Oleh: Ifanko Putra
Kisruh internal Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) belum juga menunjukkan tanda-tanda akan reda. Api yang mulanya hanya bara di balik sekat-sekat organisasi, kini menjalar terbuka, menyambar ke segala arah. Perselisihan elit di tingkat pusat menjelma menjadi drama panjang yang melelahkan, merusak solidaritas, dan secara tidak langsung telah mempermalukan nama organisasi wartawan tertua di negeri ini.
Saya tak akan mengurai duduk perkara perpecahan ini. Riwayatnya telah beredar luas dari berbagai versi. Namun, yang memprihatinkan adalah yang terlibat dalam kekisruhan ini, para wartawan senior yang selama ini dikenal sebagai panutan bagi wartawan muda, dihormati dan disegani kalangan relasi baik pemerintah maupun swasta. Mereka saling menuding, mengklaim, mencaci, dan menjadikan ruang publik sebagai medan tempur ego. Karir dan reputasi yang telah dibangun puluhan tahun, dihancurkan oleh rekan sejawat lewat narasi menyerang pribadi di media. Saat memberitakan hal negatif orang lain atau pihak lain verifikasi kita berlapis, tapi memberitakan rekan sejawat malah lebih banyak opini daripada fakta, tanpa konfirmasi pula. Kadangkala, keangkuhan dapat mengalahkan kebijaksanaan.
Tak ada upaya sungguh-sungguh untuk mencari titik temu. Masing-masing kubu bersikukuh mengusung versi kebenarannya sendiri. “Kamilah PWI yang sah, lainnya ilegal” demikian yang kerap terdengar di ruang publik. Organisasi yang seharusnya menjadi rumah besar wartawan yang reputasinya terentang panjang sejak tahun 1946 – hampir sama umurnya dengan kemerdekaan Indonesia, kini berubah menjadi ajang rebutan stempel, dualisme kepemimpinan, dan konferensi yang keabsahannya saling dipertanyakan. Semua berbicara seolah penyelamat, padahal yang tampak hanya pertarungan gengsi dan ambisi.
Yang paling amat disayangkan, percikan konflik menjalar hingga ke daerah. PWI tingkat provinsi dan kabupaten/kota yang semestinya menjadi rumah besar jurnalis lokal, ikut terbelah. Faksi-faksi tumbuh liar, menciptakan keretakan bahkan di antara sahabat lama. Persahabatan, bahkan ada yang diantaranya telah terjalin belasan, puluhan tahun, runtuh hanya karena loyalitas pada kubu. Lalu ke mana larinya nilai-nilai solidaritas yang dahulu dijunjung tinggi?
Perang narasi tak terelakkan. Grup-grup WhatsApp yang semula hangat berubah menjadi ladang cercaan. Media-media yang berafiliasi pada masing-masing kubu tak segan menayangkan serangan terbuka. Fitnah, rekayasa, ancaman hingga saling menjegal jadi lumrah. Ironisnya, persaudaraan, persahabatan, menjadi korban oleh kebanggaan semu.
Padahal, tengoklah kondisi kita saat ini secara umum, dunia pers tengah menghadapi tantangan besar disrupsi. Media-media raksasa runtuh perlahan satu per satu. Pemutusan hubungan kerja melanda. Jurnalis kehilangan pekerjaan, kehilangan kepercayaan, bahkan kehilangan makna. Di tengah krisis yang menggerus dari segala sisi. Upah minim, tekanan media sosial, buzzer, hilangnya pembaca dan lainnya.
Saatnya semua pihak menundukkan kepala. Mengambil jeda. Bertanya jujur pada diri sendiri: apa sebenarnya yang sedang diperjuangkan? Jabatan? Pengaruh? Atau warisan nilai bagi generasi mendatang?
“Kita tidak bisa mengendalikan apa yang terjadi di luar diri kita. Tapi kita bisa memilih bagaimana meresponsnya,” demikian kata filsuf Stoik, Epictetus. Kini, pilihan yang tersedia bukan lagi menambah bara, jangan menjadi batu api. Duduk bersama, membuka ruang maaf, dan menyusun ulang yang berserak.
Tak ada gunanya memaksakan kemenangan dalam konflik yang hanya menyisakan puing-puing kepercayaan. Justru di tengah krisis seperti ini, organisasi wartawan harus berdiri tegak, merapatkan barisan. Bila para senior tak mampu menjadi teladan, jangan salahkan jika jurnalis muda memilih menjauh bukan karena apatis, tapi karena muak.
Hari ini kita tak butuh pemenang. Kita butuh pemimpin. Mereka yang sanggup melihat melampaui legalitas. Mereka yang bersedia mengalah demi menyelamatkan marwah organisasi. Tidak ada yang benar-benar tenang hatinya, bila hidup dalam konflik. Tuhan juga amat membenci orang yang bermusuhan, dan mengajak untuk saling mendamaikan. Dalam Surah Al Hujarat ayat 10, Allah berfirman: “Sebenarnya orang-orang yang beriman adalah mereka yang bersaudara maka damaikanlah di antara kedua saudara kamu (yang bertikai) dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu memperoleh rahmat.”
Discussion about this post