan kata manis “pesta demokrasi” tetaplah sebuah ajang perebutan kekuasaan. Dimana dalam prosesnya akan terjadi persaingan sengit, permainan strategi, dan kepentingan yang berkelindan. Di antara berbagai aktor yang terlibat dalam percaturannya, Humas pemerintah yang umumnya Aparatur Sipil Negara (ASN) sering kali berada dalam posisi dilematis, khususnya ketika petahana atau keluarganya maju mencalonkan diri. Sebagai garda depan komunikasi dan publikasi pemerintahan, idealnya mereka mesti bersikap netral. Namun, dalam praktiknya, banyak yang justru terseret dalam dinamika politik praktis yang membuat batas antara tugas pelayanan dan kepentingan elektoral menjadi kabur.
Saat petahana kembali mencalonkan diri, keberadaan Humas pemerintah dalam arus kampanye hampir tak terelakkan. Dengan berbagai cara, mereka dapat terlibat dalam membentuk opini publik yang menguntungkan petahana, baik secara terang-terangan maupun secara terselubung. Relasi humas dengan media massa yang sejatinya bertujuan untuk menyebarkan informasi pemerintahan, kerap kali beralih fungsi menjadi alat propaganda politik. Tak jarang, anggaran yang bersumber dari uang masyarakat digunakan untuk memperkuat citra kandidat petahana atau bahkan melemahkan lawan politiknya melalui pemberitaan yang bersifat tendensius. Bagian menyerang atau melemahkan lawan politik. Tentu ini dilakukan secara terselubung agar tidak terlalu mencolok.
Bila misalnya kepala daerah dan wakilnya berseberangan dalam Pilkada, kecenderungan keberpihakan Humas juga dapat dilihat dengan terang. Sosok yang masih memegang kendali pemerintahan biasanya mendapatkan porsi pemberitaan lebih besar, sementara rivalnya yang memiliki hak yang sama saat masih aktif menjabat bisa saja dikesampingkan. Humas yang seharusnya berperan sebagai penyampai informasi objektif berubah menjadi instrumen yang tunduk pada kepentingan politik penguasa yang lebih dominan.
Namun, setelah Pilkada usai, biasanya ada konsekuensi yang tak terhindarkan bagi pejabat Humas yang terlanjur tidak menjaga netralitasnya itu. Konsekuensi baik akan datang bila yang didukungnya menang. Peluang karir yang lebih cerah biasanya bakal menunggu, karena bos senang dan terbantu.
Namun, sebaliknya, jika yang mereka bela kalah, pemerintahan yang baru tentu akan membuka catatan lama, berharap saja semoga tidak terjadi. Besar kemungkinan dengan segera perombakan struktur bakal dilakukan, dan karir bakal dipertaruhkan. Di luar dari pada itu, sebenarnya, mereka yang jejak keberpihakannya sudah terungkap di hadapan publik akan menghadapi krisis kredibilitas yang sulit dipulihkan. Itu bagi yang bermain secara terang-terangan.
Ada pula pejabat Humas yang bermain hati-hati. tidak menonjol dalam mendukung salah satu pihak, namun bermain di belakang layar dengan memanfaatkan media massa. Namun, kendati diatur dengan rapi strategi ini pun tidak menjamin keselamatan karier mereka, bila yang didukung kalah. Jejak digital sukar dihapus, dan informasi yang dulu tersimpan dapat dengan mudah diungkap di kemudian hari. Jika hal ini terjadi, maka mereka tetap berisiko kehilangan kepercayaan dari pemimpin yang baru maupun dari publik.
Pejabat yang paling aman dan selamat dunia akhirat tidak lain adalah mereka yang dapat menjaga netralitasnya. Mereka yang teguh berjalan pada rel regulasi yang berlaku. Karena sejatinya ASN mesti memegang teguh netralitas dan tidak boleh terlibat dalam politik praktis, apalagi memihak. Aturan tentang netralitas ASN sudah jelas dan tegas. Misalnya, Pasal 9 ayat (2) UU Nomor 20 Tahun 2023 Tentang ASN dengan terang menyatakan, “Pegawai ASN harus bebas dari pengaruh dan intervensi semua golongan dan partai politik.”
ASN diwajibkan untuk bersikap netral, tidak terlibat dalam politik praktis, dan bekerja semata-mata untuk kepentingan publik. Berbagai regulasi dan juga Surat Kesepakatan Bersama (SKB) lintas kementerian dan lembaga turut menguatkan hal ini.
Discussion about this post