Oleh: AS Laksana
Pada malam 13 Maret 2013, ketika ia pertama kali muncul di balkon Basilika Santo Petrus, Vatikan, setelah terpilih sebagai Uskup Roma ke-266, Jorge Mario Bergoglio tidak mengangkat tangannya untuk memberkati. Ia berkata “Buona sera”—selamat malam—dan membungkuk, meminta orang-orang memberkatinya. Gestur itu sederhana dan memukau. Malam itu, orang menyaksikan kepausan yang tidak menampilkan keagungan, tetapi kerendahan hati.
Ia menolak salib emas dan memilih salib logam biasa di dadanya, menolak mantel merah dan memilih jubah putih, dan memilih nama Fransiskus, nama santo yang hidup bersama kaum miskin, menolak kekuasaan, dan mencintai ciptaan. Ia lebih suka menyebut dirinya Uskup Roma, untuk menjadikan posisinya setara dengan semua uskup di tempat-tempat lain, ketimbang Pontif atau Vikaris Kristus atau gembala tertinggi. Dalam hitungan jam, dunia menyadari bahwa ia akan menjadi paus yang sangat berbeda.
Dan memang begitu. Selama 12 tahun masa kepausannya, Paus Fransiskus berusaha menata ulang sirkuit moral Gereja Katolik, mengarahkannya dari kekuasaan dan kemurnian ajaran menuju belas kasih dan kedekatan, dan itu tidak mudah. Kepausannya kerap terhambat oleh inersia Vatikan dan perlawanan internal. Namun ia berhasil, setidaknya sebagian, dalam upayanya mengembalikan “bahasa Injil”—bahasa yang digunakan oleh Yesus terhadap kaum jelata—ke pusat Gereja Roma. Ia tidak mereformasi doktrin; ia mengubah nada bicara.
Di Buenos Aires, sebelum menjadi paus, Uskup Agung Bergoglio kerap terlihat di Jalur E metro, mengenakan pakaian hitam rohaniwan, tak dikenali oleh sebagian besar penumpang. Suatu ketika, ia duduk di dekat pintu dan seorang perempuan di sampingnya bertanya, “Padrecito, maukah anda mendengarkan pengakuan dosa saya?” Ia mengangguk. Di hari lain, seorang pria mencurahkan daftar dosa yang begitu panjang hingga ia harus menghentikan orang itu: “Bueno, saya turun dua halte lagi.”
Mengenai hal itu, ia berpegang pada keyakinan bahwa para imam harus “berbau seperti domba mereka”. Mereka harus benar-benar mengenal kehidupan orang-orang yang mereka layani. Ia akrab dengan jalanan berlumpur dan perkampungan kumuh, tempat di mana negara nyaris tak hadir dan Gereja hampir tak terlihat, dan singgah di sana untuk memberkati anak-anak, ikut dalam prosesi, berbicara dengan para migran, pecandu, dan ibu dari orang-orang hilang. Mereka memanggilnya Padre Jorge.
Ia pernah menemui gadis kecil yang menyaksikan kengerian yang tak seharusnya dilihat oleh anak mana pun. Gadis kecil itu, yang diadopsi dari perkampungan kumuh, menggambar adegan-adegan mengerikan di rumah, yang kemudian terungkap di dalam terapi bahwa ia telah menyaksikan aborsi. Ia melihat janin dilempar ke anjing untuk dimakan.
Orang tua angkatnya terpukul. Padre Jorge tidak. Ia akrab dengan dunia itu dan akrab dengan segala jenis kekerasannya. Pada 2009, ketika salah satu imamnya, Pastor Pepe Di Paola, secara terbuka menentang perdagangan narkoba di kawasan kumuh Buenos Aires, Bergoglio, sang uskup agung, memindahkan Padre Pepe ke paroki lain di utara kota ketika ancaman dari para bandar semakin menakutkan. Kepadanya Bergoglio mengatakan: “Aku lebih memilih mereka membunuhku daripada salah satu dari kalian.”
Ketika seorang imam jatuh cinta dan mengatakan kepadanya ingin keluar dari imamat, ia mempersilakannya, dengan nasihat jangan buru-buru punya anak. Dua tahun kemudian, ketika hubungannya kandas, sang imam kembali dan memohon diterima lagi. Bergoglio mengizinkannya, tapi ia harus lebih dulu menjalani lima tahun selibat sebagai warga biasa. Kini, pria itu, menurut para imam setempat, adalah salah satu yang paling dihormati di kota.
Fransiskus memimpin dengan cara merangkul dan mendengarkan, dan ia tak suka pada kekakuan birokratis—pada para rohaniwan yang menghalangi sakramen dengan peraturan dingin dan pemungutan biaya. Orang-orang miskin, katanya, hidup demi bertahan hidup, bukan untuk lulus ujian moral. Ia ingin gereja hadir bukan untuk mengontrol orang, melainkan menemani mereka.
“Saya ingin Gereja menjadi miskin dan dekat dengan orang-orang miskin,” katanya. Itu membuat orang-orang di Kuria Roma, “kabinet” dalam sistem kepausan, resah. Sejak awal masa jabatannya, Fransiskus menghadapi berbagai kecurigaan dan bahkan perlawanan aktif. Kardinal-kardinal berpengaruh melobi dan menentang reformasinya dan menyebarkan keraguan tentang ortodoksi teologinya.
Fransiskus, seorang Jesuit yang menempa dirinya di daerah-daerah kumuh, tahu cara menghadapi urusan semacam itu: ia memilih diam, atau membuat khotbah yang tajam meskipun nadanya tetap lembut. Ia mengkritik “kaum Farisi modern,” sebutannya untuk mereka yang lebih peduli pada aturan daripada kasih. Ia mengecam “Alzheimer spiritual” yang menimpa mereka yang melupakan sukacita Injil. Tetapi pada dasarnya ia seorang humoris. Ia sering bercanda tentang kematiannya, tentang kepausan sebagai “salib yang tidak dicari”, dan tentang bangsanya sendiri. Orang Argentina sering dianggap percaya diri berlebihan (kadang dianggap arogan), termasuk oleh bangsa-bangsa Latin lainnya, dan tentang hal itu ia berkelakar: “Tahu bagaimana cara orang Argentina bunuh diri? Ia akan naik ke atas egonya sendiri lalu meloncat.”
Ia lahir di Buenos Aires, 1936, anak dari imigran Italia, menjadi seorang Jesuit, imam, lalu uskup, dan terus menempuh jalan yang akan ia lanjutkan kelak di masa kepausannya, ialah berjalan bersama kaum miskin dan mendengarkan mereka yang butuh didengarkan, seperti yang ia sering lakukan di metro.
Tak lama setelah ia terpilih, fotonya menjadi viral: Ia memeluk seorang pria dengan neurofibromatosis yang menjadikan wajahnya sangat cacat. Ia juga memeluk para narapidana, membasuh kaki para pengungsi, mencium anak-anak penyandang disabilitas, dan ia suka menelepon. Ia menelepon perempuan yang suaminya dibunuh, ibu yang anaknya diperkosa, dan seorang anak yang menulis surat tentang kematian. Ia sendiri yang menelepon mereka dari Vatikan.
Bagi banyak kaum tradisionalis, ia terlalu sering mengejutkan. Para pengkritik menyebut teologinya terlalu lembek. Prioritasnya, kata mereka, tidak tepat. Ia menjawab dengan menunjuk Kristus. “Tuhan tidak takut pada hal-hal baru,” katanya. “Itu sebabnya Dia selalu mengejutkan kita.”
Namun Fransiskus juga menghadapi badai yang tak bisa dihindari. Kasus pelecehan seksual di Gereja, yang menjadi masalah sejak lama, meledak juga di masa kepausannya. Dan ia melakukan kesalahan saat membela para uskup di Chili yang menutupi kasus pelecehan. Baru kemudian ia menyadari bahwa ia keliru, dan ia meminta maaf atas kekeliruan itu.
Kesulitan terbesarnya yang lain adalah mereformasi Kuria Roma. Ia memulai proyeknya, menghadapi perlawanan, dan terus mencoba. Beberapa langkahnya berhasil—seperti mereformasi keuangan Vatikan dan menjadikannya lebih transparan. Yang lain mandek. Penanganan pelecehan seksual di banyak keuskupan tetap lamban, pendekatannya terhadap LGBT dan orang-orang yang bercerai dan menikah lagi memicu perpecahan karena tak pernah diatur secara jelas.
Tahun-tahun terakhirnya ditandai dengan penurunan, baik dalam energi maupun jangkauan, terutama karena kesehatannya merosot. Namun, ia ingin terus berjalan dan tak punya rencana mengundurkan diri, sebab baginya pelayanan kepausan adalah komitmen seumur hidup, kecuali jika kondisi fisiknya benar-benar menghalanginya untuk menjalankan tugas. Ia tahu ada banyak kritik terhadap kepemimpinannya, tetapi ia merasa masih memiliki banyak hal yang ingin ia capai dalam pelayanannya.
Seperti tak mau istirahat, pada Kamis Putih, 17 Mei 2025, ia mengunjungi penjara Regina Coeli di Roma. Para narapidana meneriakkan “doakan kami!”, dan ia menjawab, seperti yang ia ucapkan di hari pelantikannya: “Doakan saya.” Ia juga menelepon komunitas Kristen di Gaza menyampaikan bahwa ia berdoa untuk mereka, memberkati mereka, dan berterima kasih atas doa-doa mereka untuknya.
Pada hari Paskah, Minggu 20 April 2025, ia memberikan berkat Urbi et Orbi—untuk kota (Roma) dan dunia—yang dibacakan oleh anggota klerus setelah ia menyampaikan sapaan pembuka: “Saudara-saudari, Selamat Paskah!”
Pada 21 April 2025 ia harus rela melepaskan banyak hal yang masih ingin ia capai. Ia meninggal, dan ia meninggalkan jalan kepausan yang belum pernah ditempuh oleh para pendahulunya: ke bawah, menuju yang paling hina; ke luar, menuju dunia; ke dalam, menuju wajah Kristus.
(Dikutip dari tulisan obituari penulis AS Laksana)
Discussion about this post